Ali dan Arif bekerja di suatu instansi yang sama, waktu dan jenis kerjanya pun sama. Tetapi nilai dan kualitas (maknawiyah) dari pekerjaan keduanya berbeda, bahkan jauh berbeda. Ali bekerja karena orientasi duniawi, ia punya keinginan dan ambisi untuk memiliki sesuatu (materi) dan itulah menjadi tujuan utamanya bekerja. Sehingga apa yang diraihnya tidak lebih dari tumpukan materi.
Sedangkan Arif bekerja karena orientasi ibadah, mengumpulkan harta dengan kesadaran iman bahwa mencari nafkah adalah ibadah, dan keinginan untuk mendapatkan harta hanyalah “tujuan antara” yang menjembatani tujuan utama meraih ridha Allah swt. Sehingga ia berhasil meraih ridha Allah swt sekaligus mendapatkan materi.
Pada dasarnya setiap amal manusia akan berbeda pada pemberangkatan awal melakukan pekerjaan itu. Pekerjaan ternilaikan berdasarkan keinginan yang ada di dalamnya. Kualitasnya berdasarkan kuatnya hubungan niat dengan pekerjaan. Rasulullah saw menjelaskan hal itu dalam salah haditsnya :
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Alqamah bin Waqqas dari Umar bin Khattab berkata : Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan apa-apa dari urusannya sesuai dengan apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka nilai hijrah itu hanya kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang berhijrah karen ingin mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka niali hijrahnya sesuai dengan apa yang dia tujuh (niatkan). Hadits riwayat Bukhary dalam kitab shahihnya bab badu al-wahyi juz 1, diriwayatkan juga imam Muslim dalam bab Qauluhu shalla Allah alaih wasallam innamal ‘amalu binniat wa annhu yadkhulu fihi al-gazwu wa gaeruh min al-‘amal .
Hakekat Niat
Niat dalam bahasa arab berasal dari kata nawaa-yanwii, keinginan terhadap sesuatu. Ini menandakan niat sesungguhnya merupakan tujuan yang menjadi keinginan hati terhadap apa yang diingini dari suatu perbuatan, mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat. Dalam bahasa ibadah niat merupakan kehendak untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menunaikan suatu perbuatan atau menjauhi suatu larangan Allah swt.
Niat bukanlah suatu hal yang harus diungkapkan secara demonstratif, dipublikasikan di tengah orang banyak, dimediakan kepada khalayak ramai. Karena niat ungkapan (amalan) hati, pengakuan yang tak terlihat oleh kasat mata. Tidak diketahui dan tidak perlu diketahui orang lain, Hanya Allah saw dan orang yang berniat itu sendiri yang mengetahuinya.
Meskipun niat adalah amalan hati, namun dalam kondisi tertentu, kadangkala niat itu harus dibahasakan dalam bahasa lisan. As-syafi’iyah (pengikut mazhab Syafi’i) dan al-hanabilah (pengiktu mazhab Ahmad bin Hanbal) menganggap sunnah membahasakan niat dengan bahasa lisan, (khususnya dalam pelaksanaan ibadah shalat dan puasa). Walaupun lafadz niat tersebut menurut al-hanabilah tidak dengan jahar (bahasa jelas). Hal ini menunjukkan bahwa membahasakan niat dalam bahasa lisan adalah bentuk penguatan dan pemantapan hati terhadap suatu perbuatan yang akan dikerjakan, dan ia bukan inti niat, karena hakekat niat ada di dalam hati.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hubungan niat dengan amal perbuatan. Ada yang berpendapat bahwa niat adalah penyempurna amal yang dilakukan. Sehingga perbuatan walaupun tidak diawali dengan niat tetap sah, dan kesempurnaannya dengan diniatkannya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa niat adalah syarat sah perbuatan, sehingga suatu amal perbuatan dianggap batal jika tidak diniatkan sejak dari awal dilakukan.
Perbedaan itu, adalah perbedaan pendapat berdasarkan kapasitas keilmuan ulama dan perbedaan titik pemberangkatan dalam menempatkan niat dalam perbuatan manusia. Dan mereka tetap sepakat pada aspek maqashidnya bahwa niat merupakan syarat amal perbuatan.
Kualitas perbuatan ditentukan oleh niat. Ia membedakan hasil dari perbuatan yang dimaksudkan. Suatu perbuatan jika diniatkan dengan niat baik, maka proses perbuatan itu dan hasilnya adalah baik pula. Sebaliknya jika diniatkan dengan tidak baik, maka proses perbuatan dan hasilnya pun tidak baik, walaupun kedudukan perbuatan itu adalah kebaikan.
Akhir dari perbuatan terletak pada titik awalnya. Hasil dari amal tergantung pada permulaannya. Titik awal dan permulaan perbuatan adalah niat. Bayangkan dua orang masuk mesjid kemudian duduk berdiam, satu orang niatnya sekedar duduk melepas lelah atau istirahat, sedangkan yang satunya niatnya untuk i’tikaf. Sama-sama duduk di dalam mesjid tetapi nilai duduknya berbeda disebabkan karena perbedaan niatnya.
Stabilitas amal karena stabilitas niat. Niat menjadi tolok ukur perbuatan, karena niat, setiap perbuatan hamba berbeda di mata Allah swt. Apakah sang hamba beribadah karena mengharapkan ridha Allah swt semata atau mengharapkan sesuatu yang lain. Apakah ia sujud dan ruku karena dasar keimanan atau karena dasar nifaq, berbuat baik dengan ikhlas atau karena riya dan sum’ah.
Niat adalah ruh perbuatan. Karena niatlah yang melahirkan perbuatan, niat pulahlah yang menentukan balasan perbuatan itu. Suatu perbuatan baik jika ia sudah diniatkan dengan niat yang baik telah mendapatkan penilaian di sisi Tuhan dengan satu kebaikan, meskipun ia baru sebatas niat (baik). “Siapa yang berkeinginan melakukan kebaikan tetapi ia belum melakukannya, maka telah dicatat baginya dengan satu kebaikan (HR. Bukhary)”
Niat yang baik penentu nilai perbuatan. Bahkan bisa membentuk nilai dari suatu perbuatan yang tidak lakukannya senilai dengan perbuatan yang dilakukannya. Bisa dibayangkan jika ada orang yang tidak ikut jihad mendapatkan pahala sama dengan mereka yang terjun di medan jihad. Hal ini disampaikan Rasulullah saw ketika beliau kembali dari perang Tabuk, “Sesungguhnya ada beberapa orang yang kita tinggalkan di Madinah di mana mereka senantiasa menyertai perjalanan kita, baik sewaktu berjalan keluar masuk dusun maupun sewaktu menyeberangi lembah. Yang mencegah hanyalah halangan (HR. Bukhari Muslim)”.
Tiada kebaikan yang dihasilkan tanpa niat yang baik. Tiada pahal yang diperoleh tanpa niat yang tulus, tiada kemuliaan dari pekerjaan tanpa niat yang bersih. Niat punya kekuatan, niat punya keutamaan.
Tiga Jenis Perbuatan
Amal perbuatan memiliki tiga kategori ;
Pertama, At-ta’at (Ketaatan). Ketaatan ada yang bersifat keharusan atau lazim dan ada yang bersifat anjuran. Amal perbuatan pada aspek ketaatan ditentukan oleh niat. Jika saja kita berpegang pada pendapat bahwa niat adalah syarat sahnya amal perbuatan, maka niat wajib dihadirkan setiap kali akan melakukan aktivitas ketaatan. Seseorang yang menunaikan shalat lima waktu, atau membiasakan melaksanakan puasa sunnat senin kamis, jika tidak disertakan dengan niat maka shalat dan puasanya batal. Tetapi jika berpegang kepada pendapat, bahwa niat adalah penyempurna amal perbuataan, maka niat dihadirkan untuk menyempurnakan perbuatan yang dilakukan dan meningkatkan kualitas perbuatan tersebut.
Terlepas dari adanya dua pendapat di atas, sesungguhnya niat harus hadir disetiap awal perbuatan demi terkabulanya perbuatan yang dilaksanakan , niat harus hadir demi lurusnya suatu ibadah, niat harus hadir demi menguatkan komitmen melakukan ketaatan, niat harus hadir demi meluruskan arah ketaatan, niat harus hadir untuk menguatkan konsentrasi dan fokus ketaatan dan ibadah yang dilakukan. Penjagaan niat berarti langkah awal pemeliharaan amal kebaikan maupun amal ibadah.
Amal ibadah harus selalu diawali dengan niat. Karena tujuan niat dalam ibadah ada dua :
1. Membedakan ibadah dari perbuatan biasa. Misalnya menyembelih hewan ada yang tujuannya untuk kurban, maka itu adalah ibadah. Ada juga yang tujuannya hanya untuk di makan, maka itu adalah muba, tetapi kadangkala juga tujuannya untuk menyambut pemimpin sebagai upaya unutk mendekatkan diri kepadanya, maka perbuatan ini adalah haram.
2. Membedakan tertib ibadah antara satu dengan yang lainnya. Karena mendekatkan diri kepada Allah swt ada yang fardhu, ada yang sunnat. Sebagaimana shalat ada yang wajib dan ada yang sunnat.
Kedua, al-matrukaat (perbuatan yang ditinggalkan). Yaitu perbuatan yang tuntutannya adalah meninggalkan atau menjauhi perkara karena adanya larangan dan mudharat di dalamnya, seperti meninggalkan dosa, meninggalkan kemungkaran dan yang lainnya. Jika seseorang ingin meninggalkan kebiasaan narkoba, maka tidak perlu diniatkan terlebih dahulu, tetapi cukuplah ia langsung meninggalkannya karena dorongan khauf (takut) kepada Allah swt. Jika ia telah melakukannya semata karena Allah swt, maka ia telah melakukan satu kemuliaan sehingga Allah swt pun akan memberikan balasan pahala dari perbuatannya itu. Dan merupakan balasan pertama dan utama yang diraih adalah dikeluarkannya dari kungkungan dosa.
Ketaatan tidak bisa disatukan dengan larangan, kebaikan tidak boleh bercampur dengan kemaksiatan. Dalam niat pun tidak boleh ternoda kotoran dosa dan larangan. Ketaatan yang dilakukan walaupun disertai dengan niat yang baik, tetapi diawali dan dihasilkan dengan kemungkaran, maka ketaatan tersebut rusak dan bathil. Orang yang melakukan korupsi atau pencurian, dengan niat untuk membangun mesjid atau ingin memberi makan fakir miskin, maka kebaikan yang dilakukannya hanya sia-sia belaka dan tidak diterima di sisi Allah swt.
Ketiga, al-Ibahaat (mubah/boleh). Perbuatan mubah tidak bergantung pada niat, dan tidak ditentukan oleh niat. Karena ia adalah perbuatan yang tidak menimbulkan dosa karena dilakukan dan tidak menghasilkan pahala jika dikerjakan. Tetapi sebagaian ulama berpandangan jika amalan mubah itu dilakukan dengan niat taqarrub kepada Allah swt untuk mendapatkan ridha dan kebaikan Tuhan, maka hal itu bisa membawanya menjadi perbuatan yang bernilai kebaikan yang semoga Allah swt memberinya pahala. Makan, minum ataupun tidur jika diniatkan untuk menjaga kondisi tubuh supaya dapat melakukan shalat dengan baik, maka Allah swt dapat memberikannya nilai pahala sesuai kualitas niat yang diungkapkan hatinya.
Sekecil apapun amal perbuatan harus dijaga dengan niat yang baik. Sekecil apapun kebaikan yang dilaksanakan hendaknyalah dijaga keikhlasan niatnya. Jika perbuatan ditentukan oleh niat, maka kualitas niat juga ditentukan oleh keikhlasan dalam berniat. Memang niat dan keikhlasan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan keduanya dalam membangun kualitas amal yang terbaik. Keduanya bersinergi dan terpadu menuju capaian suatu tujuan yang bernilai. Yaitu amal perbutan yang bernilai kemuliaan di sisi Allah swt. Wallahu ‘Alam.
Referensi :
• Abu Bakar Jabiir Al-Jazairy, Minhajul Muslim, 1992 Dar Zaahid Al-Qudsy.
• Abdul ‘Aziz Muhammad Azzam, Al-Qawaidul Fiqhiyah, 1999, Maktabah ar-Risalah ad-dauliy.
• Wahbah Zuhaili, al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh, 1989, Darul Fikr, Damaskus
• Marwan Muhammad Mustafa Syahin, Qathfuts Tsimar Min Hadyi sayyedil Abtar, 1989
• Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, al-Waafi fi syarhil Arbai’in Nawawiyah, 1998, Darul Ibnu Katsir, Beirut.
1 komentar :
maaf ustadz kalau ada orang yang niat awalnya melakukan ibadah adalah bukan karena ALLAH, tapi ada tendensi lain. ditengah dia melakoni amalan atau pekerjaan tersebut niatnya berubah untuk lillahi ta'la. gmana hukum amalannya orang tersebut ?
Posting Komentar