Rabu, 31 Desember 2008

Halal yang Dibenci Allah (jawaban untuk Ukht)


عَنْ ابْنِ عُمَرَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
Dari Abdullah Ibnu Umar; dari Nabi saw bersabda : perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq (cerai). HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan al-Baehaqy

Halal yang dibenci Allah
Melalui sabdanya Nabi saw memberikan peringatan keras kepada ummatnya untuk tidak menjadikan mainan urusan perceraian, meskipun bercerai itu bukanlah perbuatan yang diharamkan, akan tetapi perceraian yang tidak didasari dengan niat karena Allah dan dibingkai dengan ibadah akan menjadi kehinaan dimata Allah dan dimata manusia. Kalaupun perceraian harus terjadi, perlu diketahui bahwa Islam telah menggariskan hukum dan aturannya, sebagaimana disebutkan ulama.

Dua jenis cerai
Ada dua aspek yang menyebabkan pasangan suami istri berpisah atau bercerai. Yaitu bercerai karena ditinggal mati, atau bercerai karena berpisah hidup dan tidak mau berdampingan lagi. Perceraian pertama tidak ada rujuknya, sedangkan yang kedua ada rujuknya. Sebab itu perlu diketahui macam-macam perceraian :
1. Thalaq Sunni. Yaitu perceraian berdasarkan sunnah atau tuntunan Nabi saw, yakni jika seorang suami menthalaq (menceraikan) istrinya yang telah dicampurinya dengan thalaq satu, dan thalaqnya dilakukan pada saat suci dari haid atau nifas dan belum dicampurinya.
Thalaq inilah yang dimaksudkan Allah swt dalam al-Quran “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[1481] dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru Q.S. At-Thalaq : 1)
Maksud menghadapi iddahnya (yang wajar) yaitu isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. tentang masa iddah. Untuk keterangan lengkapnya lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4.
Suami yang telah mengucapkan cerai baik ucapan maupun tulisan, maka resmi jatuh thalaq satu. Dalam perceraian ini, suami boleh rujuk kembali.
2. Thalaq bid’ah : yaitu thalaq yang dilakukan dengan melanggar syariat Islam. Seperti (1) suami yang menceraikan istrinya dalam keadaan haid atau nifas. (2) ketika dalam keadaan suci, sedang ia telah mencampurinya pada masa suci tersebut. (3) menthalaq tiga istrinya dengan sekali ucapan, misalnya saya ceraikan kamu dengan cerai tiga kali, atau saya ceraikan kamu, saya ceraikan, saya ceraikan.
Jika terjadi perceraian seperti demikian, maka perceraian itu tidak sesuai syariat sehingga tidak sah
3. Thalaq Ba’in : yaitu perceraian yang telah dilakukan tiga kali. Maka suami apabila ingin rujuk (kembali) kepada istrinya, maka ia harus menikah sebagaimana lazimnya pernikahan yang juga disertai mahar.

Thalaq Suami dalam keadaan marah
Bagaimana jika suami menceraikan istrinya dalam keadaan marah? Suami tidak dibenarkan menceraikan istrinya dalam keadaan marah. Dalam hadits Rasulullah bersabda

عَنْ عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا طَلَاقَ وَلَا عَتَاقَ فِي إِغْلَاقٍ
Dari Aisyah Rasulullah bersabda : tidak ada cerai, dan juga pemerdekaan budak dalam keadaan iglaq.HR. Ibnu Majah dan Ahmad.
Iglaq dalam hadits ini menurut ulama adalah kemarahan, benci, emosi, atau kehilangan kendali. Maka jika suami menthalaq (menceraikan istrinya dalam keadaan marah, maka perceraiannya tidak sah.

Hijrah Menuju Perubahan


Manusia adalah mandataris Tuhan yang sengaja Allah hadirkan di pelataran bumi. Walaupun pada awal kehadirannya diprotes oleh Malaikat, bahkan menjadi sebab terjungkalnya iblis dari kasih sayang Allah dan terlempar ke dalam jurang laknat.

Kehadiran manusia di bawah kolong langit ini, tidak sekedar muncul tanpa maksud, bukan sebatas untuk menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Manusia hadir untuk menjalankan suatu tugas di bawah kodrati Tuhan, dan bimbingan RasulNya. Yaitu mengabdi dalam keyakinan yang utuh, bekerja untuk kemanfaatan dan kemaslahatan, melahirkan kebajikan, mengharapkan taman kebahagiaan.
Perjalanan hidup kemudian dijalani dengan pengembaraan untuk menemukan ridhaNya, menggapai mahligai cintaaNya. Sebab betapapun lakon kehidupan yang disiapkan Tuhan hanyalah sementara, singkat dan tidak kekal. Maka sekecil apa pun peluang dan kesempatan akan menjadi berharga bila dimaksimalkan, tetapi akan menjadi lorong kebinasaan jika diabaikan. Itulah sebabnya Rasulullah saw mengingatkan kepada siapa yang mengikuti sunnahnya untuk menjadi orang yang paham betul akan perjalanan hidup, sebagaimana dalam sabdanya “jadilah di dunia ini seperti orang asing atau sang pengembara”.
Memang perjalanan hidup amatlah singkat, maka beruntunglah orang yang mengisi hari-harinya dengan sujud dalam penghambaan di hadapan keagungan Sang Maha Sempurna. Karena sebaik-baik orang beriman yang menghambakan dirinya hanya kepada Penciptanya, dan seutama-utama hamba ialah yang beriman hanya kepada Pemilik dirinya. Dan hamba yang beriman yang mampu membuka tabir kebahagiaan, meraih kesuksesan hidup adalah mereka yang mampu menciptakan perubahan pada diri dan kepada orang lain.
Orang beriman tidak akan jatuh dua kali dalam satu lobang kesalahan yang sama. Ia menyegerahkan dirinya menuju maghfirah Tuhannya, berhijrah menuju puncak keutamaan, menciptakan perubahan-perubahan yang dinamis, mempercepat langkahnya menuju istana ampunanNya, hingga meraih rahmat dan ridha Ilahi.
Mukmin yang berjiwa pengabdi tidak akan menikmati hidupnya dengan keapatisan dan kejumudan, atau membiarkan dirinya terkungkung dalam kesalahan-kesalahan yang berkepanjangan, terperangkap dalam kegelapan dosa, atau bersantai menikmati ketertindasan dan membiarkan ketidakadilan menjadi raja kehidupannya. Tetapi, mukmin yang berjiwa pengabdi akan mendobrak segala penghalang kebajikan, meruntuhan segala keberhalaan hati, membangkitkan revolusi perbaikan dan perubahan ke arah hidup yang punya makna dan ridhai Allah. Menghijrahkan diri menuju ma’rifah Allah sawt.

Hijrah berarti berpindah dan berubah.
Hijrah berarti berpindah dari suatu kepada sesuatu yang lain, baik hijrahnya adalah hijrah zatiyah ataupun hijrah maknawiyah. Dalam hidup ini ada tiga jenis hijrah yang harus terbangun dengan baik, dan tidak boleh terhenti.

1. Hijrah dari larangan-larangan Allah saw.
Berhijrah dari larangan Allah berarti meninggalkan segala larangan-larangan Allah swt dan berpindah ke pengamalan perintahNya. Berpindah dari kegelapan dosa menuju cahaya amal shaleh. Rasulullah saw dalam sabdanya; “orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah swt (hadits)”. Larangan mencakup khitab tahrim (haram), dan khitab takrih (benci)
Dalam kehidupan ummat manusia sekarang ini, berhijrah dari larangan Allah saw merupakan tuntutan yang sangat mendesak. Karena, betapa manusia telah jauh tenggelam dalam larangan-larangan Allah swt. Lihatlah ! adakah larangan Allah yang belum dilakoni manusia sekarang? masihkah ada larangan yang disisahkan untuk anak cucu kita? Sungguh!!! Tidak ada dosa dan larangan yang membuat ummat-ummat terdahulu ditimpa azab dari Allah, kecuali semuanya telah tertunaikan. Bahkan, bangga dengan dosa-dosanya, bangga mengiklankan pelanggaran-pelanggarannya.
Inilah hijrah pertama yang wajib dijalani bagi pengharap ridha Ilahi.

2. Hijrah dari Perbuatan yang Mubah. Perbuatan mubah seringkali dipahami sebagai bagian yang lepas dari tuntutan hukum, karena tidak ada konsekuensi di dalamnya. Memang benar statement tersebut, sebab mubah dalam terminologi figh memaknakan pembolehan, boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan.
Namun jika perbuatan mubah itu berkelanjutan kemudian menjadi hobby hingga akhirnya menggiring dalam kelalaian ibadah dan kealpaan diri mengingat Allah, dan mengganggu produktifitas amal shaleh, maka pada ranah inilah yang harus diantisipasi dengan menghijrahkan diri kita dari kebiasaan tersebut.
Menurut Rasulullah saw, “sebaik-baik keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya (hadits)”. Betapa banyak perbuatan mubah yang tidak memberikan nilai manfaat bagi diri dan orang lain, bahkan mengantarkan kemudaratan, ataupun kemudaratannya lebih besar dari kebaikannya.
Akhi fillah ! Ketahuilah bahwa seutama-utama orang beriman adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Ini adalah hijrah kedua bagi pengembara pencari cinta Ilahi.

3. Hijrah dari yang baik kepada yang lebih baik, atau yang terbaik. Salah satu ciri orang beriman adalah tidak pernah puas dengan kebaikan, dan kesalehan yang telah dilakukannya. Ia terus berjuang bahkan berkorban untuk mencapai puncak kebaikan. Ia sangat “tamak” akan kebaikan dan kesalehan-kesalehan.
Sesungguhnya peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekkah menuju (Yatsrib) Madinah bukan berarti Rasulullah meninggalkan sesuatu yang buruk, jelek dan rusak. Sesungguhnya Makkah adalah tempat kelahirannya, tempat di mana berdiri baitul atiq rumah Allah, kiblat kaum Muslimin. Tetapi berpindahnya Rasulullah bisa dimaknai sebagai proses perubahan ke arah yang lebih baik untuk keberlangsungan da’wahnya dan titik cerah masah depan ummat Islam yang jauh lebih meyakinkan dibandingkan kalau terus menerus berada di Makkah.
Meninggalkan yang baik kepada yang lebih baik merupakan pilihan terbaik yang pantas dipilih oleh orang yang berjiwa pengabdi dan pecinta taman syurga yang dijaga bidadari bermata....(saya tidak sanggup menggambarkannya). Rasulullah dalam sabdanya mengajarkan orang-orang yang berfikir, “apabila meminta syurga maka mintalah syurga firdaus, karena ia merupakan syurga yang tertinggi derajatnya(hadits)”.

Hijrah adalah revolusi
HIjrah Rasulullah saw ke Madinah merupakan proses revolusi tauhid yang pondasinya telah ditanam selama 10 tahun di Mekkah. Cahaya iman yang bersinar terang di dalam dada sahabat-sahabatnya diefektifkan sinarnya hingga ke pelosok di manapun ada hamba Allah yang menanti hidayah Allah.
Dengan landasan akidah yang kokoh bagai baja yang tak tergoyahkan, Rasulullah beserta sahabatnya di belahan dunia baru tempat mereka hijrah menyalakan revolusi peradaban manusia modern (awal lahirnya peradaban modern ummat manusia), revolusi peradaban berhala menuju peradaban tauhid.
Oleh karena itu, hijrah tidak hanya dimaknai dengan kegiatan keagamaan formal (karena tidak ada juga anjurannya dari Nabi, atau contohnya dari salafus shaleh). Tetapi mari kita posisikan hijrah sebagai sebuah perjalanan menuju perbaikan hati dan perubahan diri.
Saatnya melakukan hijrah, melakukan perubahan, melakukan revolusi peradaban ummat manusia menuju peradaban yang senantiasa disinari cahaya rahmat dan maghfirah, saatnya berhijrah menciptakan peradaban yang baldatun tayyibah warabbun ghafur.
Jangan pernah membiarkan peradaban jahiliyah mengkungkung kehidupan ummat manusia, jangan hanya menjadi penonton dengan segala kedzaliman dan ketidakadilan menghancurkan sendi-sendi keshelahan hidup. Saatnya untuk bangkit menjadi pelaku perubahan, saatnya maju untuk berbuat yang terbaik, menjadi bagian dari mata rantai perjalanan peradaban, tampil sebagai pelaku yang menyusun batu bata kebangkitan menuju mardhatillah. “katakan dan bekerjalah, sungguh Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman akan menjadi saksi apa yang kalian lakukan (ayat)”. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. Allahu A’lam.

Selasa, 23 Desember 2008

buat si pemilik bunga


Jangan pernah tahu,
kalau kado yang kamu tunggu
sebuah penantian yang lama
dan harus bertahan dalam payah dan keluh kesah
sebab....DiriNya Maha Dekat dengan
siapa yang mendekat
Silahkan untai pinta dan harap
dalam relung cinta yang tak ternodai
sebab...
Dia memberi kasih sayangnya kepada
siapa yang telah resmi diwujudkannya, tapi...
hanya memberi cintaNya kepada siapa
yang selalu hadir di sisiNya

Senin, 15 Desember 2008

Neraka itu Mahal !

Pernahkah kita berfikir kalau neraka itu ternyata mahal?. Tapi, kenapa begitu banyak orang menyukainya, berlomba-lomba ingin mendapatkannya? Kalau bicara mahal, yaa..... itulah tabi’at manusia suka yang mahal-mahal dan sensasional Lihatlah! demi tampil beda, beli pakaian rela mengeluarkan fulus yang tidak sedikit bahkan mengambil kredit. Di kampung-kampung banyak gadis yang rela terjebak dalam hidup perawan tua demi sebuah gensi mahal. Perhatikanlah tabiat manusia, walaupun ia sudah tahu kalau perbuatannya itu telah membelah lautan menuju neraka, sikap dan tindakannya telah memenuhi syarat daftar antrian di depan pintu neraka, tetap saja dipertahankan bahkan dinikmati. Meskipun beradu dengan logika imannya, dan bertolak belakang dengan fitrah insaniyahnya.
Kenapa neraka mahal? Karena banyak peminatnya. Perhatikanlah suatu barang jika banyak peminatnya, maka barang itu akan dijual mahal oleh pemiliknya. Obat misalnya, karena begitu banyak peminatnya, sehingga tidak dijual murah oleh produsernya< walaupun informasi yang dibisikkan seorang teman yang bergelut di dunia obat, menguak fakta kalau harga obat sebenarnya tidak mahal. Tapi...., neraka lebih mahal dari obat. Begitu mahalnya neraka sehingga ada yang membelinya setelah menggadaikan imannya, demi untuk menikmati neraka ia rela menjual dulu aqidahnya. Mahal bukan?
Seberapa berkualitaskah neraka sehingga harus mahal? Sesuatu yang mahal belum tertentu berkualitas. Sadarkah kita berapa banyak barang mahal tetapi tidak berkualitas. Perhatikanlah! begitu banyak kosmetik beredar dan dijual dengan harga ratusan ribu, nyatanya “aspal”, asli tapi palsu. Orang membelinya tidak selektif lagi, karena dorongan syahwat ingin kulitnya putih dan cantik tidak terbendung. Mahalnya neraka juga tidak memiliki korelasi dengan wilayah nilai dan kwalitas. tetapi ia juga berkaitan dengan bahasa cinta syahwat dan dorongan hawa nafsu.
Betulkah manusia membeli neraka dengan hawa nafsu dan syahwatnya? Jawabnya ia!, Manusia rela berkorban dalam bentuk ritual dan pemuasan nafsu seks, manusia membangun peradabannya di atas pondasi syahwat. membenarkan kebathilan demi kepuasan syahawatnya, dan membenarkan kebenaran juga dengan syahwat
Itulah sebabnya setiap kali kita melantunkan ayat-ayat suci, Allah saw datang menyapa dengan santun dengan firmanNya; وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا * قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Q.S.As-Syams : 8-9).
Yaitu orang yang senantiasa membersihkan jiwanya dari perbudakan hawa nafsu, melepaskan dirinya dari belenggu syahwat. Kemudian menghadirkan dirinya sebagai hamba pengembara cinta suci di hadapan Allah yang Maha Suci. Bersimpuh penuh khusyuk dalam raja (harap), khauf (takut) dan hubb (cinta), di atas altar kenikmatan duniawi. Menambatkan hatinya hanya kepada Allah Ar-Rahman, Allah Ar-Rahim.
Ada tujuh rahasia kecintaan manusia terhadap syahwatnya. Perhatikanlah firman Allah berikut ini; “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga”) Q.S. Ali Imran : 14
Wanita, anak-anak, harta, kuda pilihan, binatang ternak, sawah dan ladang. merupakan impian manusia, dipikirkan dan dikejar.
Wanita, yaa...wanita, satu dari tiga wasiat Nabi untuk dijaga sebelum wafat. Wanita yang di Mesir, jika ada laki-laki yang mengkhitbahnya (lamar), jawaban pertama orangtua perempuan, “indak syaqqah” kamu sudah punya rumah?> Bahkan di negara khalij (negara-negara Arab teluk), wanita-wanita dilamar dengan ribuan dinar. Di masyarakat kita tidak jauh beda. Uang panaik (belanja nikah) diukur berdasarkan strata sosial dan pendidikannya.
Sebuah pernikahan elit dipertontonkan oleh dua selebriti beda negara yang konon biayanya hingga miliaran. Disinyalir merupakan pernikahan termewah sepanjang tahun 2008. Alangkah mahalnya menikmati syahwat. Saya sempat berenung, seandainya saja uang itu diinfakkan di jalan da’wah?
Perhatikanlah baik-baik firman Allah di atas, Tuhan menempatkan pasangan hidup (penulis mencoba memahami lebih universal dan adil dengan memaksudkan kata wanita dalam ayat tersebut dengan pasangan hidup), sebagai syahwat urut satu. Kenapa demikian? “Karena ia merupakan tali syaetan” demikianlah jawaban Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya, “Ma’alimul Tanzil”.
Fakhruddin Ar-Razi dalam kitabnya Mafatihul Ghaib menggambarkan bahwa, “dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada syahwat jasmaniyah dan kelezatan-kelezatan duniawi yang semu dan sesaat, yang suatu saat kelezatannya akan sirna, supaya manusia mengalihkan kecintaannya kepada sesuatu yang lebih baik, pasti, dan kekal, yaitu pengalihan perhatian kepada akhirat.
Kecintaan manusia terhadap tujuh hal tersebut sangat luar biasa, sehingga kadang-kadang sulit dibahasakan kecuali isyarat gelengan kepala. Perhatikanlah! Tiada langkah kaki dan ayunan tangan dari anak cucu Adam kecuali diperuntukkan untuk memenuhi kecintaannya. Roda kehidupan manusia berputar siang dan malam tanpa henti memburu kelezatan duniawi. Tiada waktu keterjagaan kecuali berfikir untuk kenikmatan, bahkan dibawa hingga dalam tidur. Setiap tarikan nafas dan detak jantung berirama keindahan duniawi. Memang manusia maunya yang enak-enak saja. Dan semua yang enak secara lahiriah itu dasarnya adalah syahwat.
Syahwat adalah pelindung neraka. Siapa yang mengintip di balik tabir syahwat maka ia akan melihat neraka. Siapa yang masuk ke dalam singgasana neraka, maka ia pasti masuk lewat pintu syahwat. Pehatikanlah baik-baik sabda Rasulullah saw berikut ini;
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
Dari Anas Rasulullah saw bersabda; Syurga ditutupi dengan hal-hal yang dibenci, dan neraka ditutupi dengan syahwat. H.R. Tirmidzi. Hadits ini hasan sahih gharib
Sebelum saya undur diri dari hadapan pembaca, saya mengajak kembali untuk memperhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ أَرْسَلَ جِبْرِيلَ إِلَى الْجَنَّةِ فَقَالَ انْظُرْ إِلَيْهَا وَإِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيهَا قَالَ فَجَاءَهَا وَنَظَرَ إِلَيْهَا وَإِلَى مَا أَعَدَّ اللَّهُ لِأَهْلِهَا فِيهَا قَالَ فَرَجَعَ إِلَيْهِ قَالَ فَوَعِزَّتِكَ لَا يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَهَا فَأَمَرَ بِهَا فَحُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَانْظُرْ إِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيهَا قَالَ فَرَجَعَ إِلَيْهَا فَإِذَا هِيَ قَدْ حُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ وَعِزَّتِكَ لَقَدْ خِفْتُ أَنْ لَا يَدْخُلَهَا أَحَدٌ قَالَ اذْهَبْ إِلَى النَّارِ فَانْظُرْ إِلَيْهَا وَإِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيهَا فَإِذَا هِيَ يَرْكَبُ بَعْضُهَا بَعْضًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ وَعِزَّتِكَ لَا يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ فَيَدْخُلَهَا فَأَمَرَ بِهَا فَحُفَّتْ بِالشَّهَوَاتِ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَرَجَعَ إِلَيْهَا فَقَالَ وَعِزَّتِكَ لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ لَا يَنْجُوَ مِنْهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَهَا.
Dari Abu Hurerah r.a. dari Nabi saw bersabda: Tatkala Allah telah menciptakan syurga, Ia memerintahkan Jibril pergi ke Syurga, dan Berkata : Lihatlah Syurga dan segala apa yang Aku telah persiapkan untuk penghuninya kelak. Nabi berkata, maka Jibril mendatangi syurga dan melihatnya dan apa yang telah dipersiapkan Allah untuk penghuninya. Nabi berkata; kemudian Jibril kembali kepada Allah dan berkata : demi kemuliaanMu, sesungguhnya tidak seorang pun yang mendengar beritanya kecuali ia akan memasukinya. Rasulullah berkata; kemudian Allah memerintahkan padanya dan syurga ditutupi (diliputi) dengan hal-hal yang tidak disukai (makarih), lalu Allah berkata; pergilah kembali ke syurga dan lihatlah apa yang aku telah persiapkan untuk penghuninya. Nabi berkata; maka kembalilah (jibril) dan mendapati (syurga) telah ditutupi dengan hal-hal yang dibenci, maka ia (jibril) kembali kepada Allah dan berkata; dan demi kemuliaanMu, sungguh aku takut kalau-kalau tidak seorang pun yang akan (ingin) masuk syurga. Allah berkata; pergi dan lihatlah ke neraka dan lihatlah apa-apa yang Aku telah persiapkan untuk penghuninya, yang isinya saling tindih sebagian dengan sebagian yang lain. Maka ia (jibril) kembali kepada Allah dan berkata; demi kemuliaanMu, sungguh tidak seorang pun yang mendengarkan beritanya kemudian ia ingin masuk di dalamnya. Kemudian Allah memerintahkan padanya dan neraka ditutupi (diliputi) dengan syahwat (berbagai keinginan), kemudian (Allah) berkata; kembalilah kepadanya!, maka ia (jibril) kembali kepadanya, dan berkata; demi kemuliaanMu, sungguh aku takut tidak ada seorang pun yang selamat dari padanya (godaannya) kecuali ia pasti masuk. H.R. Tirmidzi, hadits hasan shahih.
Menurut Al-Qurthuby “Al-makarih”, segala yang memberatkan di dalam jiwa, dan menyulitkan untuk dilaksanakan. Sedangkan as-syahawat, segala sesuatu yang sesuai dengan selera jiwa dan selaras dengan keinginan hati, serta segala sesuatu yang selalu mengajak kepadanya.
Sungguh, neraka memang mahal, sehingga manusia rela menggadaikan imannya, rela menukar akidahnya, menghalalkan segala hal demi untuk menikmati penutup dan pelindung neraka karena harus dibeli dengan segala keinginan-keinginan hati dan kepuasan jiwa, padahal kapan puasnya jiwa?, kapan berhentinya keinginan? Wallahu ‘alam.

Sabtu, 06 Desember 2008

Nilai Sebuah Pengorbanan

Berkurban adalah ibadah tahunan yang dilaksanakan kaum Muslimin setiap hari nahar di bulan dzulhijjah, baik yang menunaikan ibadah haji maupun yang hanya berlebaran di negerinya masing-masing. Sesuai dengan namanya “iedhul adha hari raya kurban, maka untuk meraih dan merayakan kemuliaannya harus dengan kurban, sebagaimana meraih kemuliaan bulan ramadhan dengan puasa.”
Berkurban merupakan ibadah tertua dari ajaran agama samawi. Perintah berkurban sudah ada semenjak Nabi Adam as.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آَدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآَخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (QS. AL-Maidah : 27).
Selanjutnya (diketahui) diperintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. Dari syariat nabi Ibrahim, di mana beliau diperintahkan untuk menyembelih anaknya Ismail a.s.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".(Q.S. As-shaffat : 102).

Kalau kita cermati perintah kurban kepada kepada putra Nabi Adam a.s. dan kepada Nabi Ibrahim a.s., maka dapat dipahami bahwa berkurban bukan hanya syariat yang diturunkan kepada ummat Islam, tetapi telah menjadi syariat bagi seluruh ummat manusia, yang intinya taqarrub ilallah.
Bagi Ibrahim a.s. perintah kurban dengan menyembelih anaknya, menjadi ujian tersendiri bagi keimanannya, ia merupakan bentuk ketaatan dan lambang ketundukan kepada Tuhannya. Kita dapat merasakan betapa beratnya suatu ujian ketika seseorang diperintahkan untuk menyembelih buah hati semata wayang yang begitu dicintainya. Bayangkanlah sekiranya kita (dengan kwalitas iman seperti sekarang ini), berada pada posisi Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anak yang sangat kita cintai!.
Tetapi bagi seorang Nabi Ibrahim a.s., dalam kondisi yang bagaimanapun beratnya, maka ia menghadapinya dengan rasa dan logika iman, sehingga betapapun ia mencintai anaknya Ismail, cintanya kepada Allah swt adalah cinta di atas segala-galanya.
Setelah Ibrahim as membuktikan ketaatannya terhadap perintah Tuhannya, dan sukses menghadapi ujian Allah swt, ia dianugerahi izzah. Allah swt memberikan balasan kebaikan dengan mengganti sembelihannya dengan seekor kibas.
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ * وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim" Q.S. As-Shaffat : 106-110

Keutamaan Berkurban
Kalau Ibrahim a.s. memenuhi perintah Allah untuk berkorban meskipun yang akan dikorbankannya itu adalah anaknya sendiri, maka apa yang menghalangi kita tidak menggegaskan hati, mempercepat langkah memenuhi seruan Ilahi, memaksimalkan harta yang kita miliki, berkurban di jalan Allah?
Berkurban adalah ibadah, sama dengan ibadah-ibadah lainnya. Allah swt memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin tanpa kecuali untuk berkurban وانحر لِرَبِّكَ ِّ فَصَل “Maka tunaikan shalat kepada Tuhanmu dan berkurbanlah”. Perintah Allah swt ini kemudian disikapi Rasulullah saw dengan segera melaksanakan titah Tuhan dan memerintahkannya dengan seruan keutamaan:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
Dari Aisyar r.a. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda : tidak ada pekerjaan anak cucu Adam yang paling dicintai Allah swt pada hari nahar kecuali mengalirkan darah. Sesungguhnya ia (kurbannya) akan datang datang pada hari kiamat dengan tanduknya, bulunya. Dan sesungguhnya darah (nilai sembelihan) itu telah ditempatkan oleh Allah di suatu tempat, sebelum ia jatuh ke tanah (HR. Ibnu Majah, Tirmizi).

Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw dengan tegas mengingatkan,
“Barangsiapa ada kelapangan, tetapi tidak berqurban, maka janganlah ia dekat ke tempat shalat kita.” HR. Ahmad dan Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim.

Maka alangkah ruginya seorang hamba yang telah diberikan kesempatan untuk melakukan kebaikan tetapi ia menyia-nyiakan kesempatan itu. Alangkah perhitungannya anak manusia terhadap materinya yang enggan menyisihkan sedikit dari hartanya untuk dibelanjakan di jalan Allah sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Pemberi rezki. Sesungguhnya orang yang beruntung adalah orang yang menyegerahkan dirinya dalam kebaikan. Sambutlah kebaikan itu dengan hati kemenangan. Allah swt telah membukakan pintu kebaikan, Maka “fastabiqul khaerat” berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Berkurban Sarana Mendekatkan diri kepada Allah swt.
Kurban sebagai ibadah merupakan sarana untuk membangun hubungan kedekatan diri kita dengan Allah swt. Siapa pun yang dekat dengan Allah, maka ia akan senantiasa mendapatkan limpahan karunia, ketenangan jiwa, dan kebahagiaan hidup. Allah senantiasa menjaga dirinya karena memang Allah sebaik-baik penjaga.
Kurban menjadi ungkapan kesediaan hati dan pernyataan kesanggupan diri untuk mengorbankan apa saja yang dimiliki bahkan hingga kepada yang paling dicintai sekalipun demi untuk membuktikan ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. Kurban menjadi pernyataan cinta di atas segala cinta kepada Ar-rahman, tempat segala pujian.

Hakekat Kurban
Hakekat kurban yang kita lakukan bukan terletak pada sembelihannya. Karena bukan hasil sembelihan yang kita persembahkan kepada Allah. Allah Maha Kaya sehingga tidak butuh dari hambaNya sesuatu apapun. Bukan daging atau darahnya yang sampai kepada Allah. Karena apa bedanya dengan peribadatan yang dilakukan kaum musyrik yang menyembah Tuhannya dengan niat menjadikan sembelihannya sebagai persembahan kepada Tuhannya, dan menjadikan darah itu sendiri sebagai bagian ritual ibadahnya (dicera).
Tetapi berkurban dengan menyembeli hewan, mengalirkan darahnya, mengambil dagingnya hakekatnya adalah bagaimana kita bisa menemukan ketaqwaan di dalamnya. Yang akan sampai kepada Allah dan diterima di sisiNya, kemudian diberikan balasan pahala adalah nilai ketaqwaan yang ada dibalik kurban yang kita tunaikan.
لنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (Q.S. Al-Hajj : 37)

Ketika Allah swt menjadikan puasa di bulan ramadahan sebagai wasilah menuju taqwa, maka berkurban menjadi wasilah ketaqwaan di bulan dzulhijjah. Mungkin kita bertanya, kenapa ibadah-ibadah itu dilakukan capaiannay adalah bertaqwa? Karena ketaqwaanlah yang akan menentukan masa depan hamba di negeri akhirat.
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal (Q.S. Al-Baqarah : 197).

Mewujudkan ketaqwaan dalam prosesi kurban, dilakukan dengan membangun pilar-pilar keshalehan yang kokoh dan tangguh. Yaitu pilar kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Di antara pilar keshalehan pribadi adalah :
1. Keikhlasan.
Keikhlasan merupakan pokok suatu ibadah dan amal shaleh.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَة
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus (Q.S. Al-Bayyinah : 5)

Ikhlas berarti mengkhususkan tujuan semua perbuatan hanya kepada Allah swt semata dan bukan kepada yang lainnya. Serta mampu mengenyampingkan segala penilaian manusia dan melupakan pandangan selain pandangan Allah yang senantiasa melihat setiap jengkal langkah, setiap tarikan nafas dan detak jatung hambanya.
Berkurban harus dengan ikhlas. Tidak dilakukan untuk dilihat sebagai orang kaya, bukan untuk mendapatkan penilaian dermawan, bukan pula untuk mendapatkan pujian dan sanjungan sebagai ahli ibadah. Tetapi berkurban semata karena mengharapkan ridha Allah swt. Dari berkurban kita dituntut untuk membiasakan diri bekerja dengan ikhlas dan berbuat karena Allah swt.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Q.S. Al-An’am : 162

Sering kali kita jumpai orang berbuat baik karena punya tujuan ganda, karena ada tujuan-tujuan tertentu untuk kepentingan pribadinya. Sehingga disaat tidak ada lagi kepentingannya, kebaikan itu pun hilang seiring dengan hilangnya ketidakikhlasan. Betapa banyak orang berderma, menyalurkan bantuan, memberi uang, membelanjakan hartanya tidak lain karena ingin memuluskan tujuan dan keinginannya, memperdaya orang banyak demi kepentingannya. Maka dengan berkorban, kita kubur unsur ketidakjujuran, kita hanguskan ketidakikhlasan hati. Mari kita jadikan kurban sebagai sarana untuk mengasah keikhlasan hati dalam berbuat.

2. Cinta.
Mari kita kembali menghayati perjalanan cinta Nabi Ibrahim a.s. kepada Tuhannya. Begitu indah dan begitu mulia cinta Ibrahim. Berbahagialah orang yang mampu menemukan cinta itu, seperti cinta yang dimiliki Nabi Ibrahim a.s.
Ibrahim a.s. yang setelah bertahun-tahun mendambakan anak, namun ketika dambaannya itu hadir, Allah swt memerintahkan untuk membawa buah hatinya yang dicintainya itu di tempat yang jauh, tempat yang asing, tiada kehidupan, hanya berselimut padang pasir yang bisu, dan gunung-gunung batu yang diam mematung.
Setelah bertahun tahun Nabi Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya karena perintah Allah, ia pun dipertemukan kembali dengan suka cita. Alangkah senangnya Ibrahim, alangkah gembiranya istri dan anaknya. Kita bisa merasakan kebahagiaan itu, kebahagiaan bisa berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya.
Tetapi Allah tidak mau membiarkan hambaNya larut dalam hasutan cinta yang semu, terlena dengan kegembiraan, sehingga alpa dengan tugas dan amanat, dan menggadaikan cinta sucinya kepada keindahan duniawi. Ia pun diperintahkan untuk menyembelih putranya Ismail, mengorbankan sesuatu yang amat dicintainya.
Bayangkanlah betapa hebatnya goncangan hati Nabi Ibrahim as. antara cinta kepada anak dengan cinta kepada Allah. Mungkin sekiranya kita menghadapi kenyataan seperti itu, akan melayangkan protes kepada Allah, bahkan menyatakan penolakan. Tetapi Nabi Ibrahim a.s. yang telah menemukan nikmatnya bercinta dengan Pemilik segala cinta, telah berada pada makam cinta Allah di atas segalanya. Tanpa ragu dan buruk sangka sedikit pun, ia menunaikan perintah Allah swt tersebut.
Maka dengan semangat kurban, kita diajari untuk bisa menjadi hamba pencinta. Bagaimana mengembarakan hati kita untuk menemukan cinta sejati dari segala cinta, cinta yang dapat mengalahkan segalanya, yaitu cinta kepada Yang Maha Pencinta, cinta kepada Allah swt, dan cinta kepada RasulNya.
Cinta kepada Allah swt, berarti menjadikan perintah Allah swt sebagai prioritas tertinggi dalam hidup.
Sering kali hamba Allah larut dalam cinta dunia yang berlebihan, terbuai dengan cinta materi, bisnis, jabatan yang melebihi batas, sehingga menodai cinta sucinya kepada Allah sawt. Kadangkala karena takut kehilangan jabatan, hukum Allah dilibas. Karena demi kekuasaan, dosa dan larangan Tuhan pun dilanggar. Karena sibuk mengumpulkan harta sehingga melupakan ibadah, akidah ditelantarkan.
Allah yang pemilik segala kekayaan yang di genggamanNyalah segala keputusan datang menyapa kita dalam satu tanya; “apakah pangkat, jabatan, serta dunia dan segala isinya mengekalkanmu? Ketahuilah bahwa semuanya itu sandiwara dan permaian, hanyalah kenikmatan yang menipu?. وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Dan tiadalah kehidupan dunia itu kecuali kenikmatan yang menipu (Q.S. Ali Imran :185)

Kalau kita sudah menyadari bahwa dunia dan segala isinya hanyalah permainan yang sesaat, sebatas sendagurau yang memikat, dan dipenuhi jerat-jerat tipuan. Lantas bagaimana kita menyikapi dunia ini? Sekali lagi Allah yang Maha Bijaksana telah membimbing kita dalam firmanNya;
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (Q.S. At-Taubah : 24).

Sejalan dengan peringatan Allah swt di atas, Rasulullah saw menyabdakannya dalam salah satu haditsnya
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga akulah yang lebih dicintai dari bapaknya, anaknya dan seluruh manusia (HR. Bukhary)
Cinta kepada Rasul, berarti mengikuti sunnah-sunnahnya dan tidak melanggarnya hanya karena kepentingan urusan duniawi. Mari kita bangun cinta. Cinta kepada Allah dan Rasulnya, karena itulah cinta suci yang tertinggi yang tidak mungkin ditukar dengan dunia dan segala isinya.
Mari kita bangun cinta dalam ibadah. Sebaik-baik ibadah adalah, ketika cinta dihadirkan di dalamnya. Orang yang beribadah tidak diikuti rasa cinta, maka ia tidak akan sanggup menikmati ibadahnya, ia tidak akan bahagia dengan ibadahnya, dan tidak dapat mencapai ketenangan jiwanya. Yang ada hanyalah ibadah terasa berat, dan menyusahkan.

3. Tawakkal.
Keputusan Ibrahim a.s. untuk meninggalkan anak dan istrinya di tempat tak berpenghuni membuat istrinya Siti Hajar harus hidup dalam kepasrahan. Ketika Ibrahim berbalik pergi meninggalkannya Siti Hajar bertanya,: “Wahai Ibrahim apakah ini perintah Allah?” Nabi Ibrahim hanya menoleh. . . dan dia melanjutkan jalannya dan Siti Hajarpun mengejar sambil bertanya lagi,: “Wahai Ibrahim apakah ini perintah Allah?” Nabi Ibrahim-pun hanya menoleh lalu tetap berjalan. Dan Siti Hajar-pun bertanya yang ketiga kalinya dengan pertanyaan yang sama sehingga Ibrahim akhirnya menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan. Firman Allah: Ketika Siti Hajar mengetahui alasan suaminya meninggalakn dirinya dan anaknya karena perintah Allah, maka ia pun berkata pergilah!, aku yakin bahwa Allah swt tidak akan menelantarkan diriku, sesungguhnya Allah sebaik-baik penolong.
Ketika anaknya Ismail menangis karena haus dan lapar, Siti Hajar berusaha mencari air, dilihatnya air mengalir di bukit Shafa, maka pergilah Siti Hajar ke bukit Shafa, ternyata yang didapat hanya fatamorgana saja, dilihatnya di bukit Marwa ada air mengalir, maka larilah Siti Hajar ke bukit Marwa, ternyata yang ada hanya fatamorgana saja. Hingga ia terus berlari mencari air dari bukit Shafa sampai ke bukit Marwa sebanyak tujuh kali dan dia pun tidak dapat menemukan air. Siti Hajar telah berusaha sekuat tenaga, namun hasilnya masih nol besar. Maka akhirnya ia hanya bisa pasrah dan bertawakkal menyerahkan dirinya, dan segala urusannya kepada Allah swt. Allah yang Maha Kuasa, Allah yang Maha Pencipta, Allah yang Maha Rahman dan Rahim. Allah yang Memberi Kehidupan, Yuhyi wa yumit wahua ala kulli syaein qadir
Kesabaran dan ketawakkalan Siti Hajar membuahkan kemuliaan bagi diri dan anaknya. Sebuah karunia yang membangungkan padang pasir tandus dan gunung-gunung batu dalam nafas kehidupan. Membangkitkan semangat hidup makhluk pesimistis dari terpaan penderitaan. Tiba-tiba Allah swt memancarkan mata air yang deras di dekat tubuh Ismail a.s. itulah air zam-zam yang tidak pernah habis sampai sekarang (dan sampai hari kiamat insyaallah). Itulah janji Allah swt. Allah swt memperlihatkan keagunganNya kepada hambaNya bahwa siapa yang beriman dan bertaqwa kemudian bertawakkal, maka Allah swt akan memberikan jalan keluar.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. (Q.S. At-Thalaq : 2-3)

Adapun pilar keshalehan sosial adalah insaniyatul insan (memanusiakan manusia). Yaitu perwujudan eksistensi manusia kepada derajat yang sesungguhnya. Derajat dimana manusia lebih mulia dari seluruh makhluk termasuk malaikat. Ia hidup dalam naungan fitrawinya, bebas mengabdi dan mengagungkan Tuhannya, terhindar dari proyek penghancuran martabat insaniyahnya sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fil ard (mandataris Tuhan di bumi).
Ritual kurban atau pengorbanan memiliki korelasi yang kuat dengan sejarah perjalanan hidup ummat manusia dalam mengapresiasikan penyembahan kepada Tuhannya. Di zaman Mesir kuno setiap tahunnya diadakan prosesi penyembahan dengan mengorbankan perempuan cantik sebagai sesajen kepada dewa Nil, dengan cara menyeburkannya ke dalam sungai, agar sungai Nil Tidak meluap.
Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, perbudakan merupakan bagian dari hiruk pikuk peradaban kerdil akidah. Jual beli orang menjadi bagian dari tarikan nafas masyarakat jahiliah, wanita dieksploitasi sebagai pemuas nafsu syahwat laki-laki, anak perempuan dianggap sebagai aib dan petaka keluarga.
إِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Q.S. An-Nahl : 58.

وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ * وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ * بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, Karena dosa Apakah Dia dibunuh Q.S. At-Taqwir : 8-9

Di Jepang, hingga di tahun 1940 masih berdirih kokoh diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki selalu di nomor wahidkan dari perempuan, dan jika anak perempuannya protes, akan dijawab, “anak perempuan hanya untuk dipandang bukan untuk di dengar”. Hingga di negara kita, diskriminasi kaum perempuan masih terasa kental, tapi tradisi menyimpang itu kita warisi dengan bangga.
Kehadiran Islam sebagai ajaran yang kamil (universal), dan syamil (komprehensif) termasuk di dalamnya ajaran berkurban, meruntuhkan semua berhala dan tradisi jahiliyah, memuliakan manusia, dan menempatkan manusia dalam posisi yang sejajar di hadapan Allah swt. Perhatikanlah ayat-ayat Allah swt berikut ini ;
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.
Q.S. An-Nisa : 124

Tetapi kenyataannya saat sekarang ini, kehidupan ala jahiliyah terhampar kembali di atas peradaban manusia modern. Perbudakan dan jual beli manusia dengan modus baru telah menjadi bisnis yang mengasyikkan. Lihatlah di bar-bar, diskotik-diskotik betapa banyak anak manusia terjebak dalam ritual jahiliah, dikorbankan demi kepuasan nafsu syahwat? Pembunuhan secara sistimatis melalui jarum suntik, narkoba dan HIV/AIDS terus memangsa manusia tanpa pilih umur atau pilah kelas, tidak punya batas dan episode akhir. Kita tidak tahu kapan akan berakhir.
Kalau saja di zaman dahulu pengorbanan dilakukan dengan mengorbankan manusia, mengapa tradisi itu kembali mengotori manusia zaman sekarang setelah dibersihkan oleh Islam dengan kesucian ajarannya? Bukankah kehadiran Ibrahim a.s. yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya tapi kemudian digantikan oleh Allah Allah swt dengan seekor kambing menjadi isyarat bahwa berkurban dilakukan tidak dengan manusia, karena manusia diciptakan bukan untuk dikorbankan. Tradisi sesajen manusia sudah saatnya untuk diakhri. Manusia di mata Allah adalah mulia dan punya nilai tinggi
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. Q.S. Al-Isra : 70.

Maka dengan kurban mari kita menyelamatkan manusia dari kehinaannya, mari bersama berjuang untuk mengakhiri tradisi pemujaan syahwat dengan mengorbankan manusia sebagai sesajen atau tumbalnya. Kita selamatkan diri, keluarga dan ummat manusia secara keseluruhan dari lumpur nista kemungkaran. Kita kembali kepada kebenaran Islam. Kita kembali kepada al-Quran dan sunnah, kita hidupkan hati dengan cahaya Ilahi. Kita sinari kehidupan ini dengan sinar keshalehan....Wallahu 'alam

Senin, 01 Desember 2008

Menjaga Kualitas Amal dengan Niat

Ali dan Arif bekerja di suatu instansi yang sama, waktu dan jenis kerjanya pun sama. Tetapi nilai dan kualitas (maknawiyah) dari pekerjaan keduanya berbeda, bahkan jauh berbeda. Ali bekerja karena orientasi duniawi, ia punya keinginan dan ambisi untuk memiliki sesuatu (materi) dan itulah menjadi tujuan utamanya bekerja. Sehingga apa yang diraihnya tidak lebih dari tumpukan materi.
Sedangkan Arif bekerja karena orientasi ibadah, mengumpulkan harta dengan kesadaran iman bahwa mencari nafkah adalah ibadah, dan keinginan untuk mendapatkan harta hanyalah “tujuan antara” yang menjembatani tujuan utama meraih ridha Allah swt. Sehingga ia berhasil meraih ridha Allah swt sekaligus mendapatkan materi.
Pada dasarnya setiap amal manusia akan berbeda pada pemberangkatan awal melakukan pekerjaan itu. Pekerjaan ternilaikan berdasarkan keinginan yang ada di dalamnya. Kualitasnya berdasarkan kuatnya hubungan niat dengan pekerjaan. Rasulullah saw menjelaskan hal itu dalam salah haditsnya :
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Alqamah bin Waqqas dari Umar bin Khattab berkata : Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan apa-apa dari urusannya sesuai dengan apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka nilai hijrah itu hanya kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang berhijrah karen ingin mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka niali hijrahnya sesuai dengan apa yang dia tujuh (niatkan). Hadits riwayat Bukhary dalam kitab shahihnya bab badu al-wahyi juz 1, diriwayatkan juga imam Muslim dalam bab Qauluhu shalla Allah alaih wasallam innamal ‘amalu binniat wa annhu yadkhulu fihi al-gazwu wa gaeruh min al-‘amal .

Hakekat Niat
Niat dalam bahasa arab berasal dari kata nawaa-yanwii, keinginan terhadap sesuatu. Ini menandakan niat sesungguhnya merupakan tujuan yang menjadi keinginan hati terhadap apa yang diingini dari suatu perbuatan, mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat. Dalam bahasa ibadah niat merupakan kehendak untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menunaikan suatu perbuatan atau menjauhi suatu larangan Allah swt.
Niat bukanlah suatu hal yang harus diungkapkan secara demonstratif, dipublikasikan di tengah orang banyak, dimediakan kepada khalayak ramai. Karena niat ungkapan (amalan) hati, pengakuan yang tak terlihat oleh kasat mata. Tidak diketahui dan tidak perlu diketahui orang lain, Hanya Allah saw dan orang yang berniat itu sendiri yang mengetahuinya.
Meskipun niat adalah amalan hati, namun dalam kondisi tertentu, kadangkala niat itu harus dibahasakan dalam bahasa lisan. As-syafi’iyah (pengikut mazhab Syafi’i) dan al-hanabilah (pengiktu mazhab Ahmad bin Hanbal) menganggap sunnah membahasakan niat dengan bahasa lisan, (khususnya dalam pelaksanaan ibadah shalat dan puasa). Walaupun lafadz niat tersebut menurut al-hanabilah tidak dengan jahar (bahasa jelas). Hal ini menunjukkan bahwa membahasakan niat dalam bahasa lisan adalah bentuk penguatan dan pemantapan hati terhadap suatu perbuatan yang akan dikerjakan, dan ia bukan inti niat, karena hakekat niat ada di dalam hati.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hubungan niat dengan amal perbuatan. Ada yang berpendapat bahwa niat adalah penyempurna amal yang dilakukan. Sehingga perbuatan walaupun tidak diawali dengan niat tetap sah, dan kesempurnaannya dengan diniatkannya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa niat adalah syarat sah perbuatan, sehingga suatu amal perbuatan dianggap batal jika tidak diniatkan sejak dari awal dilakukan.
Perbedaan itu, adalah perbedaan pendapat berdasarkan kapasitas keilmuan ulama dan perbedaan titik pemberangkatan dalam menempatkan niat dalam perbuatan manusia. Dan mereka tetap sepakat pada aspek maqashidnya bahwa niat merupakan syarat amal perbuatan.
Kualitas perbuatan ditentukan oleh niat. Ia membedakan hasil dari perbuatan yang dimaksudkan. Suatu perbuatan jika diniatkan dengan niat baik, maka proses perbuatan itu dan hasilnya adalah baik pula. Sebaliknya jika diniatkan dengan tidak baik, maka proses perbuatan dan hasilnya pun tidak baik, walaupun kedudukan perbuatan itu adalah kebaikan.
Akhir dari perbuatan terletak pada titik awalnya. Hasil dari amal tergantung pada permulaannya. Titik awal dan permulaan perbuatan adalah niat. Bayangkan dua orang masuk mesjid kemudian duduk berdiam, satu orang niatnya sekedar duduk melepas lelah atau istirahat, sedangkan yang satunya niatnya untuk i’tikaf. Sama-sama duduk di dalam mesjid tetapi nilai duduknya berbeda disebabkan karena perbedaan niatnya.
Stabilitas amal karena stabilitas niat. Niat menjadi tolok ukur perbuatan, karena niat, setiap perbuatan hamba berbeda di mata Allah swt. Apakah sang hamba beribadah karena mengharapkan ridha Allah swt semata atau mengharapkan sesuatu yang lain. Apakah ia sujud dan ruku karena dasar keimanan atau karena dasar nifaq, berbuat baik dengan ikhlas atau karena riya dan sum’ah.
Niat adalah ruh perbuatan. Karena niatlah yang melahirkan perbuatan, niat pulahlah yang menentukan balasan perbuatan itu. Suatu perbuatan baik jika ia sudah diniatkan dengan niat yang baik telah mendapatkan penilaian di sisi Tuhan dengan satu kebaikan, meskipun ia baru sebatas niat (baik). “Siapa yang berkeinginan melakukan kebaikan tetapi ia belum melakukannya, maka telah dicatat baginya dengan satu kebaikan (HR. Bukhary)”
Niat yang baik penentu nilai perbuatan. Bahkan bisa membentuk nilai dari suatu perbuatan yang tidak lakukannya senilai dengan perbuatan yang dilakukannya. Bisa dibayangkan jika ada orang yang tidak ikut jihad mendapatkan pahala sama dengan mereka yang terjun di medan jihad. Hal ini disampaikan Rasulullah saw ketika beliau kembali dari perang Tabuk, “Sesungguhnya ada beberapa orang yang kita tinggalkan di Madinah di mana mereka senantiasa menyertai perjalanan kita, baik sewaktu berjalan keluar masuk dusun maupun sewaktu menyeberangi lembah. Yang mencegah hanyalah halangan (HR. Bukhari Muslim)”.
Tiada kebaikan yang dihasilkan tanpa niat yang baik. Tiada pahal yang diperoleh tanpa niat yang tulus, tiada kemuliaan dari pekerjaan tanpa niat yang bersih. Niat punya kekuatan, niat punya keutamaan.
Tiga Jenis Perbuatan
Amal perbuatan memiliki tiga kategori ;
Pertama, At-ta’at (Ketaatan). Ketaatan ada yang bersifat keharusan atau lazim dan ada yang bersifat anjuran. Amal perbuatan pada aspek ketaatan ditentukan oleh niat. Jika saja kita berpegang pada pendapat bahwa niat adalah syarat sahnya amal perbuatan, maka niat wajib dihadirkan setiap kali akan melakukan aktivitas ketaatan. Seseorang yang menunaikan shalat lima waktu, atau membiasakan melaksanakan puasa sunnat senin kamis, jika tidak disertakan dengan niat maka shalat dan puasanya batal. Tetapi jika berpegang kepada pendapat, bahwa niat adalah penyempurna amal perbuataan, maka niat dihadirkan untuk menyempurnakan perbuatan yang dilakukan dan meningkatkan kualitas perbuatan tersebut.
Terlepas dari adanya dua pendapat di atas, sesungguhnya niat harus hadir disetiap awal perbuatan demi terkabulanya perbuatan yang dilaksanakan , niat harus hadir demi lurusnya suatu ibadah, niat harus hadir demi menguatkan komitmen melakukan ketaatan, niat harus hadir demi meluruskan arah ketaatan, niat harus hadir untuk menguatkan konsentrasi dan fokus ketaatan dan ibadah yang dilakukan. Penjagaan niat berarti langkah awal pemeliharaan amal kebaikan maupun amal ibadah.
Amal ibadah harus selalu diawali dengan niat. Karena tujuan niat dalam ibadah ada dua :
1. Membedakan ibadah dari perbuatan biasa. Misalnya menyembelih hewan ada yang tujuannya untuk kurban, maka itu adalah ibadah. Ada juga yang tujuannya hanya untuk di makan, maka itu adalah muba, tetapi kadangkala juga tujuannya untuk menyambut pemimpin sebagai upaya unutk mendekatkan diri kepadanya, maka perbuatan ini adalah haram.
2. Membedakan tertib ibadah antara satu dengan yang lainnya. Karena mendekatkan diri kepada Allah swt ada yang fardhu, ada yang sunnat. Sebagaimana shalat ada yang wajib dan ada yang sunnat.
Kedua, al-matrukaat (perbuatan yang ditinggalkan). Yaitu perbuatan yang tuntutannya adalah meninggalkan atau menjauhi perkara karena adanya larangan dan mudharat di dalamnya, seperti meninggalkan dosa, meninggalkan kemungkaran dan yang lainnya. Jika seseorang ingin meninggalkan kebiasaan narkoba, maka tidak perlu diniatkan terlebih dahulu, tetapi cukuplah ia langsung meninggalkannya karena dorongan khauf (takut) kepada Allah swt. Jika ia telah melakukannya semata karena Allah swt, maka ia telah melakukan satu kemuliaan sehingga Allah swt pun akan memberikan balasan pahala dari perbuatannya itu. Dan merupakan balasan pertama dan utama yang diraih adalah dikeluarkannya dari kungkungan dosa.
Ketaatan tidak bisa disatukan dengan larangan, kebaikan tidak boleh bercampur dengan kemaksiatan. Dalam niat pun tidak boleh ternoda kotoran dosa dan larangan. Ketaatan yang dilakukan walaupun disertai dengan niat yang baik, tetapi diawali dan dihasilkan dengan kemungkaran, maka ketaatan tersebut rusak dan bathil. Orang yang melakukan korupsi atau pencurian, dengan niat untuk membangun mesjid atau ingin memberi makan fakir miskin, maka kebaikan yang dilakukannya hanya sia-sia belaka dan tidak diterima di sisi Allah swt.
Ketiga, al-Ibahaat (mubah/boleh). Perbuatan mubah tidak bergantung pada niat, dan tidak ditentukan oleh niat. Karena ia adalah perbuatan yang tidak menimbulkan dosa karena dilakukan dan tidak menghasilkan pahala jika dikerjakan. Tetapi sebagaian ulama berpandangan jika amalan mubah itu dilakukan dengan niat taqarrub kepada Allah swt untuk mendapatkan ridha dan kebaikan Tuhan, maka hal itu bisa membawanya menjadi perbuatan yang bernilai kebaikan yang semoga Allah swt memberinya pahala. Makan, minum ataupun tidur jika diniatkan untuk menjaga kondisi tubuh supaya dapat melakukan shalat dengan baik, maka Allah swt dapat memberikannya nilai pahala sesuai kualitas niat yang diungkapkan hatinya.
Sekecil apapun amal perbuatan harus dijaga dengan niat yang baik. Sekecil apapun kebaikan yang dilaksanakan hendaknyalah dijaga keikhlasan niatnya. Jika perbuatan ditentukan oleh niat, maka kualitas niat juga ditentukan oleh keikhlasan dalam berniat. Memang niat dan keikhlasan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan keduanya dalam membangun kualitas amal yang terbaik. Keduanya bersinergi dan terpadu menuju capaian suatu tujuan yang bernilai. Yaitu amal perbutan yang bernilai kemuliaan di sisi Allah swt. Wallahu ‘Alam.

Referensi :
• Abu Bakar Jabiir Al-Jazairy, Minhajul Muslim, 1992 Dar Zaahid Al-Qudsy.
• Abdul ‘Aziz Muhammad Azzam, Al-Qawaidul Fiqhiyah, 1999, Maktabah ar-Risalah ad-dauliy.
• Wahbah Zuhaili, al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh, 1989, Darul Fikr, Damaskus
• Marwan Muhammad Mustafa Syahin, Qathfuts Tsimar Min Hadyi sayyedil Abtar, 1989
• Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, al-Waafi fi syarhil Arbai’in Nawawiyah, 1998, Darul Ibnu Katsir, Beirut.