Selasa, 25 November 2008

Mati : Titian Menuju Kesempurnaan Hidup (bag 2)


Proses Perjalanan Kematian
Hidup adalah amanat bagi manusia. Tiada sejengkal dari hidup yang dijalani luput dari pengadilan Tuhan. Amanat hidup tiadalah beda dengan amanat jabatan. Disambut gembira dengan haru dan air mata senang dan dilepas dengan duka dan tangisan pilu. Namun itulah sunnatullah hidup, semua akan berakhir dengan satu kata akhir, yaitu kematian. Yang kekal hanyalah Rabul Izzah, Rabul ‘alamin.
Ketika malakul maut mulai melaksanakan eksekusi kematian pada seorang hamba, dicabutnya nyawa dari jasad sehingga tertarik dari ujung kaki, hingga mencapai kerongkongan. Kondisi tubuh semakin melemah. Tiada yang sanggup mengelak darinya, tiada lagi kekuatan yang dapat menunda dan menahannya, tiada lagi obat yang dapat memperlambatnya.
Allah swt berfirman : (Q.S. Al-Qiyamah : 26-30)
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ . وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ . وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ . وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ . إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ .

Itulah detik-detik perpisahan manusia dengan segala hiruk pikuknya dunia. Masa yang disabdakan Rasulullah dalam salah satu hadits riwayat Bukhary, “Setiap kematian itu ada sakaratnya (masa kritis menjelang ajal)”. Dahsyatnya sakarat membuat Fatimah r.a. berucap ketika melihat penderitaan ayahnya, “betapa menyakitkan derita ayahku”. Mendegar ucapakan kesedihan buah hati yang dicintainya, Baginda Rasulullah saw menghibur dengan sabdanya, “setelah hari ini tidak ada lagi derita bagi ayahmu”.
Sungguh...! kematian lebih pedih dari sabetan pedang, lebih sakit dari sayatan gergaji. Pedihnya yang dirasakan sehingga siapa pun yang menjalaninya tidak bisa lagi berteriak, hati dan seluruh anggota tubuh menjadi lemas. Roh pun ditarik dari setiap nadi dan setiap anggota tubuh mati secara perlahan-lahan. Mulai dari telapak kaki menjadi dingin hingga puncaknya merambah naik ke kerongkongan. Pada saat itu, pandangan mata kepada dunia dan keluarga terputus, pintu taubat sudah tertutup, hingga akhirnya roh itu terangkat dari tubuh diiringi tatapan mata.
Sadarkah manusia, kalau kematian yang dijalani setiap manusia ditentukan oleh amal perbuatannya. Matinya orang mu’min dengan husnul khatimah, berbeda dengan kematian orang kafir yang suul khatimah. Betapa pun pedihnya detik-detik sekarat, bagi orang yang beriman adalah puncak kenikmatan dan kebahagiaan. Karena ia terlebih dahulu mendapatkan berita gembira dari Allah swt, dan keridhaan-Nya. Sedangkan orang kafir semakin bertambah pedihnya setelah ia mendapatkan kabar buruk.
Resapilah sabda Nabi kita yang mulia, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari Ubaidah bin ats-Tsamit r.a. “Sesungguhnya jika orang mu’min itu jika didatangi kematian, maka ia diberi kabar gembira tentang keridhaan Allah swt dan kemurahanNya. Tidak ada yang lebih ia cintai selain dari ap yang ada di hadapannya. Sedangkan penghuni neraka yang mengakhiri hidupnya dengan keburukan, ia diberi kabar tentang neraka dan ia berada dalam ketakutan”. Sungguh jauh perbedaan keduanya.
Ketika orang mu’min telah ditetapkan kematiannya, turunlah empat malaikta kepadanya, di antara mereka ada yang menarik nyawanya dari kaki kananya, ada yang menarik nyawanya dari kaki kirinya maka nyawanya pun keluar dengan mudah seperti asir yang mengucur dari kendi. Adapun orang kafir maka nyawanya tercanut dari jasadnya seperti mencabut rambut dari kain wol yang basah. Na’udzu billah.
Bazzar memberitakan dari Abu Huraerah r.a. bahwasanya Nabi saw bersabda; “Apabila ajal orang mu’min telah tiba, malaikat datag kepadanya dengan membawa kain sutra yang penuh dengan minyak wangi yang amat harum, kemudian ruhnya ditarik keluar deperti menarik rambut dari adonan, lantas dikatakan kepadanya, “wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha!”. Apabila ruh telah keluar, Malaikat meletakannya di atas sutra yang penuh dengan minyak wangi tersebut kemudian melipatnya dan membawanya kepada Illiyin. Adapun orang kafir apabila telah tiba ajalnya, malaikat datang kepadanya dengan bara api, kemudian ia menarik rohnya dengan sangat keras. Lantas dikatakan kepadanya, wahai jiwa yang kotor, kembalilah kepada azab Allah dan kehinaanNya dengan kemurkaan atasmu. Apabilah roh telah keluar malaikat meletakannya di bara api tersebut lalu membawanya ke sijjin”.
Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Huraerah, bahwasanya Nabi saw bersabda ; “malaikat datang kepada setiap orang yang menjalani kematian. Apabila ia orang shaleh, maka malaikat berkata, “keluarlah wahai jiwa yang baik dari tubuh yang baik, keluarlah dengan penuh pujian dan bergembiralah dengan ketenteraman dan rezki (rauhuw warehaan), serta keridhaan Tuhan tanpa kemarahan. Para Malaikat membawanya naik ke langit dan pintu-pintu langit pun dibuka untuknya. Setiap kali melewati malaikat dikatakan siapakah ini? Mereka (malaikat yang mebawanya) menjawab fulan bin fulan! Maka dikatakan kepadanya, “selamat datang wahai jiwa yang baik dari tubh yang baik, masuklah dengan penuh pujian dan bergembirah dengan ketenteraman dan rezki (rauhuw waraehanun) serta keridhaan Tuhan tanpa kemarahan. Ucapan penyambutan itu berlangusng hingga ke langit di mana Allah bersemayam. Adapun bagi orang yang jahat, malaikat berkata, “keluarlah wahai jiwa yang jelek dari tubuh yang jelek, keluarlah dengan ketercelaan dan bergembiralah dengan siksaan (jahim) dan busukan (ghassaq). Kemudian ia pun di bawa naik ke langit, namun dikatakan kepadanya, “tidak ada ucapan selamat datang bagi jiwa yang jelek dari tubuh yang jelek. Kembalilah dengan ketercelaan, karena sesungguhnya tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagimu. Maka dilemparkan kembali ke kuburan. “sekali-kali tidak akan dibukanan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk syurga hingga masuk masuknya unta di lubang jarum (Q.S. Al-Araf : 40)”.
Setelah catatan tentang dirinya ditulis, orang beriman ditulis di Illiyin, dan orang kafir ditulis di Sijjin, dikatakanlah kepada mereka, “Kembalikanlah hambaku ini ke bumi, sebab Aku telah menjanjikan kepada manusia bahwa Aku menciptakan mereka dari tanah dan dari tanah pula Aku keluarkan mereka sekali lagi”. Maka ruh kembali ke dalam jasadnya, dan selanjutnya ia akan menjalani pengadilan kubur.

Kenapa Harus Mati ?
Dapat dibayangkan bagaimana runyamnya dunia seandainya manusia tidak mati. Atau seandainya umur manusia zaman sekarang sama dengan umur manusia di zaman Nabi Nuh. Maka dengan kematian manusia kemudian menuju kepada alam lain. Alam yang belum bisa dibahasakongkritkan. Yang jelas Kematian adalah proses lanjutan dari kehidupan di dunia.
Kehidupan bukan sebatas menikmati segala apa yang ada dan tidak sebatas menghabiskan umur. Begitu juga kematian tidak sekedar berpisahny aruh dari jasad, atau sekedar proses kehancuran fisik, rusak kemudian musnah, dan bukan pula sebatas penghilang kenangan masa-masa lalu, atau terpisahnya diri dari kaum kerabat. Sesungguhnya hidup dan mati memiliki konsekuensi dan tuntutan dari Pencipta dan Pengaturnya.
Allah swt menjadikan hidup dan mati sebagai ujian bagi manusia, “Ia (Allah) menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kaum yang paling baik amalnya (Q.S. al-Mulk : 6)”. Rupanya hidup adalah ujian. Ujian dalam upaya dan usaha perjuanagn untuk berkarya, mencipta, dan memberi manfaat di dunia. Dunia dijadikan sebagai tempat hidup dan tempat mati, dan akhirat sebagai tempat balasan dan tempat tinggal untuk selamanya. Dijadikannya hidup dan mati sebagai ujian bagi manusia agar supaya mereka semakin takut kepada Allah dan memaksimalkan dirinya untuk menjauhi laranganNya, serta semakin mempercepat diri menyambut perintahNya dengan keshalehan. Karena setelah negeri fana ini ada negeri impian yang kekal abadi (akhirat), tempat perhitungan seluruh amal dan pemberian balasan dari seluruh perbuatan.
Pekerjaan dan ujian dilakoni manusia di dunia. Ia semuanya akan diterima hasilnya di negeri akhirat kelak. Untuk menuju ke negeri akhirat, manusia harus melepaskan diri dari kekangan kehidupan dunia, dan melewati titian kematian, karena kematianlah yang akan mengantarkan manusia menuju negeri akhirat. Tidak ada seorang pun yang dapat sampai negeri akhirat tanpa melewati kematian. Seba itu, alangkah ruginya manusia menghabiskan umurnya untuk hidup dengan dilenakan dengan segala kenikmatannya dan tidak mau mati. Bukanlah kematian merupakan jembatan menuju balasan kerja-kerja dan karya diri di dunia serta menikmati hasil usaha dan perjuangan di negeri fana.
Kematian digambarkan Quraisy Syihab seperti layaknya ayam yang masih dalam telur, maka kehidupan ayam belum apa-apa. Kesempurnaan hidup ayam akan terwujud setelah ia melompat dari dalam telur. Begitulah hakekat kematian manusia. Keberadaanya di dunia tiadalah artinya karena memang dunia hanyalah kenikmatan yang menipu (mata’ul ghurur). Sesungguhnya manusia akan mendapatkan kesempurnaannya setelah ia melompat dari negeri dunia menuju negeri akhirat dengan melewati kematian.
Jika demikian, kenapa banyak orang tidak mau mati bahkan mengingatnya pun enggan. Padahal kematian itu adalah keniscayaan hidup setiap orang yang tidak bisa ditunda dan tidak mengenal kompromi waktu. Kematian adalah pintu atau titian menuju menuju kesempurnaan hidup, ia adalah awal dari proses perjalanan menuju hidup yang abadi. Ia adalah titian mendapatkan keadialn sejati. Titian untuk berjumpa dengan yang Maha Pengasih dan Penyayang

Ingatlah Kematian
Wahai Saudaraku......!!!, kita hidup tidak untuk selamanya, harta, pangkat, istri, anak, keluarga tidak akan bersama kita selamanya, ada saatnya kita berpisah, ia pergi meninggalkan kita atau kita pergi meninggalkan mereka. Itulah kematian yang memutus segala kelezatan
Renungkanlah Sabda Rasulullah saw, “Perbanyaklah mengingat pemutus dan perusak kelezatan-kelezatan (yaitu kematian). H.R. Tirmidzi, An-Nasi, Ibnu Majah, Ahmad bin Hambal)”.
Suatu ketika Ibnu Umar duduk bersama Rasulullah saw, kemudian datanglah seseorang dari kaum Anshar dan bertanya, “Ya Rasulullah siapakah orang yang paling afdhal?” Nabi menjawab, “yang paling baik akhlaqnya”. Kemudian ia bertanya lagi, “siapakah orang mu’min yang paling perkasa”, Rasulullah bersabda, “orang yang paling banyak mengingat mati dan paling keras mempersiapkan diri menghadapi kematian”
Kematian tidak selayaknya luput dari ingatan seorang hamba yang mengharapkan ridha dan kebaikan Tuhan. Tidaklah pantas orang beriman berusaha menghindar dari kematian, karena ia pasti datang. Tidaklah pantas orang beriman takut dengan kematian, karena ia adalah tamu yang harus disambut dan dijaga setiap saat, tanpa ditahu kapan datangngya.
Yang pantas ditakutkan orang beriman kalau-kalau kematian itu datang sementara ia dalam keadaan lalai melaksanakan perintah Allah, yang patut ditakutkan orang beriman kalau malaikat maut telah datang menetapkan ajal dirinya di saat ia lupa mengingat Allah. Maka siapkanlah diri menjemput tamu terhormat itu, yang akan menentukan masa depan kita di akhirat kelak. Wallahu ‘Alam

Sabtu, 22 November 2008

Mati: Titian Menuju Kesempurnaan


“Setiap apa yang ada di bumi ini tidaklah kekal (Q.S. 55 : 26)”. Itulah pernyataan Sang-Khaliq dalam kitab-Nya untuk mengingatkan hamba-Nya yang memiliki kemampuan akal, pikiran dan perasaan bahwa tidak ada satu pun dari makhluNya baik jin, manusia, maupun malaikat yang memiliki kekuatan keabadian dan kekuasaan untuk hidup langgeng. Semuanya berawal dan akan berkesudahan, bermula dan akan berakhir. Dari tidak ada menjadi ada, kemudian akan menjadi tidak ada selanjutnya diadakan kembali.
Perhatikanlah kekuasaan yang dimiliki Firaun, kekayaan yang dipunyai Qarun, kebesaran kaum Tsamud, kemegahan kaum 'Ad, tiada satu pun yang langgeng, semuanya hancur dan musnah. Kehebatan Hitler dan kekuatannya hanya untuk masanya yang sangat singkat. keperkasaan Sueharto yang telah dibangun selama 32 tahun akhirnya juga berakhir di Istana Giri yang sepi. Bahkan para Nabi dan Rasul pun mempunyai cerita akhir. “sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati pula (Q.S. Az-Zumar : 30)”. Itulah proses perjalanan hidup manusia, yang punya awal dan akhir. Semuanya berada dalam genggaman Allah Yang Awal dan Maha Akhir.
Perjalanan manusia amatlah singkat (walaupun Khairil Anwar berharap ingin hidup seribu tahun lagi). Kehidupan yang dijalaninya suatu saat akan berakhir dengan kematian. “Setiap jiwa akan mengalami kematian (Q.S. 3 : 185)”. Kapan, di mana, dan bagaimanapun keadaannya apabila batas akhir hidupnya telah sampai maka pada saat itulah manusia akan mati. “Dan setiap manusia mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, maka mereka tidak dapat meminta penundaan dan tidak pula dapat dimajukan sedikit pun (Q.S. 7 : 34)”. Suka atau tidak suka, senang atau benci, siap atau belum, Tuhan tidak punya toleransi terhadap manusia atas kematiannya, “Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang (Q.S. Al-Mu’minun : 11)”.
Kematian tidak akan mungkin ditoleransi dengan kekayaan dan kekuasaan. Tidak akan pernah ditunda dengan ketidaksiapan, tidak satu pun dapat mengelak darinya karena ketakutan-ketakutan, tidak akan mungkin dihindari walaupun ia bersembunyi di tempat yang paling rahasia, “Di mana pun kamu berada kematian pasti akan mendapatkanmu walaupun berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh (Q.S. AN-Nisa : 78)”. Kalau kematian itu adalah kepastian dari hidup, adakah jalan dan usaha yang mungkin dapat dilakukan manusia untuk bisa mengetahui kapan dan di mana ia akan mati?. Sama sekali tidak!, “dan tidaklah seseorang mengetahui di bumi mana ia akan mati, (Q.S. Lukman : 34).
Sungguh!...kematian adalah masalah besar manusia. Rasanya siapa pun ingin dan berharap hidup lebih lama dengan umur yang panjang untuk bisa menikmati lezatnya dunia, memandangi indahnya kehidupan dunia. Tetapi apalah daya itu hanyalah angan-angan, tiba-tiba ajal tiba, kematian pun datang. Ia datang memutus segala kenikmatan duniawi, memisahkan ruh/jiwa dari jasad, melumatkan otot-otot dan daging, menghancurkan tulang-tulang, tinggallah dia seonggok benda yang kaku tak punya arti. Memang kematian adalah masalah yang misterius, hampir-hampir manusia tidak mengetahui apa itu mati, ada apa di balik kematian itu, kenapa harus mati, bagaimana proses perjalannya, dan akan kemana manusia setelah matinya. Manusia memang hanyalah manusia yang penuh kelalaian. Sehingga hampir-hampir manusia lalai untuk mengetahui kematiannya, tidak peduli dan bahkan berusaha untuk tidak tahu, karena ketakutan-ketakutan yang menyelimutinya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.....malang nian manusia lalai!.

Tahukah Kita Apa itu Mati ?
Umumnya mati diidentikkan dengan berpisahnya ruh atau nyawa seseorang dari jasadnya yang mengakibatkan seluruh aktivitas dalam dirinya terhenti, diam, kaku dan tidak bergerak. Jasad yang telah ditinggalkan ruhnya akan mengalami perubahan, dengan cepat akan rusak dan mengeluarkan bau. Sebab itu harus segera disingkirkan dengan berbagai cara yang dilakukan manusia. Dengan membenamkannya ke dalam tanah, ada yang membakarnya, dan ada pula yang menyimpannya di gua-gua batu. Tujuannya agar tidak mengganggu ketenangan manusia yang masih hidup.
Keberadaan ruh dalam jasad, merupakan inti dari hakekat manusia. Tubuh tidak lebih dari wadah yang bergerak karenan digerakkan. Ia tidak memiliki kekuatan kecuali apa yang diberikan oleh ruh. Seseorang akan merasakan sakit ketika dipukul, karena adanya ruh yang mengalir dalam tubuh. Dengan ruhnyalah ia merasakan sakit. Begitu pula perkembangan tubuh terjadi karena ada ruh yang bersemayam di dalamnya. Ruh yang menumpang di dalam jasad akan mengikuti perkembangan jasad. Ketika jasad sudah lemah dan tidak kuat lagi menampungnya, maka ia pun akan keluar atas ketetapan Allah swt. Keluarnya ruh dari tubuh atau jasad inilah yang disebut dengan wafat atau mati.

Allah swt menyampaikan hakekat ini dengan salah satu firmanNya (Q.S. Az-Zumar : 42) ;
                      •     
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Ayat ini memberikan penjelasan bahwa mati itu ada dua jenisnya. Ada yang berbentuk tertahannya nyawa seseorang sehingga tidak dapat lagi kembali kepada wadahnya (tubuh), dan ada yang dilepaskan Allah swt dari genggamanNya, sehingga memungkinkan kembali ke wadahnya semula. Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat”. Rasulullah bersabda, “sebagaimana engkau tidur begitupulah engkau mati, dan sebagaimana engkau bangun (dari tidur) begitupulah engkau dibangkitkan (dari alam kubur”. Dalam riwayat lain, Rasulullah ditanya, “apakah penduduk syurga itu tidur?, Nabi menjawa tidak, karena tidur temannya mati dan tidak ada kematian dalam syurga”.
Rasulullah saw telah membukakan kepada kita salah satu sisi tabir kematian. Bahwasanya tidur dan mati memiliki kesamaan, ia adalah saudara yang sulit dibedakan kecuali dalam hal yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar. Ruh orang tidur dan ruh orang mati semuanya ada dalam genggaman Allah swt, Dialah Yang Maha berkehendak siapa yang ditahan jiwanya dan siapa yang akan dilepaskannya.
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak Allah swt kepadanya, karena Allah swt yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur dan pada keadaan matinya.
Orang yang tidur tujuannya melepaskan kepenatan dan rasa capeknya setelah ia bekerja. Ketika bangun dari tidur, ia akan merasa segar dan bugar kembali. Mati sebagai saudaranya tidur, maka ia juga sesungguhnya untuk melepaskan kepenatan setelah bertahun-tahun disibukkan dengan kerja dan dan urusan duniawi. Maka pada saat dibangkitkan, ia akan merasakan suasana yang lain, yang seharusnya merasa segar dan bugar.
Lantas.......! mengapa manusia sangat senang tidur, tetapi takut mati. Bukankah keduanya sama dan saudara. Kalau begitu apa yang harus ditakutkan dari kematian..................Bersambung.

Rabu, 19 November 2008

Kenapa Harus Ummy ?


Di suatu kesempatan seorang ukhti yang sedang menghitung harinya untuk menunaikan sunnah Nabi saw, bertanya, “afwan setelah ana menikah, dan insyaallah punya anak, apakah ana sudah bisa dipanggil ummy?”...” insyallah semoga Allah swt mengabulkan doa dan harapan ukhti”. Jawabku singkat.
Dalam diri aku bergumam. Subhanallah, ukhti yang sebentar lagi akan melangsungkan dzafaf, telah berfikir dan berharap untuk meraih kenikmatan kedua dengan punya anak. Memang menjadi fitrah setiap manusia yang sudah nikah ingin punya anak. Tetapi betapa banyak wanita zaman sekarang rela menghabiskan umurnya untuk tidak menunaikan sunnah dan rela puasa dari nikmat Tuhan, demi mengejar prestasi dan prestise duniawi, apalagi berfikir punya anak, kemudian diasuh dan didik. Bahkan ada yang menolak khitbah hanya karena yang mengkhitbahnya itu belum punya pekerjaan tetap, atau karena “doi panai” yang terlalu sedikit.
Tetapi ukhti yang satu ini walaupun ia berasal dari keluarga “Puang” yang kaya raya, dan juga sudah punya pekerjaan tetap, tetapi ia tidak mau menunda waktunya untuk bersegerah menunaikan sunnah Rasul, ia ridha menerima khitbah pemuda guru mengaji TK/TPA di Mesjid, karena cintanya kepada Allah dan RasulNya. Sungguh ia telah mengamalkan seruan Allah dalam Q.S. 24 :51. Masyaallah beruntunglah orang yang mendapatkan pendamping hidup seperti dirinya, adakah kemuliaan dan kebaikan yang melebihinya? Ia ingin memilih pintu syurga seperti yang dijanjikan Nabi saw dengan segera mengamalkan hadits, “iza shallat al-marah khamsaha, wahasunat farjaha, wa ata’at ba’laha dakhalal janna bi ayyi babin sya’at”
Satu lagi pertanyaan ana, “sebenarnya apa bedanya ummy dengan ibu atau mama, kenapa akhwat kalau udah punya anak panggilannya ummu fulan, bukan mama atau ibu si-A saja, khan lebih populer?”.....
kalau mama, nanti dikira mamalia, atau mamamia....kalau ibu takut dibilangin ibu pertiwi, atau ibu RT, atau ibu PKK, he..he..he... Sedangkan ummu atau ummy kesan pertamanya adalah sosok wanita mu’minah da’iyah yang ‘abidat wal qanitat. Jawabku singkat. “syukran wa afwan az’ajtuk” ucapnya sambil insiraf. Rupanya ia juga bisa bahasa Arab.
Setelah semuanya berlalu, muncul pertanyaan, Kenapa ia mau jadi ummy,dan kenapa akhwat ketika punya anak senang melaqab dirinya dengan laqab (gelaran)ummu, dan menjadi sapaan akrabnya, kenapa harus ummy? haruskah laqab ummu itu diberikan kepada setiap wanita yang sudah punya anak, dan pantas untuk disandang oleh siapa saja asalkan punya anak?............................

Ukhti....untuk menjadi ummy itu tidaklah menjadi syarat mutlak harus punya anak. Diantara wanita ada yang dipanggil ummu tetapi ia tidak punya anak. Aisyah r.a. digelari ummu abdillah padahal beliau tidak punya anak. sebaliknya pula bahwa setiap wanita yang sudah punya anak dengan sendirinya akan menjadi ummy, kadangkala laqab ummu itu tidak layak bagi seseorang, karena beberapa faktor tertentu.
Ukhti!....ummy, adalah sosok wanita muslimah yang mampu memposisikan dirinya dalam rumah tangga tercintanya secara mutawazun (seimbang) antara dirinya sebagai istri dari seorang suami, ibu dari anak-anaknya, anak dari keduaorangtuanya, dan da’iayah di tengah masyarakat. Seorang ummy ketika ia tampil menjadi istri, maka ia memimpikan pintu-pintu syurga Allah dari belaian suaminya melalui pelayanan cinta dan ketaatan yang penuh ikhlas. seluruh dirinya seutuhnya diserahkan kepada suaminya. Ia sangat takut, dan sangat takut dalam khaufil iman dari sabda Nabi Allah saw
(رواه البيهقي)” لو أن امرأة أطاعت ربها ، وحفظت فرجها ثم آذت زوجها بكلمة باتت والملائكة تلعنه
Ketika ia hadir sebagi sosok ibu dari anak-anaknya, maka ia tampil menjadi titian semangat bagi anak-anaknya untuk meraih syurga “ yang surga itu ada di bawah telapak kaki ibu”, bukan membuatkan lorong menuju jurang neraka bagi anak-anaknya. Ketika ia tampil berada pada posisi anak dari keduaorangtuanya, maka ia hadir sebagai salah satu sumber kebahagiaan dan ketenangan keduanya di dunia dan diakhirat, dengan kalimat thayyibah dan iringan do’a agar tetap dalam lindungan Ilahi. Ketika ia tampil sebagai ‘abidah, maka ia terus bersimpuh dalam munajat do’a, khusyu’ dalam alunan bait-bait zikir, melantunkan pujian kepada Yang Maha Terpuji. Ketika ia hadir sebagai da’iyah, maka ia menjadi sumber kebaikan orang lain. Menjadikan dirinya tempat menambatkan asa setiap orang yang ditimpa kebingungan. Menghadirkan kenyamanan dikala dingin ataupun panas.
Ukhti!, ketauhilah ummy adalah sosok wanita yang selalu menghias dirinya dengan akhlaqul karimah, mempercantik bibirinya dengan ucapan yang produktif (falyaqul kharean auliasmut) dan kalimat thayyibah, senantiasa menjauhi gosib maupun fitnah. Ucapannya penuh kearifan, bila dipandang akan menyejukkan hati, membungkus kehormatan dirinya dan suaminya dengan ketaqwaan, dan itulah sebaik-baik perempuan. Ukhti.....! perhatikanlah nasehat indah dari orang yang kamu cintai dan contoi:
خَيْرُ النِّسَاءِ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكِ(رواه الطبراني)
Ukhti...!, ummy adalah laksana bidadari bagi anak-anaknya, yang membawanya terbang kepuncak kebahagiaan, menggapai kesuksesan dalam naungan inayah Ilahi. Lihatlah Ali bin Abi Thalib satu-satunya sahabat Rasulullah yang dipanggil karramallahu wajhahu, ia pun terpilih menjadi al-‘asyarah al-mubasyyirina bil-jannah. Ia tumbuh sebagai seorang pemuda sosok teladan bagi para pemuda seusianya di bawah belaian cinta dan didikan imaniyah umminya Fathimah binti Asad...lihatlah Sofyan at-Tsaury tumbuh hingga menjadi salah seorang ulama hadits yang mahsyur berkat ri’ayah tangan ibunya yang lembut penuh kasih. Perhatikanlah ucapan ummu Sofyan ini, “Anakku carilah ilmu, aku akan memenuhi kebutuhanmu dengan hasil tenunanku." Subhanallah! Alangkah bahagianya anak-anak yang terlahir dari rahim seorang ibu yang pandangannya jauh ke depan, lembut dan bijaksana.
Ukhti...! jika nantinya punya anak, tidak takutkah ukhti, kalau anak itu kata Allah dalam Q.S. al-Kahfi : 46 adalah perhiasan dunia sebagaimana materi yang karena keindahannya dapat memalingkan diri dari kenikmatan ibadah kepada Allah, atau karena kecintaan kepadanya memalingkan hati dari kecintaan kepada Allah. Jika ukhti nanti punya anak, maka belailah dirinya dengan belaian khauf lillah, karena sesungguhnya kata Penciptanya dalam Q.S. 64 : 15, ia terlahir sebagai fitnah.
Ukhti....!sekarang ini banyak yang mendedikasikan dirinya sebagai Ummy dari anak-anaknya tetapi, melepaskan tanggungjawabnya terhadap tarbiyah anak-anaknya, karena kesibukannya dalam aktivitas da’wah, sibuk dengan kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat. Akhirnya anak-anaknya tumbuh kerdil karena tidak mendapatkan asupan kasih dan penjagaan. Lihatlah ukhti...!, seorang ummu yang keliling lorong berda’wah, keluar masuk gang mengajar mengaji, tapi lihatlah anak-anaknya...anak pertamanya dikeluarkan dari sekolahnya karena tawuran, anak keduanya tidak naik kelas karena jarang masuk sekolah, anak ketiganya sudah ikut dalam kelompok “ahli hisap” masyaallah......
Ukhti....!sekarang ini, banyak yang melaqabkan dirinya sebagai ummy di rumah tangganya, tetapi ia begitu bebasnya melakukan aktivitas di luar rumah dengan berani menginjak batasan-batasan khalwat, melepaskan garis larangan ikhtilath, jauh dari pantauan suaminya,......ukhti, baity jannaty, dan salah satu sudut keindahannya adalah zaujatun shalihah yang mengiringi suaminya keluar mencari nafkah dengan iringan do’a dan senyum, dan selalu menanti kepulangan suaminya dengan sambutan yang hangat lagi indah. Bukan dirinya yang disambut kepulangannya oleh suaminya.
Ukhti...!, jadilah ummy, karena ummy adalah sumber kebahagiaan, sumber cinta dan kasih sayang, sumber kesuksesan, sumber inspirasi, sumber kekuatan. Karena ia adalah
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Wallahu ‘alam