Selasa, 25 November 2008

Mati : Titian Menuju Kesempurnaan Hidup (bag 2)


Proses Perjalanan Kematian
Hidup adalah amanat bagi manusia. Tiada sejengkal dari hidup yang dijalani luput dari pengadilan Tuhan. Amanat hidup tiadalah beda dengan amanat jabatan. Disambut gembira dengan haru dan air mata senang dan dilepas dengan duka dan tangisan pilu. Namun itulah sunnatullah hidup, semua akan berakhir dengan satu kata akhir, yaitu kematian. Yang kekal hanyalah Rabul Izzah, Rabul ‘alamin.
Ketika malakul maut mulai melaksanakan eksekusi kematian pada seorang hamba, dicabutnya nyawa dari jasad sehingga tertarik dari ujung kaki, hingga mencapai kerongkongan. Kondisi tubuh semakin melemah. Tiada yang sanggup mengelak darinya, tiada lagi kekuatan yang dapat menunda dan menahannya, tiada lagi obat yang dapat memperlambatnya.
Allah swt berfirman : (Q.S. Al-Qiyamah : 26-30)
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ . وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ . وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ . وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ . إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ .

Itulah detik-detik perpisahan manusia dengan segala hiruk pikuknya dunia. Masa yang disabdakan Rasulullah dalam salah satu hadits riwayat Bukhary, “Setiap kematian itu ada sakaratnya (masa kritis menjelang ajal)”. Dahsyatnya sakarat membuat Fatimah r.a. berucap ketika melihat penderitaan ayahnya, “betapa menyakitkan derita ayahku”. Mendegar ucapakan kesedihan buah hati yang dicintainya, Baginda Rasulullah saw menghibur dengan sabdanya, “setelah hari ini tidak ada lagi derita bagi ayahmu”.
Sungguh...! kematian lebih pedih dari sabetan pedang, lebih sakit dari sayatan gergaji. Pedihnya yang dirasakan sehingga siapa pun yang menjalaninya tidak bisa lagi berteriak, hati dan seluruh anggota tubuh menjadi lemas. Roh pun ditarik dari setiap nadi dan setiap anggota tubuh mati secara perlahan-lahan. Mulai dari telapak kaki menjadi dingin hingga puncaknya merambah naik ke kerongkongan. Pada saat itu, pandangan mata kepada dunia dan keluarga terputus, pintu taubat sudah tertutup, hingga akhirnya roh itu terangkat dari tubuh diiringi tatapan mata.
Sadarkah manusia, kalau kematian yang dijalani setiap manusia ditentukan oleh amal perbuatannya. Matinya orang mu’min dengan husnul khatimah, berbeda dengan kematian orang kafir yang suul khatimah. Betapa pun pedihnya detik-detik sekarat, bagi orang yang beriman adalah puncak kenikmatan dan kebahagiaan. Karena ia terlebih dahulu mendapatkan berita gembira dari Allah swt, dan keridhaan-Nya. Sedangkan orang kafir semakin bertambah pedihnya setelah ia mendapatkan kabar buruk.
Resapilah sabda Nabi kita yang mulia, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari Ubaidah bin ats-Tsamit r.a. “Sesungguhnya jika orang mu’min itu jika didatangi kematian, maka ia diberi kabar gembira tentang keridhaan Allah swt dan kemurahanNya. Tidak ada yang lebih ia cintai selain dari ap yang ada di hadapannya. Sedangkan penghuni neraka yang mengakhiri hidupnya dengan keburukan, ia diberi kabar tentang neraka dan ia berada dalam ketakutan”. Sungguh jauh perbedaan keduanya.
Ketika orang mu’min telah ditetapkan kematiannya, turunlah empat malaikta kepadanya, di antara mereka ada yang menarik nyawanya dari kaki kananya, ada yang menarik nyawanya dari kaki kirinya maka nyawanya pun keluar dengan mudah seperti asir yang mengucur dari kendi. Adapun orang kafir maka nyawanya tercanut dari jasadnya seperti mencabut rambut dari kain wol yang basah. Na’udzu billah.
Bazzar memberitakan dari Abu Huraerah r.a. bahwasanya Nabi saw bersabda; “Apabila ajal orang mu’min telah tiba, malaikat datag kepadanya dengan membawa kain sutra yang penuh dengan minyak wangi yang amat harum, kemudian ruhnya ditarik keluar deperti menarik rambut dari adonan, lantas dikatakan kepadanya, “wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha!”. Apabila ruh telah keluar, Malaikat meletakannya di atas sutra yang penuh dengan minyak wangi tersebut kemudian melipatnya dan membawanya kepada Illiyin. Adapun orang kafir apabila telah tiba ajalnya, malaikat datang kepadanya dengan bara api, kemudian ia menarik rohnya dengan sangat keras. Lantas dikatakan kepadanya, wahai jiwa yang kotor, kembalilah kepada azab Allah dan kehinaanNya dengan kemurkaan atasmu. Apabilah roh telah keluar malaikat meletakannya di bara api tersebut lalu membawanya ke sijjin”.
Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Huraerah, bahwasanya Nabi saw bersabda ; “malaikat datang kepada setiap orang yang menjalani kematian. Apabila ia orang shaleh, maka malaikat berkata, “keluarlah wahai jiwa yang baik dari tubuh yang baik, keluarlah dengan penuh pujian dan bergembiralah dengan ketenteraman dan rezki (rauhuw warehaan), serta keridhaan Tuhan tanpa kemarahan. Para Malaikat membawanya naik ke langit dan pintu-pintu langit pun dibuka untuknya. Setiap kali melewati malaikat dikatakan siapakah ini? Mereka (malaikat yang mebawanya) menjawab fulan bin fulan! Maka dikatakan kepadanya, “selamat datang wahai jiwa yang baik dari tubh yang baik, masuklah dengan penuh pujian dan bergembirah dengan ketenteraman dan rezki (rauhuw waraehanun) serta keridhaan Tuhan tanpa kemarahan. Ucapan penyambutan itu berlangusng hingga ke langit di mana Allah bersemayam. Adapun bagi orang yang jahat, malaikat berkata, “keluarlah wahai jiwa yang jelek dari tubuh yang jelek, keluarlah dengan ketercelaan dan bergembiralah dengan siksaan (jahim) dan busukan (ghassaq). Kemudian ia pun di bawa naik ke langit, namun dikatakan kepadanya, “tidak ada ucapan selamat datang bagi jiwa yang jelek dari tubuh yang jelek. Kembalilah dengan ketercelaan, karena sesungguhnya tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagimu. Maka dilemparkan kembali ke kuburan. “sekali-kali tidak akan dibukanan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk syurga hingga masuk masuknya unta di lubang jarum (Q.S. Al-Araf : 40)”.
Setelah catatan tentang dirinya ditulis, orang beriman ditulis di Illiyin, dan orang kafir ditulis di Sijjin, dikatakanlah kepada mereka, “Kembalikanlah hambaku ini ke bumi, sebab Aku telah menjanjikan kepada manusia bahwa Aku menciptakan mereka dari tanah dan dari tanah pula Aku keluarkan mereka sekali lagi”. Maka ruh kembali ke dalam jasadnya, dan selanjutnya ia akan menjalani pengadilan kubur.

Kenapa Harus Mati ?
Dapat dibayangkan bagaimana runyamnya dunia seandainya manusia tidak mati. Atau seandainya umur manusia zaman sekarang sama dengan umur manusia di zaman Nabi Nuh. Maka dengan kematian manusia kemudian menuju kepada alam lain. Alam yang belum bisa dibahasakongkritkan. Yang jelas Kematian adalah proses lanjutan dari kehidupan di dunia.
Kehidupan bukan sebatas menikmati segala apa yang ada dan tidak sebatas menghabiskan umur. Begitu juga kematian tidak sekedar berpisahny aruh dari jasad, atau sekedar proses kehancuran fisik, rusak kemudian musnah, dan bukan pula sebatas penghilang kenangan masa-masa lalu, atau terpisahnya diri dari kaum kerabat. Sesungguhnya hidup dan mati memiliki konsekuensi dan tuntutan dari Pencipta dan Pengaturnya.
Allah swt menjadikan hidup dan mati sebagai ujian bagi manusia, “Ia (Allah) menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kaum yang paling baik amalnya (Q.S. al-Mulk : 6)”. Rupanya hidup adalah ujian. Ujian dalam upaya dan usaha perjuanagn untuk berkarya, mencipta, dan memberi manfaat di dunia. Dunia dijadikan sebagai tempat hidup dan tempat mati, dan akhirat sebagai tempat balasan dan tempat tinggal untuk selamanya. Dijadikannya hidup dan mati sebagai ujian bagi manusia agar supaya mereka semakin takut kepada Allah dan memaksimalkan dirinya untuk menjauhi laranganNya, serta semakin mempercepat diri menyambut perintahNya dengan keshalehan. Karena setelah negeri fana ini ada negeri impian yang kekal abadi (akhirat), tempat perhitungan seluruh amal dan pemberian balasan dari seluruh perbuatan.
Pekerjaan dan ujian dilakoni manusia di dunia. Ia semuanya akan diterima hasilnya di negeri akhirat kelak. Untuk menuju ke negeri akhirat, manusia harus melepaskan diri dari kekangan kehidupan dunia, dan melewati titian kematian, karena kematianlah yang akan mengantarkan manusia menuju negeri akhirat. Tidak ada seorang pun yang dapat sampai negeri akhirat tanpa melewati kematian. Seba itu, alangkah ruginya manusia menghabiskan umurnya untuk hidup dengan dilenakan dengan segala kenikmatannya dan tidak mau mati. Bukanlah kematian merupakan jembatan menuju balasan kerja-kerja dan karya diri di dunia serta menikmati hasil usaha dan perjuangan di negeri fana.
Kematian digambarkan Quraisy Syihab seperti layaknya ayam yang masih dalam telur, maka kehidupan ayam belum apa-apa. Kesempurnaan hidup ayam akan terwujud setelah ia melompat dari dalam telur. Begitulah hakekat kematian manusia. Keberadaanya di dunia tiadalah artinya karena memang dunia hanyalah kenikmatan yang menipu (mata’ul ghurur). Sesungguhnya manusia akan mendapatkan kesempurnaannya setelah ia melompat dari negeri dunia menuju negeri akhirat dengan melewati kematian.
Jika demikian, kenapa banyak orang tidak mau mati bahkan mengingatnya pun enggan. Padahal kematian itu adalah keniscayaan hidup setiap orang yang tidak bisa ditunda dan tidak mengenal kompromi waktu. Kematian adalah pintu atau titian menuju menuju kesempurnaan hidup, ia adalah awal dari proses perjalanan menuju hidup yang abadi. Ia adalah titian mendapatkan keadialn sejati. Titian untuk berjumpa dengan yang Maha Pengasih dan Penyayang

Ingatlah Kematian
Wahai Saudaraku......!!!, kita hidup tidak untuk selamanya, harta, pangkat, istri, anak, keluarga tidak akan bersama kita selamanya, ada saatnya kita berpisah, ia pergi meninggalkan kita atau kita pergi meninggalkan mereka. Itulah kematian yang memutus segala kelezatan
Renungkanlah Sabda Rasulullah saw, “Perbanyaklah mengingat pemutus dan perusak kelezatan-kelezatan (yaitu kematian). H.R. Tirmidzi, An-Nasi, Ibnu Majah, Ahmad bin Hambal)”.
Suatu ketika Ibnu Umar duduk bersama Rasulullah saw, kemudian datanglah seseorang dari kaum Anshar dan bertanya, “Ya Rasulullah siapakah orang yang paling afdhal?” Nabi menjawab, “yang paling baik akhlaqnya”. Kemudian ia bertanya lagi, “siapakah orang mu’min yang paling perkasa”, Rasulullah bersabda, “orang yang paling banyak mengingat mati dan paling keras mempersiapkan diri menghadapi kematian”
Kematian tidak selayaknya luput dari ingatan seorang hamba yang mengharapkan ridha dan kebaikan Tuhan. Tidaklah pantas orang beriman berusaha menghindar dari kematian, karena ia pasti datang. Tidaklah pantas orang beriman takut dengan kematian, karena ia adalah tamu yang harus disambut dan dijaga setiap saat, tanpa ditahu kapan datangngya.
Yang pantas ditakutkan orang beriman kalau-kalau kematian itu datang sementara ia dalam keadaan lalai melaksanakan perintah Allah, yang patut ditakutkan orang beriman kalau malaikat maut telah datang menetapkan ajal dirinya di saat ia lupa mengingat Allah. Maka siapkanlah diri menjemput tamu terhormat itu, yang akan menentukan masa depan kita di akhirat kelak. Wallahu ‘Alam

1 komentar :

عبد الرحمن سكا mengatakan...

Terkhusus ibu yang bertanya dalam pengajian...moga jawabannya menenangkan hati!