Kamis, 29 Juli 2010

Eksklusifisme Sunnah Ulama Madinah Dalam Perspektif Studi Hadis: (Suatu Rekonstruksi Metodologi)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Madinah adalah salah satu pusat peradaban Islam. Pusat perjuangan da’wah dan pembangunan ilmu pengetahuan, sekaligus pusat lahirnya banyak ulama. Warisan ulama Madinah tak pernah putus sejak dari masa awal Islam hingga sekarang ini. Ulama selalu hadir dari generasi ke generasi melanjutkan tongkat estafeta keulamaan, bagai mata rantai yang sambung-menyambung.
Ketika Rasulullah saw selesai menunaikan tugas kerasulannya dimana tidak ada lagi Rasul setelahnya, ulamalah yang hadir di garda terdepan sebagai pewarisnya. Para sahabat yang merupakan kader-kader binaannya, tampil sebagai pelanjut dan pewaris pertama tugas kerasulan. Ada yang tetap bermukim di kota Madinah dan ada yang keluar kota Madinah tersebar ke berbagai negeri.
Di antara ulama kalangan sahabat yang bermukim di Madinah adalah Khalifah empat , Abu Hurairah, Aisyah, Abdullah bin Umar, Abi Said al-Khudri, dan Zaid bin Sabit. Kaderisasi ulama Madinah diteruskan oleh ta>bi’in sebagai generasi penerus sahabat. Di antara mereka ada Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Z|ubair, dan Ibnu Syiha>b al-Z|uhri>. Dari ta>bi’i>n dilanjutkan oleh generasi atibba’ al-ta>bi’i>n. Salah seorang ulama dari generasi ini adalah Malik bin Anas . Pasca atibba’ al-ta>bi’i>n hingga, regenerasi ulama terus berlanjut hingga era sekarang. Dari masa ini hadir ulama yang terkenal antara lain Ibnu Taimiyah, Abdullah bin Ba>z\, dan Hus\aimin
Imam Malik bin Anas merupakan representase dari ulama Madinah. Ia digelari Imam Da>r al-hijrah. Ia senantiasa hidup melintasi zaman dimana ia berada karna keilmuannya dengan pemahaman hadis dan fiqhnya yang dalam diiringi kualitas kepribadiannya yang terpercaya (s\iqat). Dengan ilmunya, ia mendedikasikan dirinya sebagai salah seorang dari empat atau lima Imam mazhab fiqh Islam. Dengan tangannya, ia mencatat hadis secara resmi dalam kitabnya yang terkenal dengan nama al-Muwat}t}a. Kitab al-Muwat}t}a> merupakan mahakarya kitab fiqh yang disusunnya berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan dari Nabi dan sahabat Nabi.
Imam Malik menelorkan pemahaman tentang sunnah yang berbeda dengan pandangan ulama lain dalam sejumlah masalah penting. Menghadirkan suatu kompilasi hukum yang tidak hanya bersandar kepada sumber yang disepakati secara mayoritas, tetapi juga memuat ekspresi perbuatan (‘amal) penduduk Madinah yang merupakan resapan (distilasi) atau pengejawantahan sunnah Rasulullah. Bahkan Ibnu Mahdi mengungkapkan bahwa sunnah yang berjalan pada orang- orang Madinah adalah lebih baik dari hadis .
Sebab itulah hal keulamaan Imam Malik tidak hanya identik dengan kitab Muwat}t}a-nya, tetapi juga amal penduduk Madinah yang dikembangkannya. Amal penduduk Madinah ini dipahami, diberpegangi dan dikembangkan oleh ulama Madinah. secara eksklusif amal penduduk Madinah ini menjadi sunnah yang memiliki otoritas dalam pengambilan putusan-putusan hukum di masa itu.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan pokok yang akan dikaji adalah; bagaimana eksklusifisme sunnah ulama Madinah dalam perspektif studi hadis sebagai suatu rekonstruksi metodologi. Untuk memudahkan pengkajian, rumusan masalah disederhanakan ke dalam tiga sub-rumusan yaitu;
1. Apa konsep sunnah ulama Madinah
2. Bagaimana sunnah ulama Madinah dalam perspektif hadis.
3. Bagaimana rekonstruksi metodologisnya dalam konteks kekinian



II>. PEMBAHASAN
A. Konsep Sunnah Ulama Madinah
Berbicara tentang eksklusifisme sunnah ulama Madinah, maka kita akan terfokus kepada amal penduduk (ahl) Madinah yang ditelorkan Imam Malik. Tetapi apakah yang menjadi penyebab eksklusifnya? Dan apakah eksklusifisme tersebut positif sehingga dapat dikonstruks dalam konteks kekinian atau tidak? Inilah yang akan ditelusuri untuk menemukan jawabannya dalam makalah ini. Namun sebelum lebih jauh membahas konsep sunnah ulama Madinah amat indah rasanya kalau terlebih dahulu mengetengahkan sekilas tentang Madinah.

1. Sekilas tentang Madinah
Madinah adalah kota mulia. Kemuliaannya karena beberapa aspek; Madinah adalah Da>r al-Hijrah> Rasulullah saw dan sahabatnya, ia adalah markaz da’wah Rasulullah sekaligus tempatnya wafat dan dimakamkan, tempat turunnya syariat Islam. titik tolak (nuqt}ah> int}ila>q) perjuangan dan penyebaran Islam, pusat pemerintahan Islam hingga masa Usman bin Affan, dan Madinah adalah kota mulia karena didiami oleh orang-orang mulia dan dimuliakan Allah swt.
Bukti kemuliaan kota Madinah termaktub bukan hanya dalam kitab sirah, tetapi dalam hadis-hadis Rasulullah saw.
اللَّهُمَّ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلَكَ وَعَبْدَكَ وَنَبِيَّكَ دَعَاكَ لِأَهْلِ مَكَّةَ وَأَنَا مُحَمَّدٌ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ وَرَسُولُكَ أَدْعُوكَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ مِثْلَ مَا دَعَاكَ بِهِ إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ نَدْعُوكَ أَنْ تُبَارِكَ لَهُمْ فِي صَاعِهِمْ وَمُدِّهِمْ وَثِمَارِهِمْ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim kekasih, hamba, dan Nabi-Mu, ia telah berdoa kepada-Mu untuk penduduk Mekkah, dan aku Muhammad hamba, Nabi, dan Rasul-Mu berdoa kepada-Mu bagi penduduk Madinah sebagaimana doa Ibrahim bagi penduduk Mekkah, kami memohon kepada-Mu kiranya Engkau memberkahi perdagangan dan pertanian mereka. Ya Allah jadikanlah cinta kami kepada Madinah sebagaimana Engkau menjadikan cinta kami kepada Mekkah
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَدِينَةُ حَرَمٌ مِنْ كَذَا إِلَى كَذَا لَا يُقْطَعُ شَجَرُهَا وَلَا يُحْدَثُ فِيهَا حَدَثٌ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya : Dari Anas ra, dari Nabi saw bersabada: Madinah adalah (tanah) haram dari begini hingga begini, tidak boleh ditebang pohonannya , tidak ditimpa kerusakan di dalamnya. Barangsiapa melakukan kerusakan, maka akan dilaknat oleh Allah, Malaikat dan seluruh manusia
Kemuliaan Madinah bahkan diabadikan dalam al-Qur’an, berkat kemuliaan penduduknya kaum Ansar sebagai masyarakat yang memiliki i£a>r (memprioritaskan orang lain dari dirinya) tinggi. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-Hasyr/59 : 9
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9)
Artinya : Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Ansar) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Ansar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung

2. Antara Sunnah dan Hadis
Umumnya ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan dan perbuatan dan taqri>r (persetujuan), sifat, perilaku hidup, dan sirahnya baik sebelum diutus menjadi Nabi ataupun sesudahnya, di mana informasi yang disandarkan kepada sebelum diutusnya menjadi Nabi adalah hal yang berkaitan dengan kenabian. Muhammad ‘Alwan sebagaimana ia kutip dari kitab al-Risa>lah al-Mustat}rafah li al-Kat}t}a>ni> mendefenisikan sunnah dengan sangat luas hingga termasuk aktifitas gerak Nabi ataupun tidak beraktifitasnya, baik di waktu terjaga maupun pada saat tidur, sebelum dan sesudah dilantik menjadi Nabi, baik berkaitan dengan hukum syari’ ataupun tidak.
Selain pandangan di atas, ada pandangan lain yang membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah apa yang dinukil dari Rasulullah saw. Sedangkan sunnah dipahami sebagai al-‘amal al-muttab’a (aktifitas yang dilakukan dengan mengikuti apa yang dicontohkan) dari sumbernya yang pertama. Dalam makna ini, Yusuf Qardawi mendiskripsikan sunnah sebagai al-manhaj al-tafs}i>li> (jalan hidup dari Nabi yang telah rinci) yang diperuntukkan kepada kehidupan orang Islam, baik perorangan ataupun kelompok. Sedangkan Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sunnah sebagai amalan yang telah dilaksanakan oleh Nabi saw secara terus menerus dan dinukilkan kepada kita dari zaman ke zaman dengan jalan mutawatir. Artinya Nabi melaksanakan amalan itu beserta sahabat, sahabat melaksanakan bersama tabi’in dan demikian dari generasi ke generasi sampai pada masa kita sekarang. Demikian penjelasan Syuhudi Ismail.
Sunnah hadis yang dideskripsikan ulama di atas dapat dibagi ke dalam tiga kelompok;
1. Kelompok yang mengidentikkan sunnah dengan hadis, dan secara eksklusif membatasi pada wilayah otoritas tunggal Nabi saw.
2. Kelompok yang mengidentikkan sunnah dengan hadis, dan tidak menetapkan sunnah hanya kepada otoritas tunggal Nabi, namun memasukkan sahabat dan tabi’in sebagai bagian sunnah.
3. Kelompok yang membedakan sunnah dengan hadis. Sunnah dimaknai sebagai amal realisasi perintah, sedangkan hadis adalah catatan transmitifnya.
Perbedaan ulama dalam mendefinisikan sunnah berpengaruh pula kepada pandangan ulama dalam memahami sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Tidak ada perbedaan ulama bahwa sunnah adalah sumber hukum kedua setelah al-Quran, tetapi mereka berbeda pada persoalan apakah sunnah yang termaktub dalam term-term hadis keseluruhannya merupakan syariat atau ibadah yang wajib diiikuti atau tidak?. Apakah sunnah tersebut semua ajarannnya bersifat universal atau ada yang bersifat lokal dan temporal?
Yusuf Qardawi mengategorikan sunnah berdasarkan pendapat Ahmad al-Dahlawi kedalam dua kategori; al-sunnah al-tasyri>’iyah dan sunnah gair al-tasyri>’iyah. Sunnah tasyri’iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah kenabian sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk menerimanya. Sedangkan sunnah gair al-tasyri>’iyah adalah informasi yang datang dari Nabi yang tidak berkaitan dengan kerasulannya sehingga tidak ada tendensi keharusan untuk mengikutinya.
Akan tetapi usaha Yusuf Qardawi dan yang sejalan dengannya dalam mengklasifikasi sunnah mendapat penentangan dari ulama-ulama hadis kontemporer lainnya. Diantara mereka, Abdul Muhdi Abdul Hadi, guru besar hadis Universitas al-Azhar Kairo. Abdul Muhdi berkata sungguh keliru orang yang membagi sunnah menjadi tasyri>’iyah dan gair tasyri>’iyah. Karena segala yang diriwayatkan adalah sunnah yang mengandung hukum syar’i. Hanya saja hukum syar’i tersebut meliputi tiga aspek; muba>h, istih}ba>b atau wajib. Sebab itu sunnah tidak boleh dibagi ke dalam sunnah ibadah dan sunnah kebiasaan (al-‘a>dad)
Mencermati perbedaan pandangan ulama di atas disebabkan karena perbedaan dalam memahami fungsi sunnah sebagai referensi kedua setelah al-Quran. Disamping itu karena perbedaan pada cara peninjauannya. Kelompok yang mengklasifikasi sunnah tasyri’iah dan sunnah gair tasyri’iyah, karena melihat ada hal-hal yang berkaitan dengan diri Nabi saw tetapi merupakan kekhususan dirinya sebagai manusia biasa sehingga tidak menjadi kemutlakan untuk diikuti oleh umatnya. Yusuf Qardawi mencontohkan sunnah dalam kategori ini, dari perbuatan Nabi saw yang dilakukan sebagai suatu kebiasaan saja selaku manusia biasa. Bahkan dalam kondisi yang lain, hadis menurut Yusuf Qardawi “tidak dimaksudkan sebagai ketetapan syari’at secara umum, tetapi dilakukan oleh beliau dalam posisinya sebagai pemimpin negara atau qadhi, bukan sebagai mufti dan penyampai pesan dari Allah...” .
Ini berarti bahwa, akan banyak term-term hadis hanyalah kumpulan teks yang memuat sunnah yang membawa informasi hal ihwal Nabi sebagai manusia biasa yang tidak memuat tuntutan hukum tasyri’. Bahkan bisa jadi hadis tersebut ada teksnya dengan kualitas s}ah}ih} tetapi ditinggalkan dan tidak diamalkan karena bukanlah sunnah tasyri>’iyah, atau pesan hukumnya bersifat terbatas dan temporal
Meskipun ulama berbeda pandangan dalam berbagai aspek, tetapi pada akhir dari perbedaan itu, mereka bersepakat menetapkan sunnah terpelihara dalam kumpulan-kumpulan teks hadis. Teks-teks hadis adalah pemilik otoritas tunggal yang berbicara tentang sunnah dalam artian, sunnah berasal dari sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti melalui mata rantai p;;pp

3. Hakekat Sunnah Ulama Madinah
Merupakan sisi lain kemuliaan kota Madinah adalah ketika, ia tidak pernah kosong dari ulama setiap zamannya. Mulai dari Abu Huraerah, Abdullah Ibnu umar, Anas bin Malik, hingga ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Abdul Wahab, Abdullah bin Baz, maupun yang lainnya. Pandangan dan pemahaman mereka terlahir dari konteks faktual penduduk lokal Madinah di zaman pandangan itu harus teraktualisasi menjadi kompilasi hukum yang diberpegangi. Sehingga tidak sedikit pandangan mereka bertentangan dengan pandangan ulama lain di luar Madinah. Bahkan perbedaan pandangan tersebut memuncak dengan adanya dikotomi antara aliran pemikiran Madinah dengan aliran pemikiran Bagdad, dan atau aliran pemikiran Kairo.
Membuka lembaran sejarah, dan kembali menelusuri lorong pemikiran ulama Madinah, Imam Malik bin Anas menjadi jembatan antara ulama terdahulu (tabi’in) dengan generasi setelahnya. Para ulama dan penduduk Madinah pun teguh memegang konsep sunnah yang ditelorkannya, dengan alasan (klasik) bahwa hal tersebut merupakan warisan turun temurun.
Sebagai Imam dan ulama darul hijrah, Imam Malik berpegang kepada sumber hukum al-Qur’an, sunnah, dan Qiyas sebagaimana mayoritas ulama lainnya. tetapi, sunnah menurut Malik tidak hanya bersumber dari catatan teks pada otoritas periwayatan (sanad) semata sebagaimana yang diberpegangi ulama secara mayoritas, tetapi juga memuat ekspresi amal (perbuatan) penduduk Madinah yang merupakan resapan (distilasi) atau pengejawantahan sunnah Rasulullah ????????? apa istimbath hukumnya Imam Malik?
Pada dasarnya, bukanlah Imam Malik yang pertama kali menjadikan amal penduduk Madinah sebagai sunnah. Tetapi telah diberpegangi oleh ulama pada masa Tabi’in senior (kiba>r al-Ta>bi’i>n) seperti Said bin al-Musayyab, Muhammad bin Abdurrahman Abul Aswad, Yahya bin Sa’id al-Ansari, Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Baqir, Sulaeman bin Yassar, Urwah bin Zubair, Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam, Ibnu Syihab al-Zuhri, Abu Zinad Abdullah bin Zakwan, Jafar al-Sadiq, Ibnu Hazim, Abdullah bin Umar bin Hafs bin Asim bin Umar bin al-Khattab dan yang lainnya. Adapun dinisbatkannya kepada Imam Malik karena tiga sebab; 1) karena, dia mendapat banyak tantangan dan kritikan dalam fatwa-fatwanya. 2) karena dia membukukan sebagian dari apa yang difatwakannya. 3) karena Imam Malik pulalah terkenal yang paling banyak mengambil amal penduduk Madinah.
Hal ini menunjukkan bahwa amal penduduk Madinah diterima Imam Malik dari ulama Madinah yang mendahuluinya, kemudian ia legal-formalkan dengan cara membukukannya. Pada masa Maliklah, amal penduduk Madinah terjaga bukan hanya dalam tradisi-praktek dan kesepakatan penduduk lokal Madinah, tetapi juga sudah terbukukan secara baik yang kelak menjadi referensi murid dan pengikut mazhabnya.
Murid Imam Malik berbeda pendapat tentang maksud dari amal penduduk Madinah. Sebagian berpendapat bahwa amal adalah ijma’ (konsensus), dan sebagian yang lain memahaminya sebagai al-naql al-mutawatir (periwayatan mutawatir). Tetapi kalau kita melihat penyataan Imam Malik bahwa, amal penduduk Madinah adalah hujjah, karena mereka adalah orang banyak, dan keputusan (ketetapan) diambil dari orang banyak, kemudian kesepakan mereka terhadap suatu perkataan atau perbuatan menunjukkan bahwa mereka menyandarkannya kepada (kebenaran) yang pasti mereka didengar, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari amal penduduk Madinah adalah ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah yang dihasilkan dari penukilan dari orang banyak ke orang banyak sehingga dapat dikategorikan sebagai riwayat mutawatir.

a. Dua aspek amal penduduk Madinah
Beberapa ulama seperti al-Qadi ‘Iyad, Ibnu Taimiyah (661 -728 H), Ibnu Qayyem al-Jauziyah (691- 775 H) membagi amal penduduk Madinah ke dalam dua kategori; pertama, al-‘amal al-naqli> (amal berdasarkan nash) dan al-h}ika>yat (pemberitaan). Kedua amal yang berdasarkan ijtihad dan istinba>t}.

• Al-‘Amal al-Naqli>
Yaitu amal berdasarkan nash yang dinukil oleh orang banyak dari orang banyak dari semenjak zaman Rasulullah. Amalan ini menurut al-Qadi ‘Iyad terbagi empat kategori; amal fi’li, yaitu yang dinukil dari perbuatan Nabi saw, amal qauli yang dinukil dari perkataan Nabi saw. Di antara contoh amal fi’li dan qauli adalah ukuran takaran s}a’ dan mu>d, dimana Nabi saw mengambil zakat mereka dengan takaran ini, cara panggilan dalam shalat dan iqamat, membaca al-fatihah tanpa basmalah. Amal taqri>ri, yakni amal yang dinukil dari ketetapan Nabi saw, seperti pertanggungjawaban terhadap kerusakan budak (‘uhdatur raqi>q). Amal tarki, yaitu sesuatu yang sengaja ditinggalkan oleh Nabi saw. seperti Nabi tidak mengambil zakat dari buah-buahan hijau dan sayuran, meskipun pada kenyataannya barang-barang tersebut dikenal Nabi dan penting dalam ekonomi lokal
Ibnu Taimiyah, membagi mara>tib (urutan) amal penduduk Madinah juga dalam empat kategori. Pertama, amal yang berasal dari Nabi saw. Kedua, al-amal al-qadi>m (amal terdahulu) penduduk Madinah sebelum kematian khalifah Usman bin Affan. Ketiga, jika terjadi pertentangan dua dalil dalam satu masalah, maka ia kuatkan amal penduduk Madinah. Keempat, al-‘amal al-mutaakhir (amal terkemudian) penduduk Madinah. Ibnu Qayyem al-Jauziyah menyamakan al-‘amal al-naqli> dari Nabi dengan al-‘amal al-qadi>m versi Ibnu Taimiyah sebagai hujjah yang sama dan disepakati.
Tampaknya ketiga ulama di atas sepakat terhadap aspek amal naqli yang sandarannya kepada Nabi saw. Amal atau praktek keagamaan yang dijalankan secara kolektif oleh penduduk Madinah melalui transmisi tradisi turun temurun orang banyak dari orang banyak hingga bersambung kepada Nabi saw. Tetapi ketiganya berbeda tentang pengklasifikasiannya. al-Qadi ‘Iya>d tidak mengklasifikasi amal penduduk Madinah dengan melihat urutannya sebagaimana yang dilakukan Ibnu Taimiyah. Sehingga ia tidak mengenal perbedaan antara al-‘amal al-qadi>m dengan al-‘amal al-mutaakhir. Semua amal penduduk Madinah yang tidak berasal dari Nabi diposisikan sebagai amal yang berdasarkan hasil ijtihad. Sedangkan Ibnu Qayyem berusaha mengkompromikan pendapat Ibnu Taimiyah dan al-Qadi ‘Iyad, dengan cara menggabungkan antara sunnah Nabi dengan sunnah khulafaurrasyidin yang disitilahkan dengan al-‘amal-Qadim masuk kategori al-amal al-naqli.

• Al-‘Amal al-ijtiha>di
Al-‘amal al-ijtiha>di, adalah amal yang dihasilkan dari ijtihad ulama era setelah wafatnya Nabi saw. Amal ijtihadi menurut Ibnu Taimiyah harus dibedakan antara amal yang dihasilkan sebelum kematian Usman bin Affan (amal qadi>m) dan setelah kematiannya (amal muta’akhir). Ibnu Taimiyah menetapkan amal qadi>m sebagai hujjah yang harus diikuti. Untuk mendukung pendapatnya ia mengutip hadis yang berbunyi ;
عن عرباض بن سارية ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي وعضوا عليها بالنواجذ

Adapun amal muta’akhir pasca pembunuhan Usman bin Affan maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah .

b. Kehujjahan Amal Penduduk Madinah
Pengikut mazhab Malik sendiri berbeda ketika menafsirkan kehujjahan amal penduduk Madinah. Sebagian berpendapat bahwa amal yang dimaksudkan tersebut adalah apa yang dihasilkan melalui jalur periwayatan mutawatir. Ada pula yang memahinya amal tersebut sebagai tarji>h (penguatan) konsensus kolektif penduduk Madinah dari konsensus luar Madinah. Pendapat ketiga, bahwa amal yang bisa jadi hujjah adalah amal dari penduduk Madinah zaman sahabat dan tabi’in saja.
Di antara murid-murid Imam Malik, seperti al-Qa>di ’Iyad dan Ibnu Taimiyah sepakat bahwa amal naqli yang dinukil dari Nabi adalah hujjah yang wajib diberpegangi karena bersifat qat’i dan pasti kebenarannya. Jika bertentangan dengan hadis ah}ad atau qiya>s, keduanya mutlaq diabaikan dan memilih amal naqli. Pendapat ini tampaknya juga diadopsi dan dipahami sama oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Hanya saja al-Jauziyah menambahkan amal sahabat dan Khulafaurrasyidin termasuk sebagai amal naqli.
Al-Qadi ‘Iyad mencatat tiga pendapat pengikut mazhab Maliki tentang hujjah tidaknya amal sesudah wafatnya Nabi saw. Pertama, pendapat yang menganggap amal bukan sebagai hujjah, tidak pula dapat digunakan untuk menguatkan suatu pendapat yang dipilih dari pendapat lain (tarjih). Pendapat ini dipelopori oleh pengikut mazhab Maliki Bagdad. Kedua, pendapat yang meskipun bukan hujjah tetapi hal itu dapat digunakan untuk merajihkan (menguatkan) suatu ijtihad seseorang dari yang lainnya. Ketiga, pendapat yang menganggapnya sebagai hujjah
Uraian di atas dapat dipahami bahwa amal penduduk Madinah yang disepakati sebagai hujjah adalah amal yang berlandaskan nash yang memiliki ketersambungan informasi akurat hingga kepada Nabi saw, dan kepada Khulafairrasyidin atau amal naqli. Sedangkan amal ijtihadi tidak disepakati kehujjahannya. Sebagian berhujjah dengan kehujjahan terbatas, sebagian lagi berhujjah penuh sebagaimana kehujjahannya amal naqli.
Adapun pendapat ketiga ulama dapat dilihat pada tabel berikut;
Pendapat Ulama
Jenis amal
Al-Qadi ‘Iyad
Ibnu Taimiyah
Ibnu Qayyem
Al-amal al-naqli Yang dinukil dari Nabi; terbagi 4;
• al-‘amal al-qauli
• al-‘amal al-fi’li,
• al-‘amal al-taqri>ri
• al-‘amal al-tark Amal yang dinukil dari Nabi saw Yang dinukil dari Nabi saw dan khulafaurrasyidin
Al-amal al-ijtihadi Semua amalan penduduk Madinah setelah Nabi saw al-‘amal al-qadi>m (amal sebelum wafatnya Usman bin Affan)
al-‘amal al-muta’akhir(amal setelah kematian Usman bin Affan Amal penduduk Madinah setelah Khulafaurrasyidin

B. Sunnah Ulama Madinah dalam Perspektif Studi Hadis
Sunnah Nabi telah mengalami perjalanan panjang dalam bentangan realitas sejarahnya. Meminjam istilah Fazlur Rahman sunnah telah mengalami evolusi historisnya menjadi hadis. Ulama klasik maupun ulama modern secara kolektif sepakat menetapkan hadis sebagai pemegang otoritas legal sunnah Nabi maupun sunnah sahabat dan tabi’in. Maka ketika akan berbicara tentang sunnah, atau akan mengamalkan ajaran agama, tempat bersandarnya adalah teks-teks literal hadis.
Namun sunnah tidak hanya berevolusi menjadi hadis, tetapi juga (pernah) berevolusi menjadi praktek kolektif penduduk lokal. Sebuah praktek keagamaan yang telah menjadi tradisi dikembangkan oleh penduduk Madinah yang mereka yakini sebagai sunnah. Ia meyakini tradisi tersebut memiliki mata rantai ketersambungan berita hingga kepada sumber pertamanya, Nabi saw. Oleh karena itu, ketika sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran, maka tidak hanya dipahami dengan pesan teks literal hadis tetapi juga dengan pesan amal penduduk lokal Madinah.
Dalam banyak peristiwa Imam Malik menolak sebuah teks hadis, meskipun teks hadis tersebut s}ah}i>h}, karena tidak sejalan dengan yang diamalkan oleh penduduk Madinah. Bahkan ada yang diriwayatkan dan dibukukakan dalam kitab al-Muwat}t}a, tapi kemudian ia sendiri tidak mengamalkannya karena bertentangan dengan amal penduduk Madinah.
Contoh di mana Malik melawan hadis yang ia sendiri riwayatkan, di antaranya hadis tentang mengangkat tangan pada saat takbi>r dalam shalat. Imam Malik menerima hadis dari Salim dari Ibnu Umar (marfu>’) dan jalur Naf’i dari Ibnu Umar (mauqu>f)
• حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ
• حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا دُونَ ذَلِكَ

Meskipun Imam Malik menerima hadis dari orang yang s\iqat, dan memasukkan dalam kitab Muwat}t}anya, tetapi ia menolaknya karena bertentangan dengan amal penduduk Madinah. Imam Malik berkata, “aku tidak mengetahui adanya angkat tangan pada saat takbir dalam shalat, baik takbirnya rendah ataupun tinggi kecuali pada takbir permulaan shalat (takbi>rat al-ih}ra>m). Ini artinya Imam Malik mend}a’i>fkan hukum mengangkat tangan pada saat takbir dalam shalat, di luar takbir permulaan shalat (takbi>rat al-ih}ra>m).
Dutton dalam analisanya ia katakan bahwa kitab al-Muwat}t}a adalah kitab fundamental tentang sejarah legal Islam di mana ekspresi hukum yang benar dilihat bukan sebagai yang dipelihara dalam suatu kumpulan teks hadis tetapi dalam amal penduduk lokal Madinah. Imam Malik dan Penduduk Madinah berpegang pada keyakinan bahwa amal merupakan indikasi sunnah yang lebih baik, amallah yang merupakan sumber dasar dari sunnah yang normatif bukan kepada hadis yang termaktub dalam teks-teks periwayatan.
Alasan rasional Imam Malik adalah Rasulullah kembali dari perang bersama ribuan sahabatnya. Sepuluh ribu dari mereka meninggal di Madinah dan sebagian kecilnya di berbagai tempat. Jadi, manakah yang lebih patut diikuti? Apakah sahabat yang meninggal ribuan itu atau satu dua sahabat yang telah meninggal?
Uraian di atas dapat dipahami bahwa kekukuhan Imam Malik mempertahankan amal penduduk Madinah sebagai hujjah yang lebih baik dan lebih kuat dari kumpulan teks hadis karena ia memahami sebuah realitas kondisi di mana orang-orang Madinah mengikuti pendahulunya para tabi’in. Para tabi’in dengan jumlah besar menerima sunnah dari para sahabat dalam jumlah besar pula dalam bentuk tradisi dan praktek. Keadaan inilah yang dilihat Imam Malik sebagai sebuah penukilan yang secara otomatis tidak diragukan kemutawatirannya, karena dihubungkan langsung kepada sahabat dalam jumlah banyak. Sementara mayoritas hadis bagaimanapun keotentikannya tetap saja berstatus ahad.
Imam Malik berusaha keluar dari lingkaran pertarungan amal versus hadis dengan memilih apa yang menurutnya qat’i dan mengabaikan yang z\anni. Hadis yang statusnya z\anni diambil sebagai penguat amal penduduk Madinah yang qat’i. Bagi Malik sunnah secara eksklusif dia identikkan dengan amal penduduk Madinah sebagai konsensus yang ditetapkan kehujjahannya. Otoritasnya dapat mengalahkan hadis otentik.
Di lain pihak kelompok Iraq yang dipelopori Imam al-Syafi’i berpegang kepada pendapat bahwa sunnah yang otentik adalah yang didukung oleh riwayat-riwayat otentik. Sedangkan amal jika tidak didukung oleh riwayat otentik tidak dapat diterima. Sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti harus diutamakan dari sumber non-tekstual yang keasliannya tidak dapat diketahui secara pasti. Bukan hanya itu, Imam al-Syafi’i dengan usahanya yang besar berhasil membuat identifikasi eksklusif sunnah dengan preseden spesifik yang digariskan Nabi daw, yaitu tradisi autentik yang hanya berasal dari Rasulullah saw sendiri. Dalam hal mengangkat tangan pada saat takbir misalnya, Imam al-Syafi’i berpegang kepada teksnya hadis yang diriwayatkan jalur Salim dari Ibnu Umar
Sejalan dengan Imam al-Syafi’i, Abu Ishaq Al-Syaerazi menyatakan bahwa suatu konsensus (ijm>’a) dianggap benar jika seluruh ulama di zaman itu sepakat dalam suatu hukum, tetapi jika sebagian ulama tidak sepakat maka tidak bisa dianggap sebagai konsensus. Oleh karena itu, jika alasan Imam Mailk mengatakan bahwa amal penduduk Madinah dianggap sebagai konsensus penduduk Madinah yang menjadi hujjah karena kemayoritasannya, maka menurut al-Gazali alasan tersebut salah, karena hujjah itu lahir dari konsensus semua ulama (al-ijm>a’) bukan konsensus sebagiannya (ijm>a’).
Bahkan Abu Bakar al-Sarkhisi> dengan ekstrim menyatakan bahwa, jika pendapat yang mengatakan bahwa konsensus atau amal penduduk Madinah sebagai hujjah (khusus) yang dimaksudkan adalah amal penduduk Madinah pada masa Nabi saw, maka tidak ada yang mempermasalahkannya. Tetapi jika dimaksudkan adalah pada setiap zaman, maka pendapat itu jelas batil. Karena tidak ada satu wilayah di negeri Islam (Da>r al-Isla>m) pada saat sekarang ini yang paling sedikit ilmunya, paling nyata kebodohannya, dan jauh dari sebab-sebab kebaikan selain orang-orang yang tinggal di Madinah
Uraian di atas dapat dipahami bahwa sunnah ulama Madinah yang hanya berlandaskan konsensus atau amal penduduk lokal Madinah dalam pandangan ulama yang berpihak kepada otoritas teks hadis adalah pandangan yang tidak tepat karena bertentangan dengan kaidah ijma (konsensus). Mereka memahami bahwa suatu hujjah hukum dapat diambil dari ijm>’a jika ijm>’a tersebut merupakan kesepakatan mayoritas ulama dari berbagai negeri, bukan hasil kesepakatan sepihak dari minoritas penduduk lokal di suatu negeri. Dengan demikian amal penduduk Madinah yang merupakan produk lokal dalam perspektif hadis bukanlah hujjah yang dapat menjadi landasan hukum, jika tidak ada teks-teks hadis s}ah}ih} yang membenarkannya.
Pertarungan amal versus hadis dengan segala argumennya berimbas kepada lahirnya dua blok pemikiran sunnah antara blok Madinah dengan blok non-Madinah. Ulama Madinah yang dipelopori Imam Malik mempertahankan tradisi ulama Madinah sebelumnya yang menjadikan amal penduduknya secara terbatas dan eksklusif sebagai sunnah yang memiliki otoritas sebagai sumber hukum setelah al-Quran.
Menengahi dua kelompok yang bersebarangan di atas, perlu adanya pendekatan kesejarahan (historical approach) untuk melihat lebih dekat dan memahami lebih dalam sehingga dapat menemukan konklusi yang tepat. Dalam sejarahnya, menghujjahkan amal penduduk Madinah bukanlah konsep baru yang ditelorkan Imam Malik , tetapi generasi sebelumnya dari kalangan tabi’in pun telah mengamalkannya. Oleh sebab itu, penolakan dan ketidaksepahaman, apalagi tuduhan yang melampaui batas (pernyataan al-Sarkhi>si>) tersebut pada akhirnya ia ditujukan bukan hanya kepada Imam Malik saja, tetapi kepada para tabi’in juga. Oleh karena itu, tidaklah juga benar kalau mengenyampingkan sama sekali adanya unsur kebenaran atas kehujjahan amal penduduk Madinah. Sebab bagaimana pun ulama dari kalangan tabi’in telah mengamalkannya. Bagi penulis, sangat sulit untuk menafikan ritual keagamaan yang telah dipraktekkan para tabi’in karena mereka adalah generasi bersambung dengan sahabat.

C. Rekonstruksi Metodologis dalam Perspektif Kekinian
Menjadi kejujuran ilmiah dan fakta sejarah bahwa kapasitas Imam Malik sebagai ulama hadis yang terpercaya (s\iqat), dan sanadnya yang dipuji sebagai silsilah z}ahabiyah. Untuk itu dapatlah menjadi dasar untuk tidak mengabaikan amal sebagai bagian dari sunnah. Dalam artian bagaimana mencari titik temu antara teks literal hadis dan amal sebagai upaya merekonstruksi pemahaman sunnah.
Tanpa mengabaikan kesepakatan mayoritas ulama tentang otoritas hadis, hal yang tidak bisa dinafikan bahwa dalam mata rantai periwayatan, posisi periwayat melakukan kesalahan dan kekhilafan sangat mungkin terjadi, hatta periwayat yang terpercaya sekalipun. Sementara kesalahan tersebut mungkin jadi tidak teridentifikasi data sejarah.
Ulama kemudian menetapkan kualitas jalur periwayatan berdasarkan bila>d (negeri). Al-Khatib dan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jalur sunnah yang paling kuat (s}ah}ih}) pada masa salaf adalah jalur periwayatan ahl al-haramain (penduduk Madinah dan Mekkah) karena sangat sedikit terjadi tadli>s, diikuti penduduk Basrah kemudian Penduduk Syam. Bahkan Hisyam bin Urwah menyikapi periwayatan hadis dari luar Madinah dengan ucapannya; “jika orang Iraq memberitakan kepadamu seribu hadis, maka abaikanlah 999-nya dan selebihnya jangan langsung percaya.
Oleh karena itu, penulis sepakat dengan ulasan pendapat Imam Ibnu Qutaibah bahwa; “Menurut pendapat kami, sesungguhnya kebenaran lebih mungkin ditegakkan dengan ijm>a’ (amal) dari pada dengan riwa>yat (teks hadis). karena hadis sangat mungkin terkena kesalahan, kelalaian, ketidakyakinan, interpretasi yang mungkin berbeda (ta’wilat), ada penyisihan (nasakh), dan seseorang yang s\iqat mengambil hadis dari orang yang tidak s\iqat. Bisa jadi terjadi dua perintah yang berbeda yang keduanya boleh seperti satu salam atau dua salam (pada akhir shalat). Sama halnya seseorang hadir ketika Nabi saw memberi perintah tertentu dan kemudian tidak hadir ketika Nabi saw memberi perintah yang berbeda sehingga ia meriwayatkan apa yang tidak didengar oleh orang yang pertama. Sementara ijm’a> terhindar dari kemungkinan hal seperti ini. Oleh karena itu, Imam Malik terkadang meriwayatkan suatu hadis dari Rasulullah kemudian ia berkata, “amal di kota kami begini”. Ada banyak hadis di mana orang meriwayatkannya dengan riwayat bersambung, tetapi mereka tidak mengamalkannya. Contohnya hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah menjamak shalat dhuhur dengan ashar, dan magrib dengan isya di Madinah dalam suasana aman tanpa ada kekhawatiran (sebagai rukhsahnya). Tetapi semua ulama fiqh tidak mengamalkan hadis ini karena bisa jadi mansu>kh, atau karena kondisi darurat, karena hujan atau karena kesibukan” .
Uraian di atas memberikan asumsi positif bahwa apa yang ada dan diamalkan oleh penduduk Madinah atau sesuatu yang menjadi kesepakatan mayoritas penduduk Madinah yang diwariskan secara bersambung dari salaf al-s{a>lih (sahabat, ta>bi’in , ta>bi al-ta>bi’i>n) memiliki bangunan kehujjahan dalam praktek keagamaan. Maka apa yang pernah dikembangkan Imam Malik pada masanya dengan menjadikan amal penduduk Madinah sebagai salah satu rujukan dalam mengambil keputusan-keputusan hukum dan ketetapan fiqhinya perlu ada upaya konstruktif sinergis dengan teks-teks hadis dalam melandasi keputusan keputusan hukum (fiqh) dalam konteks kekinian.
Upaya rekonstruksi tersebut adalah bagaimana amal dan hadis dapat dikompromikan sebagai pemilik otoritas sunnah yang saling melengkapi. Hadis dapat diposisikan sebagai sunnah matluwah (sunnah tekstual) sedankan amal sebagai sunnah ma’s\u>rah (sunnah non-tekstual atau tradisi). Jika jalur sunnah tekstual adalah berakhir pada penulisnya seperti al-Bukha>ri>, Muslim dan yang lainnya, maka jalur sunnah ma’s\u>rah hanya terhenti di Malik bin Anas.
Sunnah ma’s\u>rah (amal penduduk Madinah) bisa diposisikan sebagai penguat teks-teks hadis yang kontroversial dan bertentangan. Ada dua tawaran alternatif dalam menyelesaikannya, pertama jika terjadi pertentangan dua teks hadis s}ah}i>h} yang tidak bisa diselaikan dengan cara kompromi (jam’u wa taufi>q), maka sunnah ma’s\u>rah diberikan otoritasnya untuk menentukan tingkat kualitas hadis tersebut sebelum melakukan nasakh dan tarji>h{. Kedua, sunnah ma’s\u>rah sebagai salah satu dalil dalam melakukan tarji>h{.
Misalnya perbedaan pendapat tentang hukum dalam jahar basmalah dalam shalat karena adanya hadis-hadis s}ah}ih} yang bertentangan. Untuk menentukan kualitas keduanya, maka perlu kembali kepada amal penduduk Madinah, bagaimana cara penduduk Madinah melaksanakan shalat di Mesjid Nabawi, yang tidak bisa dipungkiri merekalah yang paling dekat mewarisi tata cara shalat Nabi. Maka dengan demikian, hadis yang tidak sejalan dengan amal bisa dikategorikan sebagai hadis bermasalah (sy>az\), walaupun itu sanadnya s}ah}i>h} karena bertentangan dengan hadis yang lebih kuat karena didukung oleh sunnah ma’s\u>rah.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunnah ulama Madinah sunnah yang menjadikan konsensus atau amal penduduk lokal Madinah sebagai salah satu sumbernya. Para Tabiin sebelum Malik telah berpegang kepada amal sebagai salah satu sumber sunnah di zamannya. Jika amal bertentangan dalam suatu perkara dengan teks hadis yang telah dipastikan keotentikannya, amal dirajihkan dari hadis. Amal dibagi dalam dua kategori; amal naqli, yaitu amal yang berdasarkan nash dan amal ijtihadi yaitu, amal yang berdasarkan ijtihad. Amal naqli adalah amal yang disepakati kehujjahannya oleh pengikut mazhab Maliki, sedangkan amal ijtihadi mereka berbeda pendapat.
Sunnah ulama Madinah dalam pandangan ulama yang berpihak kepada otoritas tunggal teks hadis adalah pandangan yang tidak kuat. Amal jika tidak didukung oleh riwayat otentik tidak dapat diterima. Sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti harus diutamakan dari sumber non-tekstual yang keasliannya tidak dapat diketahui secara pasti.
Upaya rekonstruksi metodologis dengan mengkompromikan amal penduduk Madinah dengan teks-teks literal hadis sebagai pemilik otoritas sunnah yang saling melengkapi. Hadis diposisikan sebagai sunnah matluwah (sunnah tekstual) sedankan amal penduduk Madinah sebagai sunnah ma’s\u>rah (sunnah non-tekstual atau tradisi). Dengan ini sunnah ma’s\u>rah menjadi solusi baru dalam persoalan hukum fiqh terutama dalam menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan.

B. Implikasi
Perlu adanya pengkajian lebih mendalam tentang amal penduduk Madinah terutama mengidentifikasi berapa banyak topik persoalan yang disebutkan, dan apa yang menjadi permasalahan sehingga amal penduduk Madinah tidak populer dalam literatur hadis maupun fiqh, kecuali sedikit yang mengamalkannya dari pengikut mazhab Maliki saja.

Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad, Muh}a>dara>t fi al-Ta>ri>kh al-Maz\a>hib al-Isla>miyah. tk: al-Matba’ah al-Madani, t.th

al-‘Alwan, Muhammad al-Sayyid Abdul al-Majid, Durbah al-T}ull>a>b ‘ala> al-Nas}r fi ‘Ilmi al-H{adis\. Kairo: tp, 1995

al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Taqri>b al-Tahz\i>b. tk: Dar al’Asimah, t.th.

al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Ja>mi al-S{ah}i>h} al-Musnad Mi>n Hadi>£ Rasulillah saw. wa Sunanih wa Ayya>mih, Jilid II. Kairo: al-Mat}ba’ah al-Salafiyah, 1403 H.

al-Kalwazani al-Hanbali, Mahfud bin Ahmad bin al-Hasan Abu al-Khattab (432-510 H), al-Tamhi>d fi Us}u>l al-Fiqh J. III. Jeddah: Dar al-Madani, 1985

al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Us}u>l al-H{adi>s\; ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh, Beirut : Dar al-Fikr, 1989

al-Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as, Sunan Abi Daud, J. I. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th.

al-Sarkhi>si>, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl (w. 490). Us}u>l al-Sarkhi>si>, J. I. India: Lajnah Ihya al-Ma’arif al-Nu’maniyah, t.th.

al-Siba’i, Mustafa, al-Sunnah wa Maka>natuha fi> al-Tasyri’ al-Isla>mi>. Kairo: Dar al-Salam, 1998

al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa>’id al-Tah}di>s\. (tk: tp, t.th)

al-Yamani al-Makki, Abu Sa’id al-Mufaddal bin Muhammad bin Ibrahim al-Janadi, Fad}a>il al-Madi>nah. Damasqus: Dar al-Fikr, 1985

Brown, Daniel W., Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, terj. Jaziar Radianti, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Jakarta: Mizan, 2000.

Dutton,Yasin, Sunna, Hadith, and Madinan Amal, terj. Dedi Junaidi, Sunnah Hadis dan Amal Penduduk Madinah. Jakarta: Akademika Pressindo, 1996

Ibnu Abdul Hadi, Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, al-Madkhal Ila> al-Sunnah al-Nabawiyah. Kairo: Dar al-I’tisam, 1998

Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Ahmad bin Muslim (213-276 H), Ta’wi>l Mukhtalaf al-h}adi>s\. Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, 1999/1419

Ibnu Qasim, Abdurrahman, al-Mudawwanah al-Kubra> J. I. Libnan: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994/1415.

Kitab al-Muwatta li al-Imam Malik bin Anas (95 -197 H/713-795), J. I. Kairo: Dar al-Rayyan, 1988.

Nur Saif, Ahmad Muhammad, ‘Amal Ahlu al-Madi>nah; Baina Mus}t}alah}at Malik wa Ara> al-Us}u>liyi>n. Dubai: Dar al-Buhus al-Islamiyah, 2000.

Palamban, Hassan bin Muhammad Husain, Khabar al-Wa>h}id iz\a Kha>lafa Ahla al-Madi>nah. Dubai: Dar al-Buhus al-Dirasah al-Islamiyah, 2000

Qardawi, Yusuf, Kaif Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah; Ma’a>lim wa d}awa>bit. tk: tp, t.th.

________, Al-Sunnah Mas\daran Li al-Ma’rifah wa al-H{ad{a>rah. Kairo: Dar al-Syuruq, 1998)

¬¬¬________, Marja’iyah al-‘Ulya> fi> al-Isla>m li> al-Qur’an wa al-Sunnah, terj. Bahruddin Fannani, Al-Qur’an dan as-Sunnah, Referensi Tertinggi Ummat Islam. Jakarta: Robbani Press, 1997.

Rabu, 28 Juli 2010

Eksklusifisme Sunnah Ulama Madinah Dalam Perspektif Studi Hadis: (Suatu Rekonstruksi Metodologi)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Madinah adalah salah satu pusat peradaban Islam. Pusat perjuangan da’wah dan pembangunan ilmu pengetahuan, sekaligus pusat lahirnya banyak ulama. Warisan ulama Madinah tak pernah putus sejak dari masa awal Islam hingga sekarang ini. Ulama selalu hadir dari generasi ke generasi melanjutkan tongkat estafeta keulamaan, bagai mata rantai yang sambung-menyambung.
Ketika Rasulullah saw selesai menunaikan tugas kerasulannya dimana tidak ada lagi Rasul setelahnya, ulamalah yang hadir di garda terdepan sebagai pewarisnya. Para sahabat yang merupakan kader-kader binaannya, tampil sebagai pelanjut dan pewaris pertama tugas kerasulan. Ada yang tetap bermukim di kota Madinah dan ada yang keluar kota Madinah tersebar ke berbagai negeri.
Di antara ulama kalangan sahabat yang bermukim di Madinah adalah Khalifah empat , Abu Hurairah, Aisyah, Abdullah bin Umar, Abi Said al-Khudri, dan Zaid bin Sabit. Kaderisasi ulama Madinah diteruskan oleh ta>bi’in sebagai generasi penerus sahabat. Di antara mereka ada Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Z|ubair, dan Ibnu Syiha>b al-Z|uhri>. Dari ta>bi’i>n dilanjutkan oleh generasi atibba’ al-ta>bi’i>n. Salah seorang ulama dari generasi ini adalah Malik bin Anas . Pasca atibba’ al-ta>bi’i>n hingga, regenerasi ulama terus berlanjut hingga era sekarang. Dari masa ini hadir ulama yang terkenal antara lain Ibnu Taimiyah, Abdullah bin Ba>z\, dan Hus\aimin
Imam Malik bin Anas merupakan representase dari ulama Madinah. Ia digelari Imam Da>r al-hijrah. Ia senantiasa hidup melintasi zaman dimana ia berada karna keilmuannya dengan pemahaman hadis dan fiqhnya yang dalam diiringi kualitas kepribadiannya yang terpercaya (s\iqat). Dengan ilmunya, ia mendedikasikan dirinya sebagai salah seorang dari empat atau lima Imam mazhab fiqh Islam. Dengan tangannya, ia mencatat hadis secara resmi dalam kitabnya yang terkenal dengan nama al-Muwat}t}a. Kitab al-Muwat}t}a> merupakan mahakarya kitab fiqh yang disusunnya berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan dari Nabi dan sahabat Nabi.
Imam Malik menelorkan pemahaman tentang sunnah yang berbeda dengan pandangan ulama lain dalam sejumlah masalah penting. Menghadirkan suatu kompilasi hukum yang tidak hanya bersandar kepada sumber yang disepakati secara mayoritas, tetapi juga memuat ekspresi perbuatan (‘amal) penduduk Madinah yang merupakan resapan (distilasi) atau pengejawantahan sunnah Rasulullah. Bahkan Ibnu Mahdi mengungkapkan bahwa sunnah yang berjalan pada orang- orang Madinah adalah lebih baik dari hadis .
Sebab itulah hal keulamaan Imam Malik tidak hanya identik dengan kitab Muwat}t}a-nya, tetapi juga amal penduduk Madinah yang dikembangkannya. Amal penduduk Madinah ini dipahami, diberpegangi dan dikembangkan oleh ulama Madinah. secara eksklusif amal penduduk Madinah ini menjadi sunnah yang memiliki otoritas dalam pengambilan putusan-putusan hukum di masa itu.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan pokok yang akan dikaji adalah; bagaimana eksklusifisme sunnah ulama Madinah dalam perspektif studi hadis sebagai suatu rekonstruksi metodologi. Untuk memudahkan pengkajian, rumusan masalah disederhanakan ke dalam tiga sub-rumusan yaitu;
1. Apa konsep sunnah ulama Madinah
2. Bagaimana sunnah ulama Madinah dalam perspektif hadis.
3. Bagaimana rekonstruksi metodologisnya dalam konteks kekinian



II>. PEMBAHASAN
A. Konsep Sunnah Ulama Madinah
Berbicara tentang eksklusifisme sunnah ulama Madinah, maka kita akan terfokus kepada amal penduduk (ahl) Madinah yang ditelorkan Imam Malik. Tetapi apakah yang menjadi penyebab eksklusifnya? Dan apakah eksklusifisme tersebut positif sehingga dapat dikonstruks dalam konteks kekinian atau tidak? Inilah yang akan ditelusuri untuk menemukan jawabannya dalam makalah ini. Namun sebelum lebih jauh membahas konsep sunnah ulama Madinah amat indah rasanya kalau terlebih dahulu mengetengahkan sekilas tentang Madinah.

1. Sekilas tentang Madinah
Madinah adalah kota mulia. Kemuliaannya karena beberapa aspek; Madinah adalah Da>r al-Hijrah> Rasulullah saw dan sahabatnya, ia adalah markaz da’wah Rasulullah sekaligus tempatnya wafat dan dimakamkan, tempat turunnya syariat Islam. titik tolak (nuqt}ah> int}ila>q) perjuangan dan penyebaran Islam, pusat pemerintahan Islam hingga masa Usman bin Affan, dan Madinah adalah kota mulia karena didiami oleh orang-orang mulia dan dimuliakan Allah swt.
Bukti kemuliaan kota Madinah termaktub bukan hanya dalam kitab sirah, tetapi dalam hadis-hadis Rasulullah saw.
اللَّهُمَّ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلَكَ وَعَبْدَكَ وَنَبِيَّكَ دَعَاكَ لِأَهْلِ مَكَّةَ وَأَنَا مُحَمَّدٌ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ وَرَسُولُكَ أَدْعُوكَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ مِثْلَ مَا دَعَاكَ بِهِ إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ نَدْعُوكَ أَنْ تُبَارِكَ لَهُمْ فِي صَاعِهِمْ وَمُدِّهِمْ وَثِمَارِهِمْ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim kekasih, hamba, dan Nabi-Mu, ia telah berdoa kepada-Mu untuk penduduk Mekkah, dan aku Muhammad hamba, Nabi, dan Rasul-Mu berdoa kepada-Mu bagi penduduk Madinah sebagaimana doa Ibrahim bagi penduduk Mekkah, kami memohon kepada-Mu kiranya Engkau memberkahi perdagangan dan pertanian mereka. Ya Allah jadikanlah cinta kami kepada Madinah sebagaimana Engkau menjadikan cinta kami kepada Mekkah
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَدِينَةُ حَرَمٌ مِنْ كَذَا إِلَى كَذَا لَا يُقْطَعُ شَجَرُهَا وَلَا يُحْدَثُ فِيهَا حَدَثٌ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya : Dari Anas ra, dari Nabi saw bersabada: Madinah adalah (tanah) haram dari begini hingga begini, tidak boleh ditebang pohonannya , tidak ditimpa kerusakan di dalamnya. Barangsiapa melakukan kerusakan, maka akan dilaknat oleh Allah, Malaikat dan seluruh manusia
Kemuliaan Madinah bahkan diabadikan dalam al-Qur’an, berkat kemuliaan penduduknya kaum Ansar sebagai masyarakat yang memiliki i£a>r (memprioritaskan orang lain dari dirinya) tinggi. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-Hasyr/59 : 9
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9)
Artinya : Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Ansar) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Ansar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung

2. Antara Sunnah dan Hadis
Umumnya ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan dan perbuatan dan taqri>r (persetujuan), sifat, perilaku hidup, dan sirahnya baik sebelum diutus menjadi Nabi ataupun sesudahnya, di mana informasi yang disandarkan kepada sebelum diutusnya menjadi Nabi adalah hal yang berkaitan dengan kenabian. Muhammad ‘Alwan sebagaimana ia kutip dari kitab al-Risa>lah al-Mustat}rafah li al-Kat}t}a>ni> mendefenisikan sunnah dengan sangat luas hingga termasuk aktifitas gerak Nabi ataupun tidak beraktifitasnya, baik di waktu terjaga maupun pada saat tidur, sebelum dan sesudah dilantik menjadi Nabi, baik berkaitan dengan hukum syari’ ataupun tidak.
Selain pandangan di atas, ada pandangan lain yang membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah apa yang dinukil dari Rasulullah saw. Sedangkan sunnah dipahami sebagai al-‘amal al-muttab’a (aktifitas yang dilakukan dengan mengikuti apa yang dicontohkan) dari sumbernya yang pertama. Dalam makna ini, Yusuf Qardawi mendiskripsikan sunnah sebagai al-manhaj al-tafs}i>li> (jalan hidup dari Nabi yang telah rinci) yang diperuntukkan kepada kehidupan orang Islam, baik perorangan ataupun kelompok. Sedangkan Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sunnah sebagai amalan yang telah dilaksanakan oleh Nabi saw secara terus menerus dan dinukilkan kepada kita dari zaman ke zaman dengan jalan mutawatir. Artinya Nabi melaksanakan amalan itu beserta sahabat, sahabat melaksanakan bersama tabi’in dan demikian dari generasi ke generasi sampai pada masa kita sekarang. Demikian penjelasan Syuhudi Ismail.
Sunnah hadis yang dideskripsikan ulama di atas dapat dibagi ke dalam tiga kelompok;
1. Kelompok yang mengidentikkan sunnah dengan hadis, dan secara eksklusif membatasi pada wilayah otoritas tunggal Nabi saw.
2. Kelompok yang mengidentikkan sunnah dengan hadis, dan tidak menetapkan sunnah hanya kepada otoritas tunggal Nabi, namun memasukkan sahabat dan tabi’in sebagai bagian sunnah.
3. Kelompok yang membedakan sunnah dengan hadis. Sunnah dimaknai sebagai amal realisasi perintah, sedangkan hadis adalah catatan transmitifnya.
Perbedaan ulama dalam mendefinisikan sunnah berpengaruh pula kepada pandangan ulama dalam memahami sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Tidak ada perbedaan ulama bahwa sunnah adalah sumber hukum kedua setelah al-Quran, tetapi mereka berbeda pada persoalan apakah sunnah yang termaktub dalam term-term hadis keseluruhannya merupakan syariat atau ibadah yang wajib diiikuti atau tidak?. Apakah sunnah tersebut semua ajarannnya bersifat universal atau ada yang bersifat lokal dan temporal?
Yusuf Qardawi mengategorikan sunnah berdasarkan pendapat Ahmad al-Dahlawi kedalam dua kategori; al-sunnah al-tasyri>’iyah dan sunnah gair al-tasyri>’iyah. Sunnah tasyri’iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah kenabian sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk menerimanya. Sedangkan sunnah gair al-tasyri>’iyah adalah informasi yang datang dari Nabi yang tidak berkaitan dengan kerasulannya sehingga tidak ada tendensi keharusan untuk mengikutinya.
Akan tetapi usaha Yusuf Qardawi dan yang sejalan dengannya dalam mengklasifikasi sunnah mendapat penentangan dari ulama-ulama hadis kontemporer lainnya. Diantara mereka, Abdul Muhdi Abdul Hadi, guru besar hadis Universitas al-Azhar Kairo. Abdul Muhdi berkata sungguh keliru orang yang membagi sunnah menjadi tasyri>’iyah dan gair tasyri>’iyah. Karena segala yang diriwayatkan adalah sunnah yang mengandung hukum syar’i. Hanya saja hukum syar’i tersebut meliputi tiga aspek; muba>h, istih}ba>b atau wajib. Sebab itu sunnah tidak boleh dibagi ke dalam sunnah ibadah dan sunnah kebiasaan (al-‘a>dad)
Mencermati perbedaan pandangan ulama di atas disebabkan karena perbedaan dalam memahami fungsi sunnah sebagai referensi kedua setelah al-Quran. Disamping itu karena perbedaan pada cara peninjauannya. Kelompok yang mengklasifikasi sunnah tasyri’iah dan sunnah gair tasyri’iyah, karena melihat ada hal-hal yang berkaitan dengan diri Nabi saw tetapi merupakan kekhususan dirinya sebagai manusia biasa sehingga tidak menjadi kemutlakan untuk diikuti oleh umatnya. Yusuf Qardawi mencontohkan sunnah dalam kategori ini, dari perbuatan Nabi saw yang dilakukan sebagai suatu kebiasaan saja selaku manusia biasa. Bahkan dalam kondisi yang lain, hadis menurut Yusuf Qardawi “tidak dimaksudkan sebagai ketetapan syari’at secara umum, tetapi dilakukan oleh beliau dalam posisinya sebagai pemimpin negara atau qadhi, bukan sebagai mufti dan penyampai pesan dari Allah...” .
Ini berarti bahwa, akan banyak term-term hadis hanyalah kumpulan teks yang memuat sunnah yang membawa informasi hal ihwal Nabi sebagai manusia biasa yang tidak memuat tuntutan hukum tasyri’. Bahkan bisa jadi hadis tersebut ada teksnya dengan kualitas s}ah}ih} tetapi ditinggalkan dan tidak diamalkan karena bukanlah sunnah tasyri>’iyah, atau pesan hukumnya bersifat terbatas dan temporal
Meskipun ulama berbeda pandangan dalam berbagai aspek, tetapi pada akhir dari perbedaan itu, mereka bersepakat menetapkan sunnah terpelihara dalam kumpulan-kumpulan teks hadis. Teks-teks hadis adalah pemilik otoritas tunggal yang berbicara tentang sunnah dalam artian, sunnah berasal dari sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti melalui mata rantai p;;pp

3. Hakekat Sunnah Ulama Madinah
Merupakan sisi lain kemuliaan kota Madinah adalah ketika, ia tidak pernah kosong dari ulama setiap zamannya. Mulai dari Abu Huraerah, Abdullah Ibnu umar, Anas bin Malik, hingga ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Abdul Wahab, Abdullah bin Baz, maupun yang lainnya. Pandangan dan pemahaman mereka terlahir dari konteks faktual penduduk lokal Madinah di zaman pandangan itu harus teraktualisasi menjadi kompilasi hukum yang diberpegangi. Sehingga tidak sedikit pandangan mereka bertentangan dengan pandangan ulama lain di luar Madinah. Bahkan perbedaan pandangan tersebut memuncak dengan adanya dikotomi antara aliran pemikiran Madinah dengan aliran pemikiran Bagdad, dan atau aliran pemikiran Kairo.
Membuka lembaran sejarah, dan kembali menelusuri lorong pemikiran ulama Madinah, Imam Malik bin Anas menjadi jembatan antara ulama terdahulu (tabi’in) dengan generasi setelahnya. Para ulama dan penduduk Madinah pun teguh memegang konsep sunnah yang ditelorkannya, dengan alasan (klasik) bahwa hal tersebut merupakan warisan turun temurun.
Sebagai Imam dan ulama darul hijrah, Imam Malik berpegang kepada sumber hukum al-Qur’an, sunnah, dan Qiyas sebagaimana mayoritas ulama lainnya. tetapi, sunnah menurut Malik tidak hanya bersumber dari catatan teks pada otoritas periwayatan (sanad) semata sebagaimana yang diberpegangi ulama secara mayoritas, tetapi juga memuat ekspresi amal (perbuatan) penduduk Madinah yang merupakan resapan (distilasi) atau pengejawantahan sunnah Rasulullah ????????? apa istimbath hukumnya Imam Malik?
Pada dasarnya, bukanlah Imam Malik yang pertama kali menjadikan amal penduduk Madinah sebagai sunnah. Tetapi telah diberpegangi oleh ulama pada masa Tabi’in senior (kiba>r al-Ta>bi’i>n) seperti Said bin al-Musayyab, Muhammad bin Abdurrahman Abul Aswad, Yahya bin Sa’id al-Ansari, Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Baqir, Sulaeman bin Yassar, Urwah bin Zubair, Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam, Ibnu Syihab al-Zuhri, Abu Zinad Abdullah bin Zakwan, Jafar al-Sadiq, Ibnu Hazim, Abdullah bin Umar bin Hafs bin Asim bin Umar bin al-Khattab dan yang lainnya. Adapun dinisbatkannya kepada Imam Malik karena tiga sebab; 1) karena, dia mendapat banyak tantangan dan kritikan dalam fatwa-fatwanya. 2) karena dia membukukan sebagian dari apa yang difatwakannya. 3) karena Imam Malik pulalah terkenal yang paling banyak mengambil amal penduduk Madinah.
Hal ini menunjukkan bahwa amal penduduk Madinah diterima Imam Malik dari ulama Madinah yang mendahuluinya, kemudian ia legal-formalkan dengan cara membukukannya. Pada masa Maliklah, amal penduduk Madinah terjaga bukan hanya dalam tradisi-praktek dan kesepakatan penduduk lokal Madinah, tetapi juga sudah terbukukan secara baik yang kelak menjadi referensi murid dan pengikut mazhabnya.
Murid Imam Malik berbeda pendapat tentang maksud dari amal penduduk Madinah. Sebagian berpendapat bahwa amal adalah ijma’ (konsensus), dan sebagian yang lain memahaminya sebagai al-naql al-mutawatir (periwayatan mutawatir). Tetapi kalau kita melihat penyataan Imam Malik bahwa, amal penduduk Madinah adalah hujjah, karena mereka adalah orang banyak, dan keputusan (ketetapan) diambil dari orang banyak, kemudian kesepakan mereka terhadap suatu perkataan atau perbuatan menunjukkan bahwa mereka menyandarkannya kepada (kebenaran) yang pasti mereka didengar, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari amal penduduk Madinah adalah ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah yang dihasilkan dari penukilan dari orang banyak ke orang banyak sehingga dapat dikategorikan sebagai riwayat mutawatir.

a. Dua aspek amal penduduk Madinah
Beberapa ulama seperti al-Qadi ‘Iyad, Ibnu Taimiyah (661 -728 H), Ibnu Qayyem al-Jauziyah (691- 775 H) membagi amal penduduk Madinah ke dalam dua kategori; pertama, al-‘amal al-naqli> (amal berdasarkan nash) dan al-h}ika>yat (pemberitaan). Kedua amal yang berdasarkan ijtihad dan istinba>t}.

• Al-‘Amal al-Naqli>
Yaitu amal berdasarkan nash yang dinukil oleh orang banyak dari orang banyak dari semenjak zaman Rasulullah. Amalan ini menurut al-Qadi ‘Iyad terbagi empat kategori; amal fi’li, yaitu yang dinukil dari perbuatan Nabi saw, amal qauli yang dinukil dari perkataan Nabi saw. Di antara contoh amal fi’li dan qauli adalah ukuran takaran s}a’ dan mu>d, dimana Nabi saw mengambil zakat mereka dengan takaran ini, cara panggilan dalam shalat dan iqamat, membaca al-fatihah tanpa basmalah. Amal taqri>ri, yakni amal yang dinukil dari ketetapan Nabi saw, seperti pertanggungjawaban terhadap kerusakan budak (‘uhdatur raqi>q). Amal tarki, yaitu sesuatu yang sengaja ditinggalkan oleh Nabi saw. seperti Nabi tidak mengambil zakat dari buah-buahan hijau dan sayuran, meskipun pada kenyataannya barang-barang tersebut dikenal Nabi dan penting dalam ekonomi lokal
Ibnu Taimiyah, membagi mara>tib (urutan) amal penduduk Madinah juga dalam empat kategori. Pertama, amal yang berasal dari Nabi saw. Kedua, al-amal al-qadi>m (amal terdahulu) penduduk Madinah sebelum kematian khalifah Usman bin Affan. Ketiga, jika terjadi pertentangan dua dalil dalam satu masalah, maka ia kuatkan amal penduduk Madinah. Keempat, al-‘amal al-mutaakhir (amal terkemudian) penduduk Madinah. Ibnu Qayyem al-Jauziyah menyamakan al-‘amal al-naqli> dari Nabi dengan al-‘amal al-qadi>m versi Ibnu Taimiyah sebagai hujjah yang sama dan disepakati.
Tampaknya ketiga ulama di atas sepakat terhadap aspek amal naqli yang sandarannya kepada Nabi saw. Amal atau praktek keagamaan yang dijalankan secara kolektif oleh penduduk Madinah melalui transmisi tradisi turun temurun orang banyak dari orang banyak hingga bersambung kepada Nabi saw. Tetapi ketiganya berbeda tentang pengklasifikasiannya. al-Qadi ‘Iya>d tidak mengklasifikasi amal penduduk Madinah dengan melihat urutannya sebagaimana yang dilakukan Ibnu Taimiyah. Sehingga ia tidak mengenal perbedaan antara al-‘amal al-qadi>m dengan al-‘amal al-mutaakhir. Semua amal penduduk Madinah yang tidak berasal dari Nabi diposisikan sebagai amal yang berdasarkan hasil ijtihad. Sedangkan Ibnu Qayyem berusaha mengkompromikan pendapat Ibnu Taimiyah dan al-Qadi ‘Iyad, dengan cara menggabungkan antara sunnah Nabi dengan sunnah khulafaurrasyidin yang disitilahkan dengan al-‘amal-Qadim masuk kategori al-amal al-naqli.

• Al-‘Amal al-ijtiha>di
Al-‘amal al-ijtiha>di, adalah amal yang dihasilkan dari ijtihad ulama era setelah wafatnya Nabi saw. Amal ijtihadi menurut Ibnu Taimiyah harus dibedakan antara amal yang dihasilkan sebelum kematian Usman bin Affan (amal qadi>m) dan setelah kematiannya (amal muta’akhir). Ibnu Taimiyah menetapkan amal qadi>m sebagai hujjah yang harus diikuti. Untuk mendukung pendapatnya ia mengutip hadis yang berbunyi ;
عن عرباض بن سارية ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي وعضوا عليها بالنواجذ

Adapun amal muta’akhir pasca pembunuhan Usman bin Affan maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah .

b. Kehujjahan Amal Penduduk Madinah
Pengikut mazhab Malik sendiri berbeda ketika menafsirkan kehujjahan amal penduduk Madinah. Sebagian berpendapat bahwa amal yang dimaksudkan tersebut adalah apa yang dihasilkan melalui jalur periwayatan mutawatir. Ada pula yang memahinya amal tersebut sebagai tarji>h (penguatan) konsensus kolektif penduduk Madinah dari konsensus luar Madinah. Pendapat ketiga, bahwa amal yang bisa jadi hujjah adalah amal dari penduduk Madinah zaman sahabat dan tabi’in saja.
Di antara murid-murid Imam Malik, seperti al-Qa>di ’Iyad dan Ibnu Taimiyah sepakat bahwa amal naqli yang dinukil dari Nabi adalah hujjah yang wajib diberpegangi karena bersifat qat’i dan pasti kebenarannya. Jika bertentangan dengan hadis ah}ad atau qiya>s, keduanya mutlaq diabaikan dan memilih amal naqli. Pendapat ini tampaknya juga diadopsi dan dipahami sama oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Hanya saja al-Jauziyah menambahkan amal sahabat dan Khulafaurrasyidin termasuk sebagai amal naqli.
Al-Qadi ‘Iyad mencatat tiga pendapat pengikut mazhab Maliki tentang hujjah tidaknya amal sesudah wafatnya Nabi saw. Pertama, pendapat yang menganggap amal bukan sebagai hujjah, tidak pula dapat digunakan untuk menguatkan suatu pendapat yang dipilih dari pendapat lain (tarjih). Pendapat ini dipelopori oleh pengikut mazhab Maliki Bagdad. Kedua, pendapat yang meskipun bukan hujjah tetapi hal itu dapat digunakan untuk merajihkan (menguatkan) suatu ijtihad seseorang dari yang lainnya. Ketiga, pendapat yang menganggapnya sebagai hujjah
Uraian di atas dapat dipahami bahwa amal penduduk Madinah yang disepakati sebagai hujjah adalah amal yang berlandaskan nash yang memiliki ketersambungan informasi akurat hingga kepada Nabi saw, dan kepada Khulafairrasyidin atau amal naqli. Sedangkan amal ijtihadi tidak disepakati kehujjahannya. Sebagian berhujjah dengan kehujjahan terbatas, sebagian lagi berhujjah penuh sebagaimana kehujjahannya amal naqli.
Adapun pendapat ketiga ulama dapat dilihat pada tabel berikut;
Pendapat Ulama
Jenis amal
Al-Qadi ‘Iyad
Ibnu Taimiyah
Ibnu Qayyem
Al-amal al-naqli Yang dinukil dari Nabi; terbagi 4;
• al-‘amal al-qauli
• al-‘amal al-fi’li,
• al-‘amal al-taqri>ri
• al-‘amal al-tark Amal yang dinukil dari Nabi saw Yang dinukil dari Nabi saw dan khulafaurrasyidin
Al-amal al-ijtihadi Semua amalan penduduk Madinah setelah Nabi saw al-‘amal al-qadi>m (amal sebelum wafatnya Usman bin Affan)
al-‘amal al-muta’akhir(amal setelah kematian Usman bin Affan Amal penduduk Madinah setelah Khulafaurrasyidin

B. Sunnah Ulama Madinah dalam Perspektif Studi Hadis
Sunnah Nabi telah mengalami perjalanan panjang dalam bentangan realitas sejarahnya. Meminjam istilah Fazlur Rahman sunnah telah mengalami evolusi historisnya menjadi hadis. Ulama klasik maupun ulama modern secara kolektif sepakat menetapkan hadis sebagai pemegang otoritas legal sunnah Nabi maupun sunnah sahabat dan tabi’in. Maka ketika akan berbicara tentang sunnah, atau akan mengamalkan ajaran agama, tempat bersandarnya adalah teks-teks literal hadis.
Namun sunnah tidak hanya berevolusi menjadi hadis, tetapi juga (pernah) berevolusi menjadi praktek kolektif penduduk lokal. Sebuah praktek keagamaan yang telah menjadi tradisi dikembangkan oleh penduduk Madinah yang mereka yakini sebagai sunnah. Ia meyakini tradisi tersebut memiliki mata rantai ketersambungan berita hingga kepada sumber pertamanya, Nabi saw. Oleh karena itu, ketika sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran, maka tidak hanya dipahami dengan pesan teks literal hadis tetapi juga dengan pesan amal penduduk lokal Madinah.
Dalam banyak peristiwa Imam Malik menolak sebuah teks hadis, meskipun teks hadis tersebut s}ah}i>h}, karena tidak sejalan dengan yang diamalkan oleh penduduk Madinah. Bahkan ada yang diriwayatkan dan dibukukakan dalam kitab al-Muwat}t}a, tapi kemudian ia sendiri tidak mengamalkannya karena bertentangan dengan amal penduduk Madinah.
Contoh di mana Malik melawan hadis yang ia sendiri riwayatkan, di antaranya hadis tentang mengangkat tangan pada saat takbi>r dalam shalat. Imam Malik menerima hadis dari Salim dari Ibnu Umar (marfu>’) dan jalur Naf’i dari Ibnu Umar (mauqu>f)
• حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ
• حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا دُونَ ذَلِكَ

Meskipun Imam Malik menerima hadis dari orang yang s\iqat, dan memasukkan dalam kitab Muwat}t}anya, tetapi ia menolaknya karena bertentangan dengan amal penduduk Madinah. Imam Malik berkata, “aku tidak mengetahui adanya angkat tangan pada saat takbir dalam shalat, baik takbirnya rendah ataupun tinggi kecuali pada takbir permulaan shalat (takbi>rat al-ih}ra>m). Ini artinya Imam Malik mend}a’i>fkan hukum mengangkat tangan pada saat takbir dalam shalat, di luar takbir permulaan shalat (takbi>rat al-ih}ra>m).
Dutton dalam analisanya ia katakan bahwa kitab al-Muwat}t}a adalah kitab fundamental tentang sejarah legal Islam di mana ekspresi hukum yang benar dilihat bukan sebagai yang dipelihara dalam suatu kumpulan teks hadis tetapi dalam amal penduduk lokal Madinah. Imam Malik dan Penduduk Madinah berpegang pada keyakinan bahwa amal merupakan indikasi sunnah yang lebih baik, amallah yang merupakan sumber dasar dari sunnah yang normatif bukan kepada hadis yang termaktub dalam teks-teks periwayatan.
Alasan rasional Imam Malik adalah Rasulullah kembali dari perang bersama ribuan sahabatnya. Sepuluh ribu dari mereka meninggal di Madinah dan sebagian kecilnya di berbagai tempat. Jadi, manakah yang lebih patut diikuti? Apakah sahabat yang meninggal ribuan itu atau satu dua sahabat yang telah meninggal?
Uraian di atas dapat dipahami bahwa kekukuhan Imam Malik mempertahankan amal penduduk Madinah sebagai hujjah yang lebih baik dan lebih kuat dari kumpulan teks hadis karena ia memahami sebuah realitas kondisi di mana orang-orang Madinah mengikuti pendahulunya para tabi’in. Para tabi’in dengan jumlah besar menerima sunnah dari para sahabat dalam jumlah besar pula dalam bentuk tradisi dan praktek. Keadaan inilah yang dilihat Imam Malik sebagai sebuah penukilan yang secara otomatis tidak diragukan kemutawatirannya, karena dihubungkan langsung kepada sahabat dalam jumlah banyak. Sementara mayoritas hadis bagaimanapun keotentikannya tetap saja berstatus ahad.
Imam Malik berusaha keluar dari lingkaran pertarungan amal versus hadis dengan memilih apa yang menurutnya qat’i dan mengabaikan yang z\anni. Hadis yang statusnya z\anni diambil sebagai penguat amal penduduk Madinah yang qat’i. Bagi Malik sunnah secara eksklusif dia identikkan dengan amal penduduk Madinah sebagai konsensus yang ditetapkan kehujjahannya. Otoritasnya dapat mengalahkan hadis otentik.
Di lain pihak kelompok Iraq yang dipelopori Imam al-Syafi’i berpegang kepada pendapat bahwa sunnah yang otentik adalah yang didukung oleh riwayat-riwayat otentik. Sedangkan amal jika tidak didukung oleh riwayat otentik tidak dapat diterima. Sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti harus diutamakan dari sumber non-tekstual yang keasliannya tidak dapat diketahui secara pasti. Bukan hanya itu, Imam al-Syafi’i dengan usahanya yang besar berhasil membuat identifikasi eksklusif sunnah dengan preseden spesifik yang digariskan Nabi daw, yaitu tradisi autentik yang hanya berasal dari Rasulullah saw sendiri. Dalam hal mengangkat tangan pada saat takbir misalnya, Imam al-Syafi’i berpegang kepada teksnya hadis yang diriwayatkan jalur Salim dari Ibnu Umar
Sejalan dengan Imam al-Syafi’i, Abu Ishaq Al-Syaerazi menyatakan bahwa suatu konsensus (ijm>’a) dianggap benar jika seluruh ulama di zaman itu sepakat dalam suatu hukum, tetapi jika sebagian ulama tidak sepakat maka tidak bisa dianggap sebagai konsensus. Oleh karena itu, jika alasan Imam Mailk mengatakan bahwa amal penduduk Madinah dianggap sebagai konsensus penduduk Madinah yang menjadi hujjah karena kemayoritasannya, maka menurut al-Gazali alasan tersebut salah, karena hujjah itu lahir dari konsensus semua ulama (al-ijm>a’) bukan konsensus sebagiannya (ijm>a’).
Bahkan Abu Bakar al-Sarkhisi> dengan ekstrim menyatakan bahwa, jika pendapat yang mengatakan bahwa konsensus atau amal penduduk Madinah sebagai hujjah (khusus) yang dimaksudkan adalah amal penduduk Madinah pada masa Nabi saw, maka tidak ada yang mempermasalahkannya. Tetapi jika dimaksudkan adalah pada setiap zaman, maka pendapat itu jelas batil. Karena tidak ada satu wilayah di negeri Islam (Da>r al-Isla>m) pada saat sekarang ini yang paling sedikit ilmunya, paling nyata kebodohannya, dan jauh dari sebab-sebab kebaikan selain orang-orang yang tinggal di Madinah
Uraian di atas dapat dipahami bahwa sunnah ulama Madinah yang hanya berlandaskan konsensus atau amal penduduk lokal Madinah dalam pandangan ulama yang berpihak kepada otoritas teks hadis adalah pandangan yang tidak tepat karena bertentangan dengan kaidah ijma (konsensus). Mereka memahami bahwa suatu hujjah hukum dapat diambil dari ijm>’a jika ijm>’a tersebut merupakan kesepakatan mayoritas ulama dari berbagai negeri, bukan hasil kesepakatan sepihak dari minoritas penduduk lokal di suatu negeri. Dengan demikian amal penduduk Madinah yang merupakan produk lokal dalam perspektif hadis bukanlah hujjah yang dapat menjadi landasan hukum, jika tidak ada teks-teks hadis s}ah}ih} yang membenarkannya.
Pertarungan amal versus hadis dengan segala argumennya berimbas kepada lahirnya dua blok pemikiran sunnah antara blok Madinah dengan blok non-Madinah. Ulama Madinah yang dipelopori Imam Malik mempertahankan tradisi ulama Madinah sebelumnya yang menjadikan amal penduduknya secara terbatas dan eksklusif sebagai sunnah yang memiliki otoritas sebagai sumber hukum setelah al-Quran.
Menengahi dua kelompok yang bersebarangan di atas, perlu adanya pendekatan kesejarahan (historical approach) untuk melihat lebih dekat dan memahami lebih dalam sehingga dapat menemukan konklusi yang tepat. Dalam sejarahnya, menghujjahkan amal penduduk Madinah bukanlah konsep baru yang ditelorkan Imam Malik , tetapi generasi sebelumnya dari kalangan tabi’in pun telah mengamalkannya. Oleh sebab itu, penolakan dan ketidaksepahaman, apalagi tuduhan yang melampaui batas (pernyataan al-Sarkhi>si>) tersebut pada akhirnya ia ditujukan bukan hanya kepada Imam Malik saja, tetapi kepada para tabi’in juga. Oleh karena itu, tidaklah juga benar kalau mengenyampingkan sama sekali adanya unsur kebenaran atas kehujjahan amal penduduk Madinah. Sebab bagaimana pun ulama dari kalangan tabi’in telah mengamalkannya. Bagi penulis, sangat sulit untuk menafikan ritual keagamaan yang telah dipraktekkan para tabi’in karena mereka adalah generasi bersambung dengan sahabat.

C. Rekonstruksi Metodologis dalam Perspektif Kekinian
Menjadi kejujuran ilmiah dan fakta sejarah bahwa kapasitas Imam Malik sebagai ulama hadis yang terpercaya (s\iqat), dan sanadnya yang dipuji sebagai silsilah z}ahabiyah. Untuk itu dapatlah menjadi dasar untuk tidak mengabaikan amal sebagai bagian dari sunnah. Dalam artian bagaimana mencari titik temu antara teks literal hadis dan amal sebagai upaya merekonstruksi pemahaman sunnah.
Tanpa mengabaikan kesepakatan mayoritas ulama tentang otoritas hadis, hal yang tidak bisa dinafikan bahwa dalam mata rantai periwayatan, posisi periwayat melakukan kesalahan dan kekhilafan sangat mungkin terjadi, hatta periwayat yang terpercaya sekalipun. Sementara kesalahan tersebut mungkin jadi tidak teridentifikasi data sejarah.
Ulama kemudian menetapkan kualitas jalur periwayatan berdasarkan bila>d (negeri). Al-Khatib dan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jalur sunnah yang paling kuat (s}ah}ih}) pada masa salaf adalah jalur periwayatan ahl al-haramain (penduduk Madinah dan Mekkah) karena sangat sedikit terjadi tadli>s, diikuti penduduk Basrah kemudian Penduduk Syam. Bahkan Hisyam bin Urwah menyikapi periwayatan hadis dari luar Madinah dengan ucapannya; “jika orang Iraq memberitakan kepadamu seribu hadis, maka abaikanlah 999-nya dan selebihnya jangan langsung percaya.
Oleh karena itu, penulis sepakat dengan ulasan pendapat Imam Ibnu Qutaibah bahwa; “Menurut pendapat kami, sesungguhnya kebenaran lebih mungkin ditegakkan dengan ijm>a’ (amal) dari pada dengan riwa>yat (teks hadis). karena hadis sangat mungkin terkena kesalahan, kelalaian, ketidakyakinan, interpretasi yang mungkin berbeda (ta’wilat), ada penyisihan (nasakh), dan seseorang yang s\iqat mengambil hadis dari orang yang tidak s\iqat. Bisa jadi terjadi dua perintah yang berbeda yang keduanya boleh seperti satu salam atau dua salam (pada akhir shalat). Sama halnya seseorang hadir ketika Nabi saw memberi perintah tertentu dan kemudian tidak hadir ketika Nabi saw memberi perintah yang berbeda sehingga ia meriwayatkan apa yang tidak didengar oleh orang yang pertama. Sementara ijm’a> terhindar dari kemungkinan hal seperti ini. Oleh karena itu, Imam Malik terkadang meriwayatkan suatu hadis dari Rasulullah kemudian ia berkata, “amal di kota kami begini”. Ada banyak hadis di mana orang meriwayatkannya dengan riwayat bersambung, tetapi mereka tidak mengamalkannya. Contohnya hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah menjamak shalat dhuhur dengan ashar, dan magrib dengan isya di Madinah dalam suasana aman tanpa ada kekhawatiran (sebagai rukhsahnya). Tetapi semua ulama fiqh tidak mengamalkan hadis ini karena bisa jadi mansu>kh, atau karena kondisi darurat, karena hujan atau karena kesibukan” .
Uraian di atas memberikan asumsi positif bahwa apa yang ada dan diamalkan oleh penduduk Madinah atau sesuatu yang menjadi kesepakatan mayoritas penduduk Madinah yang diwariskan secara bersambung dari salaf al-s{a>lih (sahabat, ta>bi’in , ta>bi al-ta>bi’i>n) memiliki bangunan kehujjahan dalam praktek keagamaan. Maka apa yang pernah dikembangkan Imam Malik pada masanya dengan menjadikan amal penduduk Madinah sebagai salah satu rujukan dalam mengambil keputusan-keputusan hukum dan ketetapan fiqhinya perlu ada upaya konstruktif sinergis dengan teks-teks hadis dalam melandasi keputusan keputusan hukum (fiqh) dalam konteks kekinian.
Upaya rekonstruksi tersebut adalah bagaimana amal dan hadis dapat dikompromikan sebagai pemilik otoritas sunnah yang saling melengkapi. Hadis dapat diposisikan sebagai sunnah matluwah (sunnah tekstual) sedankan amal sebagai sunnah ma’s\u>rah (sunnah non-tekstual atau tradisi). Jika jalur sunnah tekstual adalah berakhir pada penulisnya seperti al-Bukha>ri>, Muslim dan yang lainnya, maka jalur sunnah ma’s\u>rah hanya terhenti di Malik bin Anas.
Sunnah ma’s\u>rah (amal penduduk Madinah) bisa diposisikan sebagai penguat teks-teks hadis yang kontroversial dan bertentangan. Ada dua tawaran alternatif dalam menyelesaikannya, pertama jika terjadi pertentangan dua teks hadis s}ah}i>h} yang tidak bisa diselaikan dengan cara kompromi (jam’u wa taufi>q), maka sunnah ma’s\u>rah diberikan otoritasnya untuk menentukan tingkat kualitas hadis tersebut sebelum melakukan nasakh dan tarji>h{. Kedua, sunnah ma’s\u>rah sebagai salah satu dalil dalam melakukan tarji>h{.
Misalnya perbedaan pendapat tentang hukum dalam jahar basmalah dalam shalat karena adanya hadis-hadis s}ah}ih} yang bertentangan. Untuk menentukan kualitas keduanya, maka perlu kembali kepada amal penduduk Madinah, bagaimana cara penduduk Madinah melaksanakan shalat di Mesjid Nabawi, yang tidak bisa dipungkiri merekalah yang paling dekat mewarisi tata cara shalat Nabi. Maka dengan demikian, hadis yang tidak sejalan dengan amal bisa dikategorikan sebagai hadis bermasalah (sy>az\), walaupun itu sanadnya s}ah}i>h} karena bertentangan dengan hadis yang lebih kuat karena didukung oleh sunnah ma’s\u>rah.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunnah ulama Madinah sunnah yang menjadikan konsensus atau amal penduduk lokal Madinah sebagai salah satu sumbernya. Para Tabiin sebelum Malik telah berpegang kepada amal sebagai salah satu sumber sunnah di zamannya. Jika amal bertentangan dalam suatu perkara dengan teks hadis yang telah dipastikan keotentikannya, amal dirajihkan dari hadis. Amal dibagi dalam dua kategori; amal naqli, yaitu amal yang berdasarkan nash dan amal ijtihadi yaitu, amal yang berdasarkan ijtihad. Amal naqli adalah amal yang disepakati kehujjahannya oleh pengikut mazhab Maliki, sedangkan amal ijtihadi mereka berbeda pendapat.
Sunnah ulama Madinah dalam pandangan ulama yang berpihak kepada otoritas tunggal teks hadis adalah pandangan yang tidak kuat. Amal jika tidak didukung oleh riwayat otentik tidak dapat diterima. Sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti harus diutamakan dari sumber non-tekstual yang keasliannya tidak dapat diketahui secara pasti.
Upaya rekonstruksi metodologis dengan mengkompromikan amal penduduk Madinah dengan teks-teks literal hadis sebagai pemilik otoritas sunnah yang saling melengkapi. Hadis diposisikan sebagai sunnah matluwah (sunnah tekstual) sedankan amal penduduk Madinah sebagai sunnah ma’s\u>rah (sunnah non-tekstual atau tradisi). Dengan ini sunnah ma’s\u>rah menjadi solusi baru dalam persoalan hukum fiqh terutama dalam menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan.

B. Implikasi
Perlu adanya pengkajian lebih mendalam tentang amal penduduk Madinah terutama mengidentifikasi berapa banyak topik persoalan yang disebutkan, dan apa yang menjadi permasalahan sehingga amal penduduk Madinah tidak populer dalam literatur hadis maupun fiqh, kecuali sedikit yang mengamalkannya dari pengikut mazhab Maliki saja.

Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad, Muh}a>dara>t fi al-Ta>ri>kh al-Maz\a>hib al-Isla>miyah. tk: al-Matba’ah al-Madani, t.th

al-‘Alwan, Muhammad al-Sayyid Abdul al-Majid, Durbah al-T}ull>a>b ‘ala> al-Nas}r fi ‘Ilmi al-H{adis\. Kairo: tp, 1995

al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Taqri>b al-Tahz\i>b. tk: Dar al’Asimah, t.th.

al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Ja>mi al-S{ah}i>h} al-Musnad Mi>n Hadi>£ Rasulillah saw. wa Sunanih wa Ayya>mih, Jilid II. Kairo: al-Mat}ba’ah al-Salafiyah, 1403 H.

al-Kalwazani al-Hanbali, Mahfud bin Ahmad bin al-Hasan Abu al-Khattab (432-510 H), al-Tamhi>d fi Us}u>l al-Fiqh J. III. Jeddah: Dar al-Madani, 1985

al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Us}u>l al-H{adi>s\; ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh, Beirut : Dar al-Fikr, 1989

al-Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as, Sunan Abi Daud, J. I. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th.

al-Sarkhi>si>, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl (w. 490). Us}u>l al-Sarkhi>si>, J. I. India: Lajnah Ihya al-Ma’arif al-Nu’maniyah, t.th.

al-Siba’i, Mustafa, al-Sunnah wa Maka>natuha fi> al-Tasyri’ al-Isla>mi>. Kairo: Dar al-Salam, 1998

al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa>’id al-Tah}di>s\. (tk: tp, t.th)

al-Yamani al-Makki, Abu Sa’id al-Mufaddal bin Muhammad bin Ibrahim al-Janadi, Fad}a>il al-Madi>nah. Damasqus: Dar al-Fikr, 1985

Brown, Daniel W., Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, terj. Jaziar Radianti, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Jakarta: Mizan, 2000.

Dutton,Yasin, Sunna, Hadith, and Madinan Amal, terj. Dedi Junaidi, Sunnah Hadis dan Amal Penduduk Madinah. Jakarta: Akademika Pressindo, 1996

Ibnu Abdul Hadi, Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, al-Madkhal Ila> al-Sunnah al-Nabawiyah. Kairo: Dar al-I’tisam, 1998

Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Ahmad bin Muslim (213-276 H), Ta’wi>l Mukhtalaf al-h}adi>s\. Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, 1999/1419

Ibnu Qasim, Abdurrahman, al-Mudawwanah al-Kubra> J. I. Libnan: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994/1415.

Kitab al-Muwatta li al-Imam Malik bin Anas (95 -197 H/713-795), J. I. Kairo: Dar al-Rayyan, 1988.

Nur Saif, Ahmad Muhammad, ‘Amal Ahlu al-Madi>nah; Baina Mus}t}alah}at Malik wa Ara> al-Us}u>liyi>n. Dubai: Dar al-Buhus al-Islamiyah, 2000.

Palamban, Hassan bin Muhammad Husain, Khabar al-Wa>h}id iz\a Kha>lafa Ahla al-Madi>nah. Dubai: Dar al-Buhus al-Dirasah al-Islamiyah, 2000

Qardawi, Yusuf, Kaif Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah; Ma’a>lim wa d}awa>bit. tk: tp, t.th.

________, Al-Sunnah Mas\daran Li al-Ma’rifah wa al-H{ad{a>rah. Kairo: Dar al-Syuruq, 1998)

¬¬¬________, Marja’iyah al-‘Ulya> fi> al-Isla>m li> al-Qur’an wa al-Sunnah, terj. Bahruddin Fannani, Al-Qur’an dan as-Sunnah, Referensi Tertinggi Ummat Islam. Jakarta: Robbani Press, 1997.

Senin, 12 Juli 2010

Wanita yang Paling Baik (Kajian Takhri>j Hadis)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wanita adalah sosok makhluk Tuhan yang memiliki peran strategis di setiap sendi kehidupan manusia. Wanita hadir bukan sebatas untuk menutupi kekurangan laki-laki dan menyempurnakan keterbatasannya, tetapi ia datang membawa dirinya sendiri, memainkan perannya yang sentral terhadap keberlangsungan kehidupan manusia. Pada sisi kelembutannya tersimpan kekuatan dahsyat yang mampu memintal benang kebangkitan dan mendesain peradaban masa depan.
Terciptanya Hawa mendampingi Adam, menjadi batu bata awal perjalanan panjang kehidupan makhluk yang bernama manusia. Kehadiran Khadijah di sisi Rasulullah saw bukan sebatas istri, dan ibu dari anak-anaknya, tetapi ia telah mengalirkan kehangatan dan energi yang dahsyat di setiap jengkal perjuangan Nabi. ‘Antara bin Syaddad tampil menjadi pemimpin perang yang tangguh di daratan Arab pra-Islam karena inspirasi dan motivasi cinta dari ‘Ablah. Yang terkini, bom bunuh diri di kereta bawah tanah (subway) Moskow, Rusia (29/3/2010) yang menewaskan puluhan orang, ternyata dilakukan oleh dua orang wanita, Maryam Sharilova (20 tahun) dan Dhzanet Abdurakhmanova (17 tahun)
Wanita dalam Islam memiliki kedudukan yang terhormat. Islam menempatkannya dan memuliakannya di tempat yang sesuai dengan fitrahnya. Islam menyelamatkan wanita dari ketertindasan, dan mengangkat harkat dan martabatnya melalui firman Allah dan sabda Nabi, dan mendudukkannya di atas altar yang terbaik. Dalam al-Quran, wanita tidak dibedakan dengan laki-laki dalam kesalehan. Demikian pula dalam hadis, Rasullah berbicara banyak tentang kemuliaan wanita, kebaikannya, peran dan fungsinya.
Jika al-Quran berbicara tentang keutamaan dan kebaikan wanita maka tidak diragukan kebenarannya. Berbeda dengan teks-teks hadis, untuk menentukan kebenarannya perlu ada pengujian untuk membuktikan validitasnya. Berangkat dari hal tersebut maka menjadi penting untuk menggali dan mengkaji bagaimana hadis berbicara tentang wanita.
Pengkajian kali ini akan difokuskan pada takhri>j hadis tentang wanita yang paling baik. Kegiatan takhri>j dilakukan dengan al-naqd al-kha>riji> (kritik sanad) dan al-naqd al-da>khi>li> (kritik matan). Adapun potongan hadis yang menjadi titik tolak kajian takhri>j adalah ;.أي النساء خير
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah dirumuskan pokok permasalahan yang akan dikaji yaitu; Bagaimana status dan kualitas sanad dan matan hadis-hadis tentang wanita yang paling baik”.

II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan Terhadap Status dan Kualitas Sanad
Untuk membuktikan status dan kualitas sanad akan dilakukan pengkajian dengan meninjau beberapa aspek yang berkaitan dengan batang tubuh sanad.

1. Kegiatan Penelusuran hadis
Takhri>j hadis dilakukan sebagai langkah dalam upaya menyingkap hadis dari kitab sumber aslinya, dan melihat para periwayatnya . Sebab itu takhri>j di sini bermakna kegiatan menelusuri dan menguak periwayat dan jalur periwayatannya pada sanad hadis .
Dalam melakukan penelusuran hadis, penulis menempuh dua cara; cara manual dan elektronik. Cara manual dengan menggunakan metode penelusuran hadis (t}uruq al-takhri>j) yang telah ditetapkan ulama hadis. Sedangkan cara elektronik menggunakan Softwere al-Maktabah> al-Sya>milah dan Kitab 9 Imam Hadis.
Menurut Abdul Muhdi t}uruq al-takhri>j ada lima;
a. Takhri>j berdasarkan matla’ (awal kata) hadis
b. Takhri>j berdasarkan lafaz} gari>bnya
c. Takhri>j berdasarkan periwayat tertinggi
d. Takhri>j berdasarkan tema hadis
e. Takhri>j berdasarkan jenis hadis.
Dari lima metode di atas penulis akan menggunakan tiga metode saja dalam menelusuri dan menyingkap potongan hadis أي النساء خير
a. Metode takhri>j berdasarkan lafaz} gari>bnya. Dalam metode ini dipergunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawi> karya A. J. Wensinck.
b. Metode takhri>j berdasarkan mat}l’a hadis (awal kata) dengan menggunakan kitab Mausu’ah> At}ra>f al-H{adi>s| al-Nabawi> al-Syari>f karya Abu Hajir Muhammad al-Sai>’d bin Basyuni Zaglul
c. Metode takhri>j berdasarkan tema (mau>d}u’) hadis, dengan kitab Mifta>h} Kunu>z al-Sunnah> karya Muhammad Fuad Abdul Baqi (edisi bahasa Arab).

Metode praktis dalam melakukan takri>j hadis yang telah ditetapkan potongan matan hadisnya adalah metode berdasarkan lafaz} gari>bnya. Sebab itu, metode ini menjadi pilihan pertama dengan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawi> sebagai referensinya.
Penelusuran diawali dengan memasukkan code entry أي (ayyu). Tetapi sepanjang penelusuran, ternyata tidak diketemukan kalimat أي النساء خير. Perhatikan nuskhah berikut












Selanjutnya digunakan code entry خير tetapi juga tidak ditemukan. Maka penelusuran dilanjutkan dengan code entry النساء. Dengan kata النساء terkuak kata yang dicari dan tergambar sumber kitabnya sebagai mana berikut;




Untuk menguatkan temuan, dilakukan penelusuran ke kitab Mausu’ah At}ra>f al-H{adi>s\ al-Nabawi> al-Syari>f dengan asumsi bahwa ia adalah awal matan hadis. Tetapi ternyata tidak tercantum.










Karena temuan belum maksimal, maka penelusuran dilakukan dengan metode takhri>j lain, yakni metode berdasarkan maudu>’ al-h}adi>s\ dengan kitab Mifta>h} Kunu>z al-Sunnah. Pada kitab/bab nikah disebutkan ada tiga periwayat yang meriwayatkan hadis أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ. yaitu Al-Nasai>, Ahmad bin Hanbal dan Zaid bin ‘Ali>




Dari tiga metode yang dipergunakan ditemukan ada tiga periwayat yang meriwayatkan hadis yaitu; al-Bukha>ri>, al-Nasa>i>, dan Ahmad bin Hanbal. Dari ketiga periwayat apakah riwayat ketiganya sama atau berbeda?. Untuk mengetahui hal tersebut perlu mengeksplor matan ketiganya secara detail.
al-Bukha>ri>
Ahmad Al-Nasai>
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّذِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَه


Tampaknya matan al-Bukha>ri> berbeda dengan matan Ahmad bin Hanbal dan al-Nasa>i. Karena adanya perbebedaan ini, penulis melakukan penelusuran ulang untuk menggali lebih dalam kemungkinan adanya riwayat lain, atau melihat tanaww’unya.
Pada matan hadis Ahmad dan al-Nasa>i, penulis melakukan penelusuran ulang secara manual dengan kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s\ al-Nabawi> dengan code entry تَسُرُّهُ, tetapi tidak ditemukan. Selanjutnya dengan code entry نَظَرَ. Dengan code ini ditemukan kata yang dicari. Tapi temuan ini sama dengan temuan yang ada sebelumnya.



Maka dari itu, takhri>j secara manual dilanjutkan dengan metode elektronik dengan software al-maktabah al-sya>milah dan software Kitab 9 Imam Hadist. Code entry yang dipergunakan adalah أي النساء خير. Hasilnya sebagai berikut;
Al-Maktabah> al-Sya>milah Kitab 9 Imam Hadist
• سنن النسائي - (ج 10 / ص 333(
• مسند أحمد - (ج 15 / ص 155(
• مسند أحمد - (ج 19 / ص 260(
• مسند أحمد - (ج 19 / ص 324( • Kitab al-Nasai ditemukan 1 hadist
• Kitab Ahmad ditemukan 3 hadist

Setelah melakukan pengecekan dan komparasi antara hasil secara manual dengan hasil secara elektronik ternyata hasilnya sama, dimana أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ terdapat empat hadis. Satu hadis riwayat al-Nasa>i dan tiga riwayat Ahmad.
Selanjutnya penelusuran kembali dilakukan dengan mengacu kepada matan hadis al-Bukha>ri>. Code entrynya adalah رَكِبْنَ الْإِبِلَ dan hasilnya sebagai berikut;




Sedangkan dengan menggunakan software Kutub 9 Imam Hadist hasilnya adalah;
- Kitab Bukhari ditemukan 3 Hadist
- Kitab Muslim ditemukan 3 hadist
- Kitab Ahmad ditemukan 8 hadist

Dari kegiatan takhri>j (penelusuran) hadis yang dilakukan baik secara manual maupun electronik dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis yang berbicara tentang wanita yang paling baik tersebar di beberapa kitab hadis yaitu; S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, S{ah}i>h Muslim, Sunan al-Nasa>i, dan Musnad Ahmad bin Hanbal.

2. Klasifikasi Hadis
Hasil temuan pada kegiatan takhri>j akan dieksplor secara utuh dengan mengklasifikasikannya berdasarkan al-Raw>i al-Mukharrij al-Ka>tib (periwayat yang membukukannya).

a. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>
- وَقَالَ ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نِسَاءُ قُرَيْشٍ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ أَحْنَاهُ عَلَى طِفْلٍ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
- حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
- حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا ابْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ وَأَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ وَقَالَ الْآخَرُ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِ وَيُذْكَرُ عَنْ مُعَاوِيَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
b. S{ah}i>h Muslim
- حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ح وَعَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ قَالَ أَحَدُهُمَا صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ و قَالَ الْآخَرُ نِسَاءُ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى يَتِيمٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَرْعَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَلَمْ يَقُلْ يَتِيمٍ
- حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نِسَاءُ قُرَيْشٍ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ أَحْنَاهُ عَلَى طِفْلٍ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ قَالَ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ عَلَى إِثْرِ ذَلِكَ وَلَمْ تَرْكَبْ مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ بَعِيرًا قَطُّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ عَبْدٌ أَخْبَرَنَا و قَالَ ابْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ وَلِي عِيَالٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ يُونُسَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ
- حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ ابْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا و قَالَ عَبْدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ح و حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ حَكِيمٍ الْأَوْدِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ مَخْلَدٍ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ بِلَالٍ حَدَّثَنِي سُهَيْلٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ مَعْمَرٍ هَذَا سَوَاءً
c. Sunan al-Nasa>i
- أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
d. Musnad Ahmad bin Hanbal
- حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّذِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
- حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنِ ابْنِ عَجْلاَنَ قَالَ حَدَّثَنِى سَعِيدٌ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ سُئِلَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ « الَّتِى تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِى نَفْسِهَا وَلاَ فِى مَالِهِ
- حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنِ ابْنِ عَجْلاَنَ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ « الَّتِى تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِى نَفْسِهَا وَمَالِهِ»
- حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ صُلَّحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ لِزَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ ُ
- حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
- حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
- حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدٌ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى يَتِيمٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
- حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عَلِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْأَفُهُ بِزَوْجٍ عَلَى قِلَّةِ ذَاتِ يَدِهِ
Mencermati hadis-hadis di atas tampaknya semua hadis keluar dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berperan sebagai common link terpancarnya hadis kepada periwayat di bawahnya. Jika ditilik keseluruhan matannya, tampaknya muatan ajaran Islam yang terkandung di dalam hadis ada dua jenis. Sebagaimana berikut;

Abu Hurairah dari Nabi saw.
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Diriwayatkan al-Bukha>ri>, Muslim, Ahmad Diriwayatkan al-Nasa>i, dan Ahmad

Adapun yang menjadi obyek kajian utama adalah hadis yang diriwayatkan al-Nasa>i dan Ahmad bin Hanbal dengan kata kunci أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Artinya : Dari Qutaibah – al-Lais – Ibn ‘Ajlan – Sa’id al-Maqburi – Abu Hurairah berkata : telah ditanyakan kepada Rasulullah saw, siapakah wanita yang paling baik? Beliau menjawab: "Yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, dan mentaatinya jika ia memerintahkannya dan tidak menyelisihinya dalam diri dan hartanya dengan apa yang dibenci suaminya."

3. I’tibar Sanad
I’tibar adalah penelusuran jalur hadis yang diriwayatkan secara tunggal oleh seorang periwayat untuk mengetahui apakah ada periwayat lain yang ikut andil dalam periwayatan tersebut atau tidak, dengan menelusuri dan memeriksa aspek ta>b’i dan sya>hidnya sanad hadis. Untuk mengetahui lebih jelas sanad hadis tentang wanita yang paling baik maka perlu dibuatkan skema jalurnya.



















3. Tarjamah Rija>l al-H{adi>s\
Setelah melakukan i’tibar sanad dan menampilkannya dalam bentuk skema, selanjutnya akan dilihat lebih detail kualitas kepribadian seluruh periwayat yang terlibat dalam jalur sanad.

a). Abu Huraerah
Nama lengkapnya Abdurrahman al-Dausi. Masa jahiliyah sering dipanggil Abdu Syam. Diberi gelar Abu Huraerah, karena waktu kecil ia mempunyai seekor anak kucing betina dan selalu bermain-main dengan kucingnya itu. Namun setelah masuk Islam Rasulullah memanggilnya dengan Abu Hirr sebagai panggilan intim. Ia masuk Islam melalui perantaraan T{ufail bin ‘Amr al-Dausi> . Abu Hurairah wafat pada masa pemerintahan Marwan. Ia telah menghafal hadis tidak kurang dari 1609 hadis .

b). Sa’i>d al-Maqbu>ri
Kaesan Abu Sa’id al-Maqburi> al-Madani>, pembantu Ummu Syari>k dari Bani Lais|. Bapaknya bernama Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi>. Digelari al-Maqburi> karena rumahnya terletak di dekat pekuburan . Kunniyahnya Abu Sa’id dan laqabnya al- Maqburi> al-Madani>, S{a>hib al-‘Abbas, Maula> Ummu Syari>k, dan dikenal dengan S{a>hib al-‘Iba>. Ia termasuk t}abaqah> kedua dari Tabi’in Senior
Gurunya antara lain; Usamah bin Zaid, Abdullah bin Salam, Ali bin Abi Talib, Umar bin Khattab, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Syuraih al-Ka’bi>, Abu Huraerah. Muridnya antara lain; S{abit bin Qaes al-Madani, Humaid bin Ziyad, anaknya Said bin Abi Sa’id dan cucunya Abdullah bin Sa’id bin Abi Sa’id, Ibn Ajlan.
Kesaksian ulama ; Menurut al-Nasai> la ba’sa bih, menurut al-Wafidi ia periwayat yang s|iqat dan banyak hadis , sedangkan menurut Ibnu Hajar dalam Taqri>bnya ia periwayat yang s|iqat s|abit. Ibnu Hibban juga menyebutkan di dalam kitab S{iqa>tnya.
Wafat di Madinah pada tahun 100 H atau tahun 125 H, yang menurut al-Wafidi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul ‘Aziz, menurut Muhammad bin Sa’d pada masa Khilafah al-Walid bin Abd Malik, sedangkan menurut Abu Hatim pada masa Abdul Malik



c). Ibn ‘Ajla>n Al-Qurasy>
Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Madani> Muhammad bin ‘Ajla>n Al-Qurasy>, pembantu Fa>t}imah> binti al-Wali>d bin ‘Utbah> bin Rabi>’ah> bin ‘Abd Syam bin ‘Abd Manaf. Ia seorang ahli ibadah yang hidup zuhud dan sederhana, seorang faqih, memberi pengajian (halaqah) di Mesjid Nabawi, dan memberi fatwa . Kunniyahnya Abu Abdillah, dan laqabnya al-Madani> al-Qurasyi> Maula Fat}imah. Ia termasuk t}abaqah kelima dari Ta>bi’i>n Yunior .
Gurunya antara lain : Aba>na bin S{a>lih, Ibrahim bin Abdullah, Anas bin Malik, Zaid bin Aslam, Sa’id bin Ibrahim, Suhail bin Abi S{a>lih, ‘Asim bin Umar bin Qatadah, Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqbu>ri>. Muridnya antara lain ; Ibrahim bin Abi ‘Ablah, Asbat bin Muhammad al-Qurasy>, Ismail bin Jafar, Bisyr bin Mansur Hatim bin Ismail, Khalid bin al-Haris, Ziyad bin Sa’d, al-Lais} bin Sa’ad, Yahya bin Sa’id bin Farukh
Kesaksian Ulama : Banyak ulama yang memberikan kesaksian sebagai seorang yang s|iqat, seperti S{aleh dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya,Yahya bin Ma’in, Ya’qub bin Syaebah, Abu Hatim, Al-Nasai. Sedangkan menurut Abu Zur’ah; s}udu>q wasat}. Salah satu cirinya, menurut Abu Sa’id bin Yunus, ia mewarnai jenggotnya dengan warna kuning. Ia wafat di Madinah pada tahun 148 H pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Mans}ur . ia termasuk t}abaqah kelima dari Ta>bi’i>n Yunior.

d). Lais\ bin Sa’ad
Abu al-H{a>ris\ al-Mis}ri> Lais} bin Sa’ad bin ‘Abdurrahman al-Fahmi>, pembantu Abdurrahman bin Kha>lid bin Musa>fir. Lahir di desa Qarqasyandah sekitar 4 mil dari Mesir pada tahun 93 atau 94 H pada masa khilafah Al-Wali>d bin Abd al-Malik dan wafat pada malam jumat 14 Sya’ban 165 H pada masa khilafah al-Mahdi>\. Kunniyahnya Abu al-Ha>ris\ Abu ‘Uqbah, dan laqabnya al-Fahmi>, al-Mis}ri>, al-Ima>m, al-Faqi>h. Ia termasuk t}abaqah ketujuh dari ta>bi> al-ta>bi’i>n dan jalur hadisnya diriwayatkan Imam kutub al-sittah>
Gurunya antara lain; Ibrahim bin Abi Ablah, Ayyub bin Musa, Bakar bin al-Sa’di, al-Walid bin Abi al-Walid, Yahya bin Ayyub al-Mis}ri, Yahya bin Sa’id al-‘Ans}ari>, Yahya bin Sulaim bin Zaid. Muridnya antara lain; Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Adam bin Abi Iyyas, Hajjaj bin Muhammad, Said bin al-Hakam bin Abi Maryam, Abdullah bin Abd al-Hakam, Abdullah bin al-Mubarak, Abdullah bin Wahab
Kesaksian ulama; Mayoritas ulama, seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Yahya bin Ma’in, Abdurrahman al-Nasai, Al-Darimi, Ya’qub bin Syaebah, Ali Al-Madini, al-‘Ijli> menempatkannya sebagai perawi yang s\iqat. Bahkan menurut keterangan Abu Daud dari kesaksian Ahmad bin Hanbal bahwa penduduk Mesir yang paling kuat (s}ah{ih}) hadisnya adalah al-Lais bin Sa’ad dan ‘Amru bin al-Haris. Kecuali Abu Zur’ah dan Ibnu Khirasy menempatkannya sebagai periwayat yang s}udu>q, s}ah}ih} al-h}adi>s\. Menurut kesaksian Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutib Abdullah bin Ahmad jalur hadis yang paling kuat yang bersumber dari Sa’id al-Maqbu>ri> dari Abu Huraerah adalah jalur yang diterima dan diriwayatkan al-Lais bin Sa’d

e). Qutaibah
Abu Raja> al-Balkhyi> al-Bagla>ni> Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin T{arif al-S{aqafi\>. Lahir lahir pada tahun 148 H dan wafat 240 H . Kunniyahnya Abu Raja dan laqabnya al-Saqafi, al-Balkhi>, al-Baqqal>. Hadisnya diriwayatkan Imam kutub al-sittah>. Ia termasuk t}abaqah kesepuluh dari murid senior tabi’ atba’ al-ta>bi’in .
Gurunya antara lain; Ibrahim bin Sa’ad al-Madani, Ishaq bin Isa al-Qusyairi, Ismail bin Ja’far, Hammad bin Zaid, Khalid bin Abdullah Al-‘Attar, Salim al-Aslami>. Muridnya antara lain; al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, Al-Darimi>, Ahmad bin Sayyar al-Marwazi
Kesaksian ulama : Menurut al-Nasai ia periwayat s|iqat s}udu>q, menurut Ibnu Khirasy dan Muhammad al-Farhayani>; s}udu>q, menurut Ibnu Hajar dan al-Bandari s|iqat s|a>bit

f). Al-Nasai>
Abu Abdirrahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani>. Lahir di Nasa salah satu kota di wilayah Khurasan Persia tahun 215 H. Hafal al-Qur’an dan talaqqi dengan ulama di negerinya. Ia mengunjungi (rih>lah) Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Damasqus. Di Damaskus ia menghadapi fitnah (penyiksaan) yang mengantarkan dirinya kepada kesyahidan. Ketika ia diminta untuk menulis kitab tentang keutamaan Muawiyah r.a. sebagaimana ia telah menulis kitab keutamaan Ali bin Abi Talib r.a. Akan tetapi ia menolak permintaan tersebut sehingga ia disiksa dengan penyiksaan yang sangat parah.
Ada dua pendapat tentang tempat wafatnya. Menurut al-Daraqutni>, ketika ia menghadapi ujian berat di Damaskus, ia meminta untuk dibawah ke Mekkah hingga akhirnya wafat dan di makamkan antara Safa dan Marwah. Menurut al-Zahabi, Ibnu Yunus, AL-Tahawi, ia wafat di Ramallah dan dimakamkan di Bait al-Muqaddas. Ia wafat pada tahun 303 H .
Kesaksian ulama; Menurut al-Daraqutni, al-Nasa’i ulama paling faqih di Mesir, paling paham hadis dan rijal-rijalnya di masanya. Ibnu al-As|ir al-Jazari> dalam muqaddimah kitabnya, Ja>mi’ al-Us}u>l, ia katakan bahwa Al-Nasa>i bermazhab Syafi’i, ia menulis kitab manasik al-h}ajj dengan mazhab Syafi’i.

4. Kritik Sanad
Kritik sanad merupakan kegiatan analisis-kritis yang dilakukan terhadap sanad hadis untuk menguji kes}ah}ih}annya. Kriteria kes}ah}ih}an sanad hadis telah ditetapkan oleh ulama. Mayoritas ulama menetapkan lima kriterianya. Kelima kriteria tersebut adalah; sanad bersambung, Periwayatnya a>dil, Periwayatnya d}a>bit}, tidak sya>z, dan tidak ada ‘illat. Berdasrkan kriteria ini, maka dalam melakukan kritik sanad, dua aspek utama yang menjadi fokus kritikan, yaitu periwayat dan jalur periwayatannya.

a). Analisis Jalur Periwayatan atau Jalur Sanad
Berdasarkan skema yang telah disebutkan sebelumnya maka dapat digambarkan sebagaimana berikut;
1) Penulis menetapkan jalur al-Nasa>i sebagai jalur utama yang diteliti, sebab Lais\ lebih kuat mu’a>s}arahnya dengan gurunya Ibnu ‘Ajlan dibandingkan dengan Yahya yang merupakan jalur riwayat Ahmad. Dengan ini, maka ketiga jalur Ahmad bin Hanbal berposisi sebagai ta>bi’ jalur al-Nasa>i.
2) Dari aspek sandarannya merupakan hadis marf’u> karena bersumber dari Nabi saw. Dari Nabi saw, hadis diterima oleh sahabat Abu Hurairah seoramg diri, sehingga dapat ditetapkan sebagai common link jalur periwayatan. Darinya hadis terpancar kepada dua orang muridnya, Sa’id al-Maqburi> dan ‘Ajlan al-Qurasy>, kemudian periwayatan mengalir hingga kepada al-Nasai dengan satu jalur dan dengan Ahmad tiga jalur.
3) Keberadaan Abu Hurairah sebagai periwayat tunggal yang menerima hadis dari Nabi, maka dapat disimpulkan bahwa hadis ini jika ditinjau dari aspek ‘adad al-ruwa>t (kuantitas) dapat dikategorikan sebagai hadis gari>b mut}la>q.
4) Jika menggunakan standar minimal umur seluruh periwayat 60 tahun, maka antara guru dan murid adalah sezaman. Dengan demikian hadis al-Tirmi>zi memenuhi salah satu syarat bersambungnya sanad, yaitu antara guru dan murid sezaman.
5) Sigat al-tahammul wa al-adanya (lambang periwayatan) ada tiga yakni; akhbarana>, haddas\ana>, dan ‘an. akhbarana>, haddas\ana> merupakan lambang yang kuat karena merupakan pernyataan eksplisit (sigat jaz}m) yang menunjukkan metode sima>’i. Adapun sigat ‘an merupakan pernyataan ambigu, yang telah banyak dipersoalkan ulama. Tetapi meski merupakan pernyataan ambigu yang sering dikritik ahli hadis karena mengandung makna konon, tetapi dengan melihat jalur sanad, lambang periwayatan ‘an dapat dikuatkan karena memenuhi syarat-syaratnya untuk diterima. Sebab itu, dianggap tidak ada masalah.
6) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jalur periwayatan al-Nasa>i merupakan jalur periwatan yang kuat dan memenuhi syarat ketersambungan sanad

b). Analisis Periwayat
analisis periwayat merupakan analisa-kritis pribadi periwayat. Ada dua syarat yang telah disepakati ulama dalam menentukan kualitas periwayat. Kedua syarat tersebut adalah adil dan d}a>bit} . Berdasarkan pemaparan tarjamah periwayat sebelumnya tergambar bahwa seluruh periwayat yang terlibat dalam jalur sanad adalah periwayat yang mayoritas ulama menetapkannya sebagai periwayat yang memenuhi dua syarat kes\iqatan periwayat, yaitu adil dan d}abit}. Dengan demikian jalur periwayatan atau jalur sanad hadis al-Tirmi>zi dari sisi kualitas periwayatnya memenuhi syarat kesahihan sanad.

c). Status Sanad
Dari analisi-kritis sanad yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
- Dari sisi kuantitas, sanad hadis termasuk hadis gari>b mutlak karena pada jalur periwayatan, periwayat pertama dalam hal ini Abu Hurairah menerima hadis secara tunggal dari Nabi dan ia menjadi common link jalur periwayatan
- Dari sisi kualitasnya dapat ditetapkan sebagai hadis s}ah}i>h} karena memenuhi kelima syarat kes}ah}i>h}an hadis.
- Dengan demikian status sanad hadis tentang wanita yang paling baik riwayat al-Nasai dapat ditetapkan sebagai hadis s}ah}i>h}-gari>b.


B. Tinjauan Terhadap Status dan Kualitas Matan
Kembali kepada keseluruhan hadis yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dikelompokkan sebagaimana berikut;
Abu Hurairah dari Nabi
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Diriwayatkan al-Bukha>ri>, Muslim, Ahmad Diriwayatkan al-Nasa>i, dan Ahmad

Dari keterangan ini, dapat dipahami bahwa hadis yang berbicara tentang wanita yang paling baik, seluruhnya terpancar dari Abu Hurairah. Sedangkan matannya mengandung dua makna; pertama bahwa wanita yang paling baik adalah yang taat suami, menyenangkan jika dipandang dan menjaga kehormatan dan harta suami. Sedangkan yang kedua adalah yang dapat menunggangi onta, sangat penyayang terhadap anak kecilnya, dan menjaga harta suaminya.
Jika ditelaah ma’nanya secara tekstual dan kontekstual, maka hadis kelompok pertama yang diriwayatkan al-Bukha>ri>, Muslim dan Ahmad ajarannya bersifat lokal karena disebutkan secara khusus ciri dan sifat wanita Quraisy. Sehingga tidak berlaku kepada seluruh wanita muslimah. Kelompok kedua riwayat al-Nasa>i dan Ahmad mengandung ajaran yang bersifat universal, bahwa tiga ciri wanita dan istri yang baik taat suami, menyenangkan jika dipandang, menjaga kehormatan diri dan harta suami.
Hal ini berarti, hadis kelompok pertama tidak dapat disatukan dan digabungkan maknanya dengan hadis kelompok kedua. Sebab itu dalam kajian dan kritik matan, hanya difokuskan pada hadis kelompok kedua riwayat al-Nasa>i dan Ahmad saja. adapun hadis kelompok pertama hanya dijadikan dalil pendudung yang memungkinkan dilakukan.
Tinjauan dan kritik matan merupakan lanjutan dari kegiatan kritik sanad yang telah dilakukan sebelumnya. Meskipun kegiatan kritik sanad telah menetapkan hasil bahwa hadis riwayat al-Nasa>i tentang wanita yang paling baik merupakan hadis s}ah}i>h}, namun bukan berarti telah menduduki posisi yang s}ah}i>h} secara mutlak sebelum meneliti matannya. Kritik matan dilakukan bertujuan untuk memastikan kebenaran suatu hadis yang telah dinyatakan kebenaran sanadnya. Sebab sebuah hadis dapat dipastikan kes}ah}i>hannya apabila telah teruji sanad dan matannya secara bersamaan.
Menurut Syuhudi Ismail, ada tiga alasan mengapa penelitian matan hadis sangat diperlukan; pertama, karena keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanadnya. Kedua, karena dalam matan dikenal periwayatan secara makna, dan ketiga, kajian pada kandungan matan hadis, seringkali harus menggunakan pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam .
Menurut al-Suyut}i, ada dua unsur yang harus terpenuhi dalam matan hadis hingga dapat ditetapkan sebagai matan yang berkualitas s}ah}i>h}. Kedua unsur tersebut adalah terhindar dari sya>z\ dan terhindar dari ‘illat. Meskipun tidak dibatasi kepada kedua unsur tersebut, tetapi memungkinkan adanya unsur lain, hanya saja hal itu perlu penelitian yang mendalam.
Selanjutnya Syuhudi menawarkan beberapa langkah-langkah metodologis dalam kritik matan; 1) meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya, 2) meneliti susunan lafaz} berbagai matan yang semakna, dan 3) meneliti kandungan matan. Dari tawaran Syuhudi Ismail, sebetulnya hanya dua aspek menjadi kajian utama matan, yaitu point dua dan tiga. Adapaun point pertama dengan kembali melihat kualitas sanad merupakan penguat dan pembanding dalam penelitian matan, namun tetap tidak bisa ditinggalkan karena matan dan sanad tidak bisa dipisahkan.
Tolok ukur suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul disebutkan oleh beberapa ulama. al-Khatib al-Bagdadi menyebutkan beberapa aspek; 1) tidak bertentangan dengan akal sehat, 2) tidak bertentangan dengan hukum al-Quran yang muh}ka>m, 3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir, 4). tidak bertentangan dengan amalan salafuss}a>lih>, 5) tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti, 6) tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasnya lebih kuat .
Abu Bakar bin Furak menyebutkan beberapa aspek; 1) makna yang terkandung dalam nash tidak lemah atau rusak, 2) tidak bertentangan dengan al-Quran, 3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir, 4) tidak bertentangan dengan ijm’a> qat}’i, 5) tidak bertentangan realitas sejarah yang telah pasti kebenarannya, 6) hadisnya tidak berasal dari periwayat yang ta’ssub (fanatik) mazhab, 7) kandungannya tidak berlebihan dalam pahala terhadap amalan yang kecil atau azab yang pedih dari dosa yang jelek .
Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi menyebutkan empat aspek; 1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran, 2) tidak bertentangan dengan hadis dan sirah nabawiyah yang s}ah}i>h}, 3) tidak bertentangan dengan akal, indra dan sejarah, 4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Pendapat ulama tentang unsur-unsur, langkah dan tolok ukur penelitian matan di atas diklasifikasikan dengan lebih detail oleh Arifuddin Ahmad dengan menggunakan kaidah mayor dan minor yang diperkenalkan Syuhudi Ismail. Kaidah minor matan hadis yang terhindar dari syuz\u>z\ adalah; 1) sanad hadis yang bersangkutan tidak menyendiri (gari>b), 2) tidak menyalahi hadis yang lebih kuat, 3) tidak bertentangan dengan al-Quran, 4) tidak bertentangan dengan akal dan fakta sejarah. Sedangkan kaidah minor dari matan hadis yang terhindar dari ‘illat adalah; 1) tidak mengandung idra>j (sisipan) 2) tidak mengandung ziya>dah (tambahan) 3) tidak terjadi maqlu>b (kalimat terbalik) 4) tidak terjadi id{t}ira>b (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan) 5) tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis bersangkutan.
Dari pendapat ulama di atas yang penulis mencoba merumuskan kaidah kes}ah}ih}an matan hadis sebagaimana dalam tabel berikut;









Kaidah Kes}ah}i>h}an Matan Hadis
Obyek Kajian Unsur-unsur Kes{ah{i>h{an Tolok Ukur Kes{ah{i>h{an Matan


Redaksi

Tidk ada’Illat • Tidak ada ziya>dah
• Tidak ada Idra>j
• Tidak ada Iqla>b
• Tidak terjadi id{t}ira>b
• Tidak terjadi kerancuan lafaz\



Kandungan


Terhindar dari sya>z\ • Tidak bertentangan dengan al-Quran
• Tidak bertentangan dengan hadis lain dan sirah nabawiyah yang lebih kuat
• Tidak bertentangan dengan akal sehat, realitas sejarah dan sains yang terbukti kebenarannya
• Tidak menyalahi tujuan pokok ajaran Islam (maqa>s}id al-syar’iyah)

Dalam implementasinya, obyek kajian matan dan unsur-unsur kes}ah}i>h}annya mutlak terpenuhi dalam setiap melakukan kritik matan. Sedangkan tolok ukurnya bersifat kondisional, dalam artian tidak semua matan hadis mutlak diterapkan seluruh tolok ukur yang ada, tetapi mengikuti kategori hadisnya. Misalnya matan hadis yang berbicara tentang perkara ilahiya>t, ruh}a>niya>t dan sam’iya>t tidak mungkin diuji dengan tolok ukur “tidak bertentangan dengan fakta sejarah dan sains.”
Adapun hadis yang sedang dikaji, kaidah yang disebutkan sebelumnya dapat diterapkan semuanya karena hadisnya berbicara tentang fadail (keutamaan) wanita yang aspek keagamaannya\ merupakan aspek muamalah bukan akidah atau ibadah wajib. Untuk menguji kes}ah}i>h}annya, maka akan ditilik kedua obyek kajian matan yaitu; susunan redaksi dan kandungannya.

1. Menguji Kes}ah}i>h}an Redaksi Matan Hadis
Ada dua bentuk periwayatan hadis yakni; periwayatan secara lafaz} dan periwayatan secara makna. Jika kita bertolak pada proses penerimaan dan pemberitaan hadis yang dilakukan oleh periwayat dari sumbernya yang pertama (sahabat dari Nabi), maka hampir dipastikan bahwa pada galibnya hadis diriwayatkan secara makna, dalam artian hanya sedikit hadis yang diriwayatkan langsung dari Nabi sesuai dengan lafaz} aslinya. Meskipun bukan berarti hal itu tidak ada sama sekali.
Hal itu karena; 1) pemberitaan hadis oleh sahabat dari Nabi kepada murid-muridnya yang dilakukan pada saat itu adalah pemberitaan yang bersifat esensial dan subtantif dan belum mempertimbangkan aspek ahammiyahnya (urgensitas) kesamaan lafaz} yang diucapan Nabi 2) Nabi dalam menyampaikan sabdanya berusaha menyesuaikan dengan bahasa (dialek), kemampuan intelektual, dan latar belakang audience-nya, sehingga bisa jadi sahabat yang ikut mendengar dan memahami sabda Nabi tersebut, membahasakannya dengan bahasa (dialek) yang berbeda ketika ia menyampaikan kepada audience yang berbeda pula, 3) hadis-hadis fi’liyah yang disampaikan sahabat merupakan bahasa mereka sendiri, sehingga satu hadis (perbuatan Nabi) dibahasakan secara beragam oleh sahabat.
Untuk menentukan apakah hadis riwayat al-Nasa>i merupakan riwayat dengan makna atau riwayat dengan lafaz} perlu dikomparasikan dengan riwayat Ahmad bin Hanbal. Untuk menajamkan kritik, akan ditampilkan ulang seluruh teks hadis.
Riwayat al-Nasa’i • عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Riwayat Ahmad 1. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّذِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
2. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ
3. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ

Baik riwayat al-Nasai maupun Ahmad bin Hanbal semuanya menggunakan sigat tamrid} قِيلَ dan سُئِلَ. Al-Nasa’i menggunakan isim mausu>l li al- muannas} الَّتِي, Ahmad menggunakan isim maus}u{l li al-muannas| الَّتِي dan muzakkar الَّذِي. Pada riwayat Ahmad yang kedua terdapat z}iya>dah (tambahan) harf al-nafy> ( ( لا . Pada susunan redaksinya terdapat tata susunan yang terbalik (taqli>b) di mana pada akhir matan al-Nasa’i berbunyi وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ. Sedangkan ketiga riwayat Ahmad berbunyi تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ وَلَا.
Dari redaksi matan yang ada tampak adanya perbedaan dalam pemakaian lafaz} karena adanya z}iya>dah dan taqli>b. Tetapi perbedaan tersebut tidak terlalu menyolok dalam redaksi. Sebab itu walaupun tampak ada perbedaan susunan redaksi tetapi perbedaan tersebut tidak berpotensi menimbulkan kecacatan karena ziya>dah> dan taqli>b bukanlah kecacatan yang dapat merubah makna atau menimbulkan interpretasi berbeda. Perbedaan susunan redaksi tersebut tidak lain karena riwa>yat bi al-makna.
Tidak bisa dipungkiri bahwa riwayat bi al-makna merupakan pintu masuknya perbedaan susunan redaksi hadis yang pada dasar tidak merusak substansi kandungan hadis. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kasus tertentu perbedaan susunan redaksi karena riwayat bi al-makna dapat menimbulkan kecacatan karena merusak substansi hadis. Seperti hadis yang diriwayatkan al-Bukha>ri berbeda dengan susunan redaksinya dengan yang diriwayatkan Muslim, yang menurut hemat penulis riwayat Muslim mengalami taqli>b yang merusak substansi hadis.

Riwayat Muslim bin al-Hajjaj Riwayat al-Bukha>ri
• وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ يَمِينُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ • ورجل تصدق اخفى حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa redaksi hadis tentang wanita yang paling baik yang diriwayatkan al-Nasai adalah riwa>yat bi al-makna yang tidak mengalami kecacatan.

2. Menguji Kes}ah}i>h{an Kandungan Hadis
Setelah melakukan pengujian kes}ah}i>h}an redaksi hadis, dilanjutkan dengan menguji kes}ah}i>h}an kadungannya. Ketika menguji kandungan matan, menurut Syuhudi Ismail perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil lain yang mempunyai topik sama. Apabila ada matan lain yang bertopik sama dan sanadnya juga memenuhi syarat, maka dilakukan kegiatan muqa>ranah (membandingkan) kandungan matan tersebut Kegiatan muqa>ranah dilakukan untuk melihat apakah ada titik temu, ta’a>rud (pertentangan), pelemahan, dan atau penguatan. Penguatan tersebut bisa berupa penegasan, penjelasan, penafsiran, atau pengkhususan.

Untuk menguji kes}ah}i>h}an kandungan hadis dalam kegiatan muqa>ranah (membandingkan) dengan topik dan dalil lain, ditetapkan empat aspek yang dijadikan tolok ukurnya. Keempat aspek tersebut adalah;
• Tidak bertentangan dengan al-Quran
• Tidak bertentangan dengan hadis lain dan sirah nabawiyah yang lebih kuat
• Tidak bertentangan dengan akal sehat, realitas sejarah dan sains yang terbukti kebenarannya
• Tidak menyalahi tujuan pokok ajaran Islam (maqa>s}id al-syar’iyah)
Aspek pertama; Tidak Bertentangan dengan al-Quran
Makna yang terkandung pada matan hadis ini jika dibandingkan dengan ayat al-Quran tidak ditemukan adanya pertentangan, bahkan sebaliknya, ada beberapa ayat dan hadis yang menguatkan substansi pesan Nabi yang termaktub pada hadis tersebut.
1) Bahwa suami adalah pemimpin, pemimpin bagi istrinya, maka istri wajib mentaati pemimpinnya.
Allah berfirman dalam Q. S. Al-Nisa/4 : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan pemimpin kalian.
Q.S>. al-Nisa/4 : 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ...
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka .
Sedangkan dalam hadis, Rasulullah saw bersabda ;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا : حديث رواه الترميذي و ابن ماجه و أحمد بألفاظ مختلفة
Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda : sekiranya Aku dapat perintahkan untuk menyembah seseorang, niscaya aku telah perintahkan kepada perempuan (istri) untuk sujud kepada suaminya.
2) Bahwa istri perlu menjaga kehormatan dirinya dan menjaga harta suaminya Menjaga kehormatan berarti menunaikan amanat. Bicara tentang amanat, Allah swt memerintahkan untuk menunaikan amanat dengan baik
Allah berfirman dalam Q.S. al-Nisa/4 : 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْل
Artinya : Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanat kepada ahlinya, dan jika melaksanakan hukum di antara manusia maka tunaikanlah dengan adil.
Bahkan secara khusus Allah menyebut istri-istri yang salihah adalah mereka yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan rahasia rumah tangganya saat suaminya tidak bersamanya dan menjaga harta suaminya. Ini juga sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Nisa/4 : 34
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : ...Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

3) Perlunya istri mempercantik diri yang diperuntukkan hanya untuk suaminya dan bukan untuk dipertontotnkan kepada orang lain. sebagaimana firman Allah Q.S. al-Ahzab/33 : 33.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu...

Aspek Kedua; Tidak Bertentangan Hadis dan Sirah Nabawiyah yang lebih Kuat
Hadis ini diletakkan al-Nasai pada kitab nikah, bab ke-14 ayyu al-nisa> khair, terletak setelah bab ke-12 tajwi>j al-za>niyah> (larangan menikahi pezina) dan bab ke-13 kara>hiyat tazwi>j al-zuna>t (makruh menikah karena alasan keindahan) dan sebelum bab ke15 al-mar’ah> al-s}a>lih>ah (wanita salih). Maka dapat dipahami bahwa al-nisa (perempuan) yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah perempuan yang sudah dinikahi atau istri.
Bahwa Islam memakruhkan menikahi seorang wanita karena alasan harta, keturunan, dan kecantikan, dan mendorong untuk menikahi wanita karena alasan agama sebagaimana dalam hadis
عن أبي هريره رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك

Artinya : dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw bersabda : Wanita dinikahi karena empat hal karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung
Kandungan hadis ini juga diperkuat oleh banyak riwayat lain di antaranya
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: Sebaik-baik wanita adalah wanita yang paling baik mengendarai unta, di antaranya sebaik wanita adalah wanita Quraisy paling penyayang kepada anaknya dan paling memelihara hak suaminya yaitu terhadap harta yang dimilikinya.

Aspek Ketiga; Tidak bertentangan dengan akal sehat, realitas sejarah dan sains yang terbukti kebenarannya
Ditinjau dari aspek ini, maka kandungan hadis ini juga tidak bertentangan. Karena jika suatu perkara telah dibenarkan al-Quran dan hadis maka tidak akn mungkin bertentangan dengan logika manusia, kecuali karena logika tersebut menyimpang dari kebenaran. Seorang istri yang taat kepada suami sebagai pemimpinnya adalah hal yang sangat logis demi menciptkan kehidupan yang harmonis rukun dan bahagia.
Demikian pula dalam realitas sejarahnya. Bahwa betapa banyak laki-laki yang sukses dalam berbagai pekerjaannya karena pengaruh istrinya. Kesuksesan Nabi dalam mengemban da’wah pada awal kerasulannya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan istrinya Khadijah yang setia dan taat kepadanya, bahkan berkorban demi suami dan perjuangan Islam.

Aspek Keempat: Tidak menyalahi tujuan pokok ajaran Islam (maqa>s}id al-syar’iyah)
Istri yang taat, menyenangkan jika dipandang suaminya, dan menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya termaktub nilai-nilai tanggung jawab mewujudkan maksud-maksud disyariatkannya hukum Islam. setidaknya tiga dari lima maksud syariat Islam bisa terjaga dengan kemampuan istri dalam mengamalkan hadis ini. Ia telah menjaga stabilitas iman dan kehidupan beragamanya, menjaga keturunan dari perbuatan nista, dan menjaga harta dari segala pendistribusian yang tidak benar Dari empat aspek tolok ukur yang dipergunakan untuk menguji kandungan hadis dan meneliti apakah ada sya>z} atau tidak, terkuak bahwa kandungan hadis tergolong baik dan tidak mengandung sya>z}. Dengan demikian kandungannya s}ah}i>h}.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Hadis tentang siapakah wanita yang terbaik diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi saw secara tunggal, sehingga ia menjadi common link terpancarnya hadis kepada periwayat di bawahnya. Karena periwayat pada t}abaqah sahabat hanya tunggal, maka status hadisnya dipastikan sebagai hadis garib mutlak. Dengan menetapkan al-Nasa>i sebagai jalur utama, maka riwayat Ahmad bin Hanbal berposisi sebagai ta>bi’ jalur al-Nasa>i.
Kualitas sanadnya baik dan memenuhi syarat kes}ah}i>h}an sanad. Sanadnya bersambung dari awal sampai akhir tanpa ada terputus. s{igat tahammul wal ‘adanya sima>’i> dan mu’ananah> yang kuat. Semua rija>lnya adalah s}iqat dan sezaman antara guru dengan murid, bahkan pada beberapa t}abaqat dapat dipastikan terjadi liqa. Maka dapat ditetapkan sebagai hadis gari>b s}ah}i>h}.
Pada aspek redaksi hadis tanpak adanya ziya>dah dan taqli>b tetapi tidak merubah substansi makna hadis sehingga tidak dianggap ‘illat. Adanya sedikit perbedaan redaksi tersebut karena diriwayatkan dengan makna. Adapun kandungannya tidak ditemukan adanya sya>z} (pertentangan) dari empat tolok ukur yang ditetapkan. Sebab itu, kualitas matan hadis ini dianggap kuat karena memenuhi syarat kes}ah}i>h}an matan yaitu terhindar dari ‘illat dan sya>z}.

2. Implikasi
Perlunya pengkajian lebih mendalam terhadap hadis – hadis yang berbicara tentang kedudukan wanita dalam perspektif hadis nabawi dengan pendekatan historis dan sosiologis sehingga dapat disingkronkan antara esensi pesan Nabi yang termaktub dalam teks-teks hadis dengan konteks peradaban umat berdasarkan perkembangan zamannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta: MSCC, 2003

Al-Askala>ni, Ahmad bin Ali bin Hajar. Taqri>b al-Tahzi>b. tk, Dar al-‘A>s}imah, t.th.

Al-Adla>bi, Shalahuddin bin Ahmad. Manhaj Naqd al-Matan ‘Ind ‘Ulama> al-Hadist al-Nabawi terj. Drs. HM Qodirun Nur Metodologi Kritik Matan Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004

Al-Bandari>, Abdul Gaffar Sulaiman, dan Sayyid Kusrawi> Hasan. Mausu>’ah Rija>l al-Kutub al-Tis’ah> J. III. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.

al-Basati, Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad al-Tami>mi>. Kita>b al-S{iqa>t. India: Matba’ah Majlis Dairah al-Ma’arif, 1973

Al-Ba>qi, Muhammad Fuad Abdu. Mifta>h Kunu>z al-Sunnah. Lahor: Suhail Akademi, 1971

Al-Bukha>ri>, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. al-Ja>m’i al-S{ah}i>h} al-Musnad min H{adi>s\ Rasulillah saw wa sunanih wa ayya>mih J. II. Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1403 H

Al-Ha>di>, Abu Muhammad Abdul Muhdi bin Abdul Qadir bin Abd al-Hadi. T{uruq Takhri>j H{adi>s\ Rasu>lillah saw . Kairo: Dar al-‘Itis}a>m, t.th

Al-Mi>zi>, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf. Tahzib al-Kama>l fi> Asma>i al-Rija>l J. XXIV. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992.

Al-Naisabu>ri>, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyai>ri>. S{ah}i>h} Muslim J. VII. tk: tp, t.th

Al-Nasa>i, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali. Sunan al-Nasai>. Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.th.

Al-Sayyid, Muhammad Mubarak. Mana>hij al-Muhaddis|i>n. Kairo: t.p, 1998

Al-T{ah}h}a>n, Mahmud. Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sat al-Isla>miyah>. Riyad: Dar al-Ma’arif, 1991

_________. Taisi>r Mus}t}alah} al-h}adi>s\. Iskandariah: Markaz al-hady li al-dirasat, 1315 H.

Bastoni,Hepi Andi.101 Sahabat Nabi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002.

Ismail, Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

_________. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1988

Misteri Guru Komputer Dagestan.” (Liputan), Republika, Selasa 6 April 2010

Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal, J. II. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Zaglul, Abu Hajir Muhammad al-Sa’id bin Basyuni. Mausu’ah At}ra>f al-H{adi>s\ al-Nabawi> al-Syari>f J.IV. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Wensinck, A. J. al-Mu’jam al-Mufahraz li Alfa>z al-H}adi>s| al-Nabawi> J.1. Leiden : E.J. Brill, 1936.