I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Madinah adalah salah satu pusat peradaban Islam. Pusat perjuangan da’wah dan pembangunan ilmu pengetahuan, sekaligus pusat lahirnya banyak ulama. Warisan ulama Madinah tak pernah putus sejak dari masa awal Islam hingga sekarang ini. Ulama selalu hadir dari generasi ke generasi melanjutkan tongkat estafeta keulamaan, bagai mata rantai yang sambung-menyambung.
Ketika Rasulullah saw selesai menunaikan tugas kerasulannya dimana tidak ada lagi Rasul setelahnya, ulamalah yang hadir di garda terdepan sebagai pewarisnya. Para sahabat yang merupakan kader-kader binaannya, tampil sebagai pelanjut dan pewaris pertama tugas kerasulan. Ada yang tetap bermukim di kota Madinah dan ada yang keluar kota Madinah tersebar ke berbagai negeri.
Di antara ulama kalangan sahabat yang bermukim di Madinah adalah Khalifah empat , Abu Hurairah, Aisyah, Abdullah bin Umar, Abi Said al-Khudri, dan Zaid bin Sabit. Kaderisasi ulama Madinah diteruskan oleh ta>bi’in sebagai generasi penerus sahabat. Di antara mereka ada Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Z|ubair, dan Ibnu Syiha>b al-Z|uhri>. Dari ta>bi’i>n dilanjutkan oleh generasi atibba’ al-ta>bi’i>n. Salah seorang ulama dari generasi ini adalah Malik bin Anas . Pasca atibba’ al-ta>bi’i>n hingga, regenerasi ulama terus berlanjut hingga era sekarang. Dari masa ini hadir ulama yang terkenal antara lain Ibnu Taimiyah, Abdullah bin Ba>z\, dan Hus\aimin
Imam Malik bin Anas merupakan representase dari ulama Madinah. Ia digelari Imam Da>r al-hijrah. Ia senantiasa hidup melintasi zaman dimana ia berada karna keilmuannya dengan pemahaman hadis dan fiqhnya yang dalam diiringi kualitas kepribadiannya yang terpercaya (s\iqat). Dengan ilmunya, ia mendedikasikan dirinya sebagai salah seorang dari empat atau lima Imam mazhab fiqh Islam. Dengan tangannya, ia mencatat hadis secara resmi dalam kitabnya yang terkenal dengan nama al-Muwat}t}a. Kitab al-Muwat}t}a> merupakan mahakarya kitab fiqh yang disusunnya berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan dari Nabi dan sahabat Nabi.
Imam Malik menelorkan pemahaman tentang sunnah yang berbeda dengan pandangan ulama lain dalam sejumlah masalah penting. Menghadirkan suatu kompilasi hukum yang tidak hanya bersandar kepada sumber yang disepakati secara mayoritas, tetapi juga memuat ekspresi perbuatan (‘amal) penduduk Madinah yang merupakan resapan (distilasi) atau pengejawantahan sunnah Rasulullah. Bahkan Ibnu Mahdi mengungkapkan bahwa sunnah yang berjalan pada orang- orang Madinah adalah lebih baik dari hadis .
Sebab itulah hal keulamaan Imam Malik tidak hanya identik dengan kitab Muwat}t}a-nya, tetapi juga amal penduduk Madinah yang dikembangkannya. Amal penduduk Madinah ini dipahami, diberpegangi dan dikembangkan oleh ulama Madinah. secara eksklusif amal penduduk Madinah ini menjadi sunnah yang memiliki otoritas dalam pengambilan putusan-putusan hukum di masa itu.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan pokok yang akan dikaji adalah; bagaimana eksklusifisme sunnah ulama Madinah dalam perspektif studi hadis sebagai suatu rekonstruksi metodologi. Untuk memudahkan pengkajian, rumusan masalah disederhanakan ke dalam tiga sub-rumusan yaitu;
1. Apa konsep sunnah ulama Madinah
2. Bagaimana sunnah ulama Madinah dalam perspektif hadis.
3. Bagaimana rekonstruksi metodologisnya dalam konteks kekinian
II>. PEMBAHASAN
A. Konsep Sunnah Ulama Madinah
Berbicara tentang eksklusifisme sunnah ulama Madinah, maka kita akan terfokus kepada amal penduduk (ahl) Madinah yang ditelorkan Imam Malik. Tetapi apakah yang menjadi penyebab eksklusifnya? Dan apakah eksklusifisme tersebut positif sehingga dapat dikonstruks dalam konteks kekinian atau tidak? Inilah yang akan ditelusuri untuk menemukan jawabannya dalam makalah ini. Namun sebelum lebih jauh membahas konsep sunnah ulama Madinah amat indah rasanya kalau terlebih dahulu mengetengahkan sekilas tentang Madinah.
1. Sekilas tentang Madinah
Madinah adalah kota mulia. Kemuliaannya karena beberapa aspek; Madinah adalah Da>r al-Hijrah> Rasulullah saw dan sahabatnya, ia adalah markaz da’wah Rasulullah sekaligus tempatnya wafat dan dimakamkan, tempat turunnya syariat Islam. titik tolak (nuqt}ah> int}ila>q) perjuangan dan penyebaran Islam, pusat pemerintahan Islam hingga masa Usman bin Affan, dan Madinah adalah kota mulia karena didiami oleh orang-orang mulia dan dimuliakan Allah swt.
Bukti kemuliaan kota Madinah termaktub bukan hanya dalam kitab sirah, tetapi dalam hadis-hadis Rasulullah saw.
اللَّهُمَّ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلَكَ وَعَبْدَكَ وَنَبِيَّكَ دَعَاكَ لِأَهْلِ مَكَّةَ وَأَنَا مُحَمَّدٌ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ وَرَسُولُكَ أَدْعُوكَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ مِثْلَ مَا دَعَاكَ بِهِ إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ نَدْعُوكَ أَنْ تُبَارِكَ لَهُمْ فِي صَاعِهِمْ وَمُدِّهِمْ وَثِمَارِهِمْ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim kekasih, hamba, dan Nabi-Mu, ia telah berdoa kepada-Mu untuk penduduk Mekkah, dan aku Muhammad hamba, Nabi, dan Rasul-Mu berdoa kepada-Mu bagi penduduk Madinah sebagaimana doa Ibrahim bagi penduduk Mekkah, kami memohon kepada-Mu kiranya Engkau memberkahi perdagangan dan pertanian mereka. Ya Allah jadikanlah cinta kami kepada Madinah sebagaimana Engkau menjadikan cinta kami kepada Mekkah
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَدِينَةُ حَرَمٌ مِنْ كَذَا إِلَى كَذَا لَا يُقْطَعُ شَجَرُهَا وَلَا يُحْدَثُ فِيهَا حَدَثٌ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya : Dari Anas ra, dari Nabi saw bersabada: Madinah adalah (tanah) haram dari begini hingga begini, tidak boleh ditebang pohonannya , tidak ditimpa kerusakan di dalamnya. Barangsiapa melakukan kerusakan, maka akan dilaknat oleh Allah, Malaikat dan seluruh manusia
Kemuliaan Madinah bahkan diabadikan dalam al-Qur’an, berkat kemuliaan penduduknya kaum Ansar sebagai masyarakat yang memiliki i£a>r (memprioritaskan orang lain dari dirinya) tinggi. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-Hasyr/59 : 9
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9)
Artinya : Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Ansar) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Ansar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung
2. Antara Sunnah dan Hadis
Umumnya ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan dan perbuatan dan taqri>r (persetujuan), sifat, perilaku hidup, dan sirahnya baik sebelum diutus menjadi Nabi ataupun sesudahnya, di mana informasi yang disandarkan kepada sebelum diutusnya menjadi Nabi adalah hal yang berkaitan dengan kenabian. Muhammad ‘Alwan sebagaimana ia kutip dari kitab al-Risa>lah al-Mustat}rafah li al-Kat}t}a>ni> mendefenisikan sunnah dengan sangat luas hingga termasuk aktifitas gerak Nabi ataupun tidak beraktifitasnya, baik di waktu terjaga maupun pada saat tidur, sebelum dan sesudah dilantik menjadi Nabi, baik berkaitan dengan hukum syari’ ataupun tidak.
Selain pandangan di atas, ada pandangan lain yang membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah apa yang dinukil dari Rasulullah saw. Sedangkan sunnah dipahami sebagai al-‘amal al-muttab’a (aktifitas yang dilakukan dengan mengikuti apa yang dicontohkan) dari sumbernya yang pertama. Dalam makna ini, Yusuf Qardawi mendiskripsikan sunnah sebagai al-manhaj al-tafs}i>li> (jalan hidup dari Nabi yang telah rinci) yang diperuntukkan kepada kehidupan orang Islam, baik perorangan ataupun kelompok. Sedangkan Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan sunnah sebagai amalan yang telah dilaksanakan oleh Nabi saw secara terus menerus dan dinukilkan kepada kita dari zaman ke zaman dengan jalan mutawatir. Artinya Nabi melaksanakan amalan itu beserta sahabat, sahabat melaksanakan bersama tabi’in dan demikian dari generasi ke generasi sampai pada masa kita sekarang. Demikian penjelasan Syuhudi Ismail.
Sunnah hadis yang dideskripsikan ulama di atas dapat dibagi ke dalam tiga kelompok;
1. Kelompok yang mengidentikkan sunnah dengan hadis, dan secara eksklusif membatasi pada wilayah otoritas tunggal Nabi saw.
2. Kelompok yang mengidentikkan sunnah dengan hadis, dan tidak menetapkan sunnah hanya kepada otoritas tunggal Nabi, namun memasukkan sahabat dan tabi’in sebagai bagian sunnah.
3. Kelompok yang membedakan sunnah dengan hadis. Sunnah dimaknai sebagai amal realisasi perintah, sedangkan hadis adalah catatan transmitifnya.
Perbedaan ulama dalam mendefinisikan sunnah berpengaruh pula kepada pandangan ulama dalam memahami sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Tidak ada perbedaan ulama bahwa sunnah adalah sumber hukum kedua setelah al-Quran, tetapi mereka berbeda pada persoalan apakah sunnah yang termaktub dalam term-term hadis keseluruhannya merupakan syariat atau ibadah yang wajib diiikuti atau tidak?. Apakah sunnah tersebut semua ajarannnya bersifat universal atau ada yang bersifat lokal dan temporal?
Yusuf Qardawi mengategorikan sunnah berdasarkan pendapat Ahmad al-Dahlawi kedalam dua kategori; al-sunnah al-tasyri>’iyah dan sunnah gair al-tasyri>’iyah. Sunnah tasyri’iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah kenabian sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk menerimanya. Sedangkan sunnah gair al-tasyri>’iyah adalah informasi yang datang dari Nabi yang tidak berkaitan dengan kerasulannya sehingga tidak ada tendensi keharusan untuk mengikutinya.
Akan tetapi usaha Yusuf Qardawi dan yang sejalan dengannya dalam mengklasifikasi sunnah mendapat penentangan dari ulama-ulama hadis kontemporer lainnya. Diantara mereka, Abdul Muhdi Abdul Hadi, guru besar hadis Universitas al-Azhar Kairo. Abdul Muhdi berkata sungguh keliru orang yang membagi sunnah menjadi tasyri>’iyah dan gair tasyri>’iyah. Karena segala yang diriwayatkan adalah sunnah yang mengandung hukum syar’i. Hanya saja hukum syar’i tersebut meliputi tiga aspek; muba>h, istih}ba>b atau wajib. Sebab itu sunnah tidak boleh dibagi ke dalam sunnah ibadah dan sunnah kebiasaan (al-‘a>dad)
Mencermati perbedaan pandangan ulama di atas disebabkan karena perbedaan dalam memahami fungsi sunnah sebagai referensi kedua setelah al-Quran. Disamping itu karena perbedaan pada cara peninjauannya. Kelompok yang mengklasifikasi sunnah tasyri’iah dan sunnah gair tasyri’iyah, karena melihat ada hal-hal yang berkaitan dengan diri Nabi saw tetapi merupakan kekhususan dirinya sebagai manusia biasa sehingga tidak menjadi kemutlakan untuk diikuti oleh umatnya. Yusuf Qardawi mencontohkan sunnah dalam kategori ini, dari perbuatan Nabi saw yang dilakukan sebagai suatu kebiasaan saja selaku manusia biasa. Bahkan dalam kondisi yang lain, hadis menurut Yusuf Qardawi “tidak dimaksudkan sebagai ketetapan syari’at secara umum, tetapi dilakukan oleh beliau dalam posisinya sebagai pemimpin negara atau qadhi, bukan sebagai mufti dan penyampai pesan dari Allah...” .
Ini berarti bahwa, akan banyak term-term hadis hanyalah kumpulan teks yang memuat sunnah yang membawa informasi hal ihwal Nabi sebagai manusia biasa yang tidak memuat tuntutan hukum tasyri’. Bahkan bisa jadi hadis tersebut ada teksnya dengan kualitas s}ah}ih} tetapi ditinggalkan dan tidak diamalkan karena bukanlah sunnah tasyri>’iyah, atau pesan hukumnya bersifat terbatas dan temporal
Meskipun ulama berbeda pandangan dalam berbagai aspek, tetapi pada akhir dari perbedaan itu, mereka bersepakat menetapkan sunnah terpelihara dalam kumpulan-kumpulan teks hadis. Teks-teks hadis adalah pemilik otoritas tunggal yang berbicara tentang sunnah dalam artian, sunnah berasal dari sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti melalui mata rantai p;;pp
3. Hakekat Sunnah Ulama Madinah
Merupakan sisi lain kemuliaan kota Madinah adalah ketika, ia tidak pernah kosong dari ulama setiap zamannya. Mulai dari Abu Huraerah, Abdullah Ibnu umar, Anas bin Malik, hingga ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Abdul Wahab, Abdullah bin Baz, maupun yang lainnya. Pandangan dan pemahaman mereka terlahir dari konteks faktual penduduk lokal Madinah di zaman pandangan itu harus teraktualisasi menjadi kompilasi hukum yang diberpegangi. Sehingga tidak sedikit pandangan mereka bertentangan dengan pandangan ulama lain di luar Madinah. Bahkan perbedaan pandangan tersebut memuncak dengan adanya dikotomi antara aliran pemikiran Madinah dengan aliran pemikiran Bagdad, dan atau aliran pemikiran Kairo.
Membuka lembaran sejarah, dan kembali menelusuri lorong pemikiran ulama Madinah, Imam Malik bin Anas menjadi jembatan antara ulama terdahulu (tabi’in) dengan generasi setelahnya. Para ulama dan penduduk Madinah pun teguh memegang konsep sunnah yang ditelorkannya, dengan alasan (klasik) bahwa hal tersebut merupakan warisan turun temurun.
Sebagai Imam dan ulama darul hijrah, Imam Malik berpegang kepada sumber hukum al-Qur’an, sunnah, dan Qiyas sebagaimana mayoritas ulama lainnya. tetapi, sunnah menurut Malik tidak hanya bersumber dari catatan teks pada otoritas periwayatan (sanad) semata sebagaimana yang diberpegangi ulama secara mayoritas, tetapi juga memuat ekspresi amal (perbuatan) penduduk Madinah yang merupakan resapan (distilasi) atau pengejawantahan sunnah Rasulullah ????????? apa istimbath hukumnya Imam Malik?
Pada dasarnya, bukanlah Imam Malik yang pertama kali menjadikan amal penduduk Madinah sebagai sunnah. Tetapi telah diberpegangi oleh ulama pada masa Tabi’in senior (kiba>r al-Ta>bi’i>n) seperti Said bin al-Musayyab, Muhammad bin Abdurrahman Abul Aswad, Yahya bin Sa’id al-Ansari, Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Baqir, Sulaeman bin Yassar, Urwah bin Zubair, Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam, Ibnu Syihab al-Zuhri, Abu Zinad Abdullah bin Zakwan, Jafar al-Sadiq, Ibnu Hazim, Abdullah bin Umar bin Hafs bin Asim bin Umar bin al-Khattab dan yang lainnya. Adapun dinisbatkannya kepada Imam Malik karena tiga sebab; 1) karena, dia mendapat banyak tantangan dan kritikan dalam fatwa-fatwanya. 2) karena dia membukukan sebagian dari apa yang difatwakannya. 3) karena Imam Malik pulalah terkenal yang paling banyak mengambil amal penduduk Madinah.
Hal ini menunjukkan bahwa amal penduduk Madinah diterima Imam Malik dari ulama Madinah yang mendahuluinya, kemudian ia legal-formalkan dengan cara membukukannya. Pada masa Maliklah, amal penduduk Madinah terjaga bukan hanya dalam tradisi-praktek dan kesepakatan penduduk lokal Madinah, tetapi juga sudah terbukukan secara baik yang kelak menjadi referensi murid dan pengikut mazhabnya.
Murid Imam Malik berbeda pendapat tentang maksud dari amal penduduk Madinah. Sebagian berpendapat bahwa amal adalah ijma’ (konsensus), dan sebagian yang lain memahaminya sebagai al-naql al-mutawatir (periwayatan mutawatir). Tetapi kalau kita melihat penyataan Imam Malik bahwa, amal penduduk Madinah adalah hujjah, karena mereka adalah orang banyak, dan keputusan (ketetapan) diambil dari orang banyak, kemudian kesepakan mereka terhadap suatu perkataan atau perbuatan menunjukkan bahwa mereka menyandarkannya kepada (kebenaran) yang pasti mereka didengar, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari amal penduduk Madinah adalah ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah yang dihasilkan dari penukilan dari orang banyak ke orang banyak sehingga dapat dikategorikan sebagai riwayat mutawatir.
a. Dua aspek amal penduduk Madinah
Beberapa ulama seperti al-Qadi ‘Iyad, Ibnu Taimiyah (661 -728 H), Ibnu Qayyem al-Jauziyah (691- 775 H) membagi amal penduduk Madinah ke dalam dua kategori; pertama, al-‘amal al-naqli> (amal berdasarkan nash) dan al-h}ika>yat (pemberitaan). Kedua amal yang berdasarkan ijtihad dan istinba>t}.
• Al-‘Amal al-Naqli>
Yaitu amal berdasarkan nash yang dinukil oleh orang banyak dari orang banyak dari semenjak zaman Rasulullah. Amalan ini menurut al-Qadi ‘Iyad terbagi empat kategori; amal fi’li, yaitu yang dinukil dari perbuatan Nabi saw, amal qauli yang dinukil dari perkataan Nabi saw. Di antara contoh amal fi’li dan qauli adalah ukuran takaran s}a’ dan mu>d, dimana Nabi saw mengambil zakat mereka dengan takaran ini, cara panggilan dalam shalat dan iqamat, membaca al-fatihah tanpa basmalah. Amal taqri>ri, yakni amal yang dinukil dari ketetapan Nabi saw, seperti pertanggungjawaban terhadap kerusakan budak (‘uhdatur raqi>q). Amal tarki, yaitu sesuatu yang sengaja ditinggalkan oleh Nabi saw. seperti Nabi tidak mengambil zakat dari buah-buahan hijau dan sayuran, meskipun pada kenyataannya barang-barang tersebut dikenal Nabi dan penting dalam ekonomi lokal
Ibnu Taimiyah, membagi mara>tib (urutan) amal penduduk Madinah juga dalam empat kategori. Pertama, amal yang berasal dari Nabi saw. Kedua, al-amal al-qadi>m (amal terdahulu) penduduk Madinah sebelum kematian khalifah Usman bin Affan. Ketiga, jika terjadi pertentangan dua dalil dalam satu masalah, maka ia kuatkan amal penduduk Madinah. Keempat, al-‘amal al-mutaakhir (amal terkemudian) penduduk Madinah. Ibnu Qayyem al-Jauziyah menyamakan al-‘amal al-naqli> dari Nabi dengan al-‘amal al-qadi>m versi Ibnu Taimiyah sebagai hujjah yang sama dan disepakati.
Tampaknya ketiga ulama di atas sepakat terhadap aspek amal naqli yang sandarannya kepada Nabi saw. Amal atau praktek keagamaan yang dijalankan secara kolektif oleh penduduk Madinah melalui transmisi tradisi turun temurun orang banyak dari orang banyak hingga bersambung kepada Nabi saw. Tetapi ketiganya berbeda tentang pengklasifikasiannya. al-Qadi ‘Iya>d tidak mengklasifikasi amal penduduk Madinah dengan melihat urutannya sebagaimana yang dilakukan Ibnu Taimiyah. Sehingga ia tidak mengenal perbedaan antara al-‘amal al-qadi>m dengan al-‘amal al-mutaakhir. Semua amal penduduk Madinah yang tidak berasal dari Nabi diposisikan sebagai amal yang berdasarkan hasil ijtihad. Sedangkan Ibnu Qayyem berusaha mengkompromikan pendapat Ibnu Taimiyah dan al-Qadi ‘Iyad, dengan cara menggabungkan antara sunnah Nabi dengan sunnah khulafaurrasyidin yang disitilahkan dengan al-‘amal-Qadim masuk kategori al-amal al-naqli.
• Al-‘Amal al-ijtiha>di
Al-‘amal al-ijtiha>di, adalah amal yang dihasilkan dari ijtihad ulama era setelah wafatnya Nabi saw. Amal ijtihadi menurut Ibnu Taimiyah harus dibedakan antara amal yang dihasilkan sebelum kematian Usman bin Affan (amal qadi>m) dan setelah kematiannya (amal muta’akhir). Ibnu Taimiyah menetapkan amal qadi>m sebagai hujjah yang harus diikuti. Untuk mendukung pendapatnya ia mengutip hadis yang berbunyi ;
عن عرباض بن سارية ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي وعضوا عليها بالنواجذ
Adapun amal muta’akhir pasca pembunuhan Usman bin Affan maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah .
b. Kehujjahan Amal Penduduk Madinah
Pengikut mazhab Malik sendiri berbeda ketika menafsirkan kehujjahan amal penduduk Madinah. Sebagian berpendapat bahwa amal yang dimaksudkan tersebut adalah apa yang dihasilkan melalui jalur periwayatan mutawatir. Ada pula yang memahinya amal tersebut sebagai tarji>h (penguatan) konsensus kolektif penduduk Madinah dari konsensus luar Madinah. Pendapat ketiga, bahwa amal yang bisa jadi hujjah adalah amal dari penduduk Madinah zaman sahabat dan tabi’in saja.
Di antara murid-murid Imam Malik, seperti al-Qa>di ’Iyad dan Ibnu Taimiyah sepakat bahwa amal naqli yang dinukil dari Nabi adalah hujjah yang wajib diberpegangi karena bersifat qat’i dan pasti kebenarannya. Jika bertentangan dengan hadis ah}ad atau qiya>s, keduanya mutlaq diabaikan dan memilih amal naqli. Pendapat ini tampaknya juga diadopsi dan dipahami sama oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Hanya saja al-Jauziyah menambahkan amal sahabat dan Khulafaurrasyidin termasuk sebagai amal naqli.
Al-Qadi ‘Iyad mencatat tiga pendapat pengikut mazhab Maliki tentang hujjah tidaknya amal sesudah wafatnya Nabi saw. Pertama, pendapat yang menganggap amal bukan sebagai hujjah, tidak pula dapat digunakan untuk menguatkan suatu pendapat yang dipilih dari pendapat lain (tarjih). Pendapat ini dipelopori oleh pengikut mazhab Maliki Bagdad. Kedua, pendapat yang meskipun bukan hujjah tetapi hal itu dapat digunakan untuk merajihkan (menguatkan) suatu ijtihad seseorang dari yang lainnya. Ketiga, pendapat yang menganggapnya sebagai hujjah
Uraian di atas dapat dipahami bahwa amal penduduk Madinah yang disepakati sebagai hujjah adalah amal yang berlandaskan nash yang memiliki ketersambungan informasi akurat hingga kepada Nabi saw, dan kepada Khulafairrasyidin atau amal naqli. Sedangkan amal ijtihadi tidak disepakati kehujjahannya. Sebagian berhujjah dengan kehujjahan terbatas, sebagian lagi berhujjah penuh sebagaimana kehujjahannya amal naqli.
Adapun pendapat ketiga ulama dapat dilihat pada tabel berikut;
Pendapat Ulama
Jenis amal
Al-Qadi ‘Iyad
Ibnu Taimiyah
Ibnu Qayyem
Al-amal al-naqli Yang dinukil dari Nabi; terbagi 4;
• al-‘amal al-qauli
• al-‘amal al-fi’li,
• al-‘amal al-taqri>ri
• al-‘amal al-tark Amal yang dinukil dari Nabi saw Yang dinukil dari Nabi saw dan khulafaurrasyidin
Al-amal al-ijtihadi Semua amalan penduduk Madinah setelah Nabi saw al-‘amal al-qadi>m (amal sebelum wafatnya Usman bin Affan)
al-‘amal al-muta’akhir(amal setelah kematian Usman bin Affan Amal penduduk Madinah setelah Khulafaurrasyidin
B. Sunnah Ulama Madinah dalam Perspektif Studi Hadis
Sunnah Nabi telah mengalami perjalanan panjang dalam bentangan realitas sejarahnya. Meminjam istilah Fazlur Rahman sunnah telah mengalami evolusi historisnya menjadi hadis. Ulama klasik maupun ulama modern secara kolektif sepakat menetapkan hadis sebagai pemegang otoritas legal sunnah Nabi maupun sunnah sahabat dan tabi’in. Maka ketika akan berbicara tentang sunnah, atau akan mengamalkan ajaran agama, tempat bersandarnya adalah teks-teks literal hadis.
Namun sunnah tidak hanya berevolusi menjadi hadis, tetapi juga (pernah) berevolusi menjadi praktek kolektif penduduk lokal. Sebuah praktek keagamaan yang telah menjadi tradisi dikembangkan oleh penduduk Madinah yang mereka yakini sebagai sunnah. Ia meyakini tradisi tersebut memiliki mata rantai ketersambungan berita hingga kepada sumber pertamanya, Nabi saw. Oleh karena itu, ketika sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran, maka tidak hanya dipahami dengan pesan teks literal hadis tetapi juga dengan pesan amal penduduk lokal Madinah.
Dalam banyak peristiwa Imam Malik menolak sebuah teks hadis, meskipun teks hadis tersebut s}ah}i>h}, karena tidak sejalan dengan yang diamalkan oleh penduduk Madinah. Bahkan ada yang diriwayatkan dan dibukukakan dalam kitab al-Muwat}t}a, tapi kemudian ia sendiri tidak mengamalkannya karena bertentangan dengan amal penduduk Madinah.
Contoh di mana Malik melawan hadis yang ia sendiri riwayatkan, di antaranya hadis tentang mengangkat tangan pada saat takbi>r dalam shalat. Imam Malik menerima hadis dari Salim dari Ibnu Umar (marfu>’) dan jalur Naf’i dari Ibnu Umar (mauqu>f)
• حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ
• حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا دُونَ ذَلِكَ
Meskipun Imam Malik menerima hadis dari orang yang s\iqat, dan memasukkan dalam kitab Muwat}t}anya, tetapi ia menolaknya karena bertentangan dengan amal penduduk Madinah. Imam Malik berkata, “aku tidak mengetahui adanya angkat tangan pada saat takbir dalam shalat, baik takbirnya rendah ataupun tinggi kecuali pada takbir permulaan shalat (takbi>rat al-ih}ra>m). Ini artinya Imam Malik mend}a’i>fkan hukum mengangkat tangan pada saat takbir dalam shalat, di luar takbir permulaan shalat (takbi>rat al-ih}ra>m).
Dutton dalam analisanya ia katakan bahwa kitab al-Muwat}t}a adalah kitab fundamental tentang sejarah legal Islam di mana ekspresi hukum yang benar dilihat bukan sebagai yang dipelihara dalam suatu kumpulan teks hadis tetapi dalam amal penduduk lokal Madinah. Imam Malik dan Penduduk Madinah berpegang pada keyakinan bahwa amal merupakan indikasi sunnah yang lebih baik, amallah yang merupakan sumber dasar dari sunnah yang normatif bukan kepada hadis yang termaktub dalam teks-teks periwayatan.
Alasan rasional Imam Malik adalah Rasulullah kembali dari perang bersama ribuan sahabatnya. Sepuluh ribu dari mereka meninggal di Madinah dan sebagian kecilnya di berbagai tempat. Jadi, manakah yang lebih patut diikuti? Apakah sahabat yang meninggal ribuan itu atau satu dua sahabat yang telah meninggal?
Uraian di atas dapat dipahami bahwa kekukuhan Imam Malik mempertahankan amal penduduk Madinah sebagai hujjah yang lebih baik dan lebih kuat dari kumpulan teks hadis karena ia memahami sebuah realitas kondisi di mana orang-orang Madinah mengikuti pendahulunya para tabi’in. Para tabi’in dengan jumlah besar menerima sunnah dari para sahabat dalam jumlah besar pula dalam bentuk tradisi dan praktek. Keadaan inilah yang dilihat Imam Malik sebagai sebuah penukilan yang secara otomatis tidak diragukan kemutawatirannya, karena dihubungkan langsung kepada sahabat dalam jumlah banyak. Sementara mayoritas hadis bagaimanapun keotentikannya tetap saja berstatus ahad.
Imam Malik berusaha keluar dari lingkaran pertarungan amal versus hadis dengan memilih apa yang menurutnya qat’i dan mengabaikan yang z\anni. Hadis yang statusnya z\anni diambil sebagai penguat amal penduduk Madinah yang qat’i. Bagi Malik sunnah secara eksklusif dia identikkan dengan amal penduduk Madinah sebagai konsensus yang ditetapkan kehujjahannya. Otoritasnya dapat mengalahkan hadis otentik.
Di lain pihak kelompok Iraq yang dipelopori Imam al-Syafi’i berpegang kepada pendapat bahwa sunnah yang otentik adalah yang didukung oleh riwayat-riwayat otentik. Sedangkan amal jika tidak didukung oleh riwayat otentik tidak dapat diterima. Sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti harus diutamakan dari sumber non-tekstual yang keasliannya tidak dapat diketahui secara pasti. Bukan hanya itu, Imam al-Syafi’i dengan usahanya yang besar berhasil membuat identifikasi eksklusif sunnah dengan preseden spesifik yang digariskan Nabi daw, yaitu tradisi autentik yang hanya berasal dari Rasulullah saw sendiri. Dalam hal mengangkat tangan pada saat takbir misalnya, Imam al-Syafi’i berpegang kepada teksnya hadis yang diriwayatkan jalur Salim dari Ibnu Umar
Sejalan dengan Imam al-Syafi’i, Abu Ishaq Al-Syaerazi menyatakan bahwa suatu konsensus (ijm>’a) dianggap benar jika seluruh ulama di zaman itu sepakat dalam suatu hukum, tetapi jika sebagian ulama tidak sepakat maka tidak bisa dianggap sebagai konsensus. Oleh karena itu, jika alasan Imam Mailk mengatakan bahwa amal penduduk Madinah dianggap sebagai konsensus penduduk Madinah yang menjadi hujjah karena kemayoritasannya, maka menurut al-Gazali alasan tersebut salah, karena hujjah itu lahir dari konsensus semua ulama (al-ijm>a’) bukan konsensus sebagiannya (ijm>a’).
Bahkan Abu Bakar al-Sarkhisi> dengan ekstrim menyatakan bahwa, jika pendapat yang mengatakan bahwa konsensus atau amal penduduk Madinah sebagai hujjah (khusus) yang dimaksudkan adalah amal penduduk Madinah pada masa Nabi saw, maka tidak ada yang mempermasalahkannya. Tetapi jika dimaksudkan adalah pada setiap zaman, maka pendapat itu jelas batil. Karena tidak ada satu wilayah di negeri Islam (Da>r al-Isla>m) pada saat sekarang ini yang paling sedikit ilmunya, paling nyata kebodohannya, dan jauh dari sebab-sebab kebaikan selain orang-orang yang tinggal di Madinah
Uraian di atas dapat dipahami bahwa sunnah ulama Madinah yang hanya berlandaskan konsensus atau amal penduduk lokal Madinah dalam pandangan ulama yang berpihak kepada otoritas teks hadis adalah pandangan yang tidak tepat karena bertentangan dengan kaidah ijma (konsensus). Mereka memahami bahwa suatu hujjah hukum dapat diambil dari ijm>’a jika ijm>’a tersebut merupakan kesepakatan mayoritas ulama dari berbagai negeri, bukan hasil kesepakatan sepihak dari minoritas penduduk lokal di suatu negeri. Dengan demikian amal penduduk Madinah yang merupakan produk lokal dalam perspektif hadis bukanlah hujjah yang dapat menjadi landasan hukum, jika tidak ada teks-teks hadis s}ah}ih} yang membenarkannya.
Pertarungan amal versus hadis dengan segala argumennya berimbas kepada lahirnya dua blok pemikiran sunnah antara blok Madinah dengan blok non-Madinah. Ulama Madinah yang dipelopori Imam Malik mempertahankan tradisi ulama Madinah sebelumnya yang menjadikan amal penduduknya secara terbatas dan eksklusif sebagai sunnah yang memiliki otoritas sebagai sumber hukum setelah al-Quran.
Menengahi dua kelompok yang bersebarangan di atas, perlu adanya pendekatan kesejarahan (historical approach) untuk melihat lebih dekat dan memahami lebih dalam sehingga dapat menemukan konklusi yang tepat. Dalam sejarahnya, menghujjahkan amal penduduk Madinah bukanlah konsep baru yang ditelorkan Imam Malik , tetapi generasi sebelumnya dari kalangan tabi’in pun telah mengamalkannya. Oleh sebab itu, penolakan dan ketidaksepahaman, apalagi tuduhan yang melampaui batas (pernyataan al-Sarkhi>si>) tersebut pada akhirnya ia ditujukan bukan hanya kepada Imam Malik saja, tetapi kepada para tabi’in juga. Oleh karena itu, tidaklah juga benar kalau mengenyampingkan sama sekali adanya unsur kebenaran atas kehujjahan amal penduduk Madinah. Sebab bagaimana pun ulama dari kalangan tabi’in telah mengamalkannya. Bagi penulis, sangat sulit untuk menafikan ritual keagamaan yang telah dipraktekkan para tabi’in karena mereka adalah generasi bersambung dengan sahabat.
C. Rekonstruksi Metodologis dalam Perspektif Kekinian
Menjadi kejujuran ilmiah dan fakta sejarah bahwa kapasitas Imam Malik sebagai ulama hadis yang terpercaya (s\iqat), dan sanadnya yang dipuji sebagai silsilah z}ahabiyah. Untuk itu dapatlah menjadi dasar untuk tidak mengabaikan amal sebagai bagian dari sunnah. Dalam artian bagaimana mencari titik temu antara teks literal hadis dan amal sebagai upaya merekonstruksi pemahaman sunnah.
Tanpa mengabaikan kesepakatan mayoritas ulama tentang otoritas hadis, hal yang tidak bisa dinafikan bahwa dalam mata rantai periwayatan, posisi periwayat melakukan kesalahan dan kekhilafan sangat mungkin terjadi, hatta periwayat yang terpercaya sekalipun. Sementara kesalahan tersebut mungkin jadi tidak teridentifikasi data sejarah.
Ulama kemudian menetapkan kualitas jalur periwayatan berdasarkan bila>d (negeri). Al-Khatib dan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jalur sunnah yang paling kuat (s}ah}ih}) pada masa salaf adalah jalur periwayatan ahl al-haramain (penduduk Madinah dan Mekkah) karena sangat sedikit terjadi tadli>s, diikuti penduduk Basrah kemudian Penduduk Syam. Bahkan Hisyam bin Urwah menyikapi periwayatan hadis dari luar Madinah dengan ucapannya; “jika orang Iraq memberitakan kepadamu seribu hadis, maka abaikanlah 999-nya dan selebihnya jangan langsung percaya.
Oleh karena itu, penulis sepakat dengan ulasan pendapat Imam Ibnu Qutaibah bahwa; “Menurut pendapat kami, sesungguhnya kebenaran lebih mungkin ditegakkan dengan ijm>a’ (amal) dari pada dengan riwa>yat (teks hadis). karena hadis sangat mungkin terkena kesalahan, kelalaian, ketidakyakinan, interpretasi yang mungkin berbeda (ta’wilat), ada penyisihan (nasakh), dan seseorang yang s\iqat mengambil hadis dari orang yang tidak s\iqat. Bisa jadi terjadi dua perintah yang berbeda yang keduanya boleh seperti satu salam atau dua salam (pada akhir shalat). Sama halnya seseorang hadir ketika Nabi saw memberi perintah tertentu dan kemudian tidak hadir ketika Nabi saw memberi perintah yang berbeda sehingga ia meriwayatkan apa yang tidak didengar oleh orang yang pertama. Sementara ijm’a> terhindar dari kemungkinan hal seperti ini. Oleh karena itu, Imam Malik terkadang meriwayatkan suatu hadis dari Rasulullah kemudian ia berkata, “amal di kota kami begini”. Ada banyak hadis di mana orang meriwayatkannya dengan riwayat bersambung, tetapi mereka tidak mengamalkannya. Contohnya hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah menjamak shalat dhuhur dengan ashar, dan magrib dengan isya di Madinah dalam suasana aman tanpa ada kekhawatiran (sebagai rukhsahnya). Tetapi semua ulama fiqh tidak mengamalkan hadis ini karena bisa jadi mansu>kh, atau karena kondisi darurat, karena hujan atau karena kesibukan” .
Uraian di atas memberikan asumsi positif bahwa apa yang ada dan diamalkan oleh penduduk Madinah atau sesuatu yang menjadi kesepakatan mayoritas penduduk Madinah yang diwariskan secara bersambung dari salaf al-s{a>lih (sahabat, ta>bi’in , ta>bi al-ta>bi’i>n) memiliki bangunan kehujjahan dalam praktek keagamaan. Maka apa yang pernah dikembangkan Imam Malik pada masanya dengan menjadikan amal penduduk Madinah sebagai salah satu rujukan dalam mengambil keputusan-keputusan hukum dan ketetapan fiqhinya perlu ada upaya konstruktif sinergis dengan teks-teks hadis dalam melandasi keputusan keputusan hukum (fiqh) dalam konteks kekinian.
Upaya rekonstruksi tersebut adalah bagaimana amal dan hadis dapat dikompromikan sebagai pemilik otoritas sunnah yang saling melengkapi. Hadis dapat diposisikan sebagai sunnah matluwah (sunnah tekstual) sedankan amal sebagai sunnah ma’s\u>rah (sunnah non-tekstual atau tradisi). Jika jalur sunnah tekstual adalah berakhir pada penulisnya seperti al-Bukha>ri>, Muslim dan yang lainnya, maka jalur sunnah ma’s\u>rah hanya terhenti di Malik bin Anas.
Sunnah ma’s\u>rah (amal penduduk Madinah) bisa diposisikan sebagai penguat teks-teks hadis yang kontroversial dan bertentangan. Ada dua tawaran alternatif dalam menyelesaikannya, pertama jika terjadi pertentangan dua teks hadis s}ah}i>h} yang tidak bisa diselaikan dengan cara kompromi (jam’u wa taufi>q), maka sunnah ma’s\u>rah diberikan otoritasnya untuk menentukan tingkat kualitas hadis tersebut sebelum melakukan nasakh dan tarji>h{. Kedua, sunnah ma’s\u>rah sebagai salah satu dalil dalam melakukan tarji>h{.
Misalnya perbedaan pendapat tentang hukum dalam jahar basmalah dalam shalat karena adanya hadis-hadis s}ah}ih} yang bertentangan. Untuk menentukan kualitas keduanya, maka perlu kembali kepada amal penduduk Madinah, bagaimana cara penduduk Madinah melaksanakan shalat di Mesjid Nabawi, yang tidak bisa dipungkiri merekalah yang paling dekat mewarisi tata cara shalat Nabi. Maka dengan demikian, hadis yang tidak sejalan dengan amal bisa dikategorikan sebagai hadis bermasalah (sy>az\), walaupun itu sanadnya s}ah}i>h} karena bertentangan dengan hadis yang lebih kuat karena didukung oleh sunnah ma’s\u>rah.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunnah ulama Madinah sunnah yang menjadikan konsensus atau amal penduduk lokal Madinah sebagai salah satu sumbernya. Para Tabiin sebelum Malik telah berpegang kepada amal sebagai salah satu sumber sunnah di zamannya. Jika amal bertentangan dalam suatu perkara dengan teks hadis yang telah dipastikan keotentikannya, amal dirajihkan dari hadis. Amal dibagi dalam dua kategori; amal naqli, yaitu amal yang berdasarkan nash dan amal ijtihadi yaitu, amal yang berdasarkan ijtihad. Amal naqli adalah amal yang disepakati kehujjahannya oleh pengikut mazhab Maliki, sedangkan amal ijtihadi mereka berbeda pendapat.
Sunnah ulama Madinah dalam pandangan ulama yang berpihak kepada otoritas tunggal teks hadis adalah pandangan yang tidak kuat. Amal jika tidak didukung oleh riwayat otentik tidak dapat diterima. Sumber tekstual yang diketahui kebenarannya secara pasti harus diutamakan dari sumber non-tekstual yang keasliannya tidak dapat diketahui secara pasti.
Upaya rekonstruksi metodologis dengan mengkompromikan amal penduduk Madinah dengan teks-teks literal hadis sebagai pemilik otoritas sunnah yang saling melengkapi. Hadis diposisikan sebagai sunnah matluwah (sunnah tekstual) sedankan amal penduduk Madinah sebagai sunnah ma’s\u>rah (sunnah non-tekstual atau tradisi). Dengan ini sunnah ma’s\u>rah menjadi solusi baru dalam persoalan hukum fiqh terutama dalam menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan.
B. Implikasi
Perlu adanya pengkajian lebih mendalam tentang amal penduduk Madinah terutama mengidentifikasi berapa banyak topik persoalan yang disebutkan, dan apa yang menjadi permasalahan sehingga amal penduduk Madinah tidak populer dalam literatur hadis maupun fiqh, kecuali sedikit yang mengamalkannya dari pengikut mazhab Maliki saja.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad, Muh}a>dara>t fi al-Ta>ri>kh al-Maz\a>hib al-Isla>miyah. tk: al-Matba’ah al-Madani, t.th
al-‘Alwan, Muhammad al-Sayyid Abdul al-Majid, Durbah al-T}ull>a>b ‘ala> al-Nas}r fi ‘Ilmi al-H{adis\. Kairo: tp, 1995
al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Taqri>b al-Tahz\i>b. tk: Dar al’Asimah, t.th.
al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Ja>mi al-S{ah}i>h} al-Musnad Mi>n Hadi>£ Rasulillah saw. wa Sunanih wa Ayya>mih, Jilid II. Kairo: al-Mat}ba’ah al-Salafiyah, 1403 H.
al-Kalwazani al-Hanbali, Mahfud bin Ahmad bin al-Hasan Abu al-Khattab (432-510 H), al-Tamhi>d fi Us}u>l al-Fiqh J. III. Jeddah: Dar al-Madani, 1985
al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Us}u>l al-H{adi>s\; ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}uh, Beirut : Dar al-Fikr, 1989
al-Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as, Sunan Abi Daud, J. I. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th.
al-Sarkhi>si>, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl (w. 490). Us}u>l al-Sarkhi>si>, J. I. India: Lajnah Ihya al-Ma’arif al-Nu’maniyah, t.th.
al-Siba’i, Mustafa, al-Sunnah wa Maka>natuha fi> al-Tasyri’ al-Isla>mi>. Kairo: Dar al-Salam, 1998
al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa>’id al-Tah}di>s\. (tk: tp, t.th)
al-Yamani al-Makki, Abu Sa’id al-Mufaddal bin Muhammad bin Ibrahim al-Janadi, Fad}a>il al-Madi>nah. Damasqus: Dar al-Fikr, 1985
Brown, Daniel W., Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, terj. Jaziar Radianti, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Jakarta: Mizan, 2000.
Dutton,Yasin, Sunna, Hadith, and Madinan Amal, terj. Dedi Junaidi, Sunnah Hadis dan Amal Penduduk Madinah. Jakarta: Akademika Pressindo, 1996
Ibnu Abdul Hadi, Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, al-Madkhal Ila> al-Sunnah al-Nabawiyah. Kairo: Dar al-I’tisam, 1998
Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Ahmad bin Muslim (213-276 H), Ta’wi>l Mukhtalaf al-h}adi>s\. Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, 1999/1419
Ibnu Qasim, Abdurrahman, al-Mudawwanah al-Kubra> J. I. Libnan: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994/1415.
Kitab al-Muwatta li al-Imam Malik bin Anas (95 -197 H/713-795), J. I. Kairo: Dar al-Rayyan, 1988.
Nur Saif, Ahmad Muhammad, ‘Amal Ahlu al-Madi>nah; Baina Mus}t}alah}at Malik wa Ara> al-Us}u>liyi>n. Dubai: Dar al-Buhus al-Islamiyah, 2000.
Palamban, Hassan bin Muhammad Husain, Khabar al-Wa>h}id iz\a Kha>lafa Ahla al-Madi>nah. Dubai: Dar al-Buhus al-Dirasah al-Islamiyah, 2000
Qardawi, Yusuf, Kaif Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah; Ma’a>lim wa d}awa>bit. tk: tp, t.th.
________, Al-Sunnah Mas\daran Li al-Ma’rifah wa al-H{ad{a>rah. Kairo: Dar al-Syuruq, 1998)
¬¬¬________, Marja’iyah al-‘Ulya> fi> al-Isla>m li> al-Qur’an wa al-Sunnah, terj. Bahruddin Fannani, Al-Qur’an dan as-Sunnah, Referensi Tertinggi Ummat Islam. Jakarta: Robbani Press, 1997.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar