Senin, 21 Desember 2009

MATA ADALAH PANGLIMA HATI


Ikhwati wa akhawaty fillah...
Ketahuilah ! “Mata adalah Panglima hati. Hampir semua perasaan dan prilaku awalnya dipicu oleh mata. Bila dibiarkan memandang yang dibenci dan yang dilarang maka pemiliknya beradas di tepi jurang bahaya
, meskipun ia tidak sungguh-sungguh jatuh ke dalam jurang itu...” demikianlah penggalan nasehat Imam AL-Ghazali dalam Ihya Ulumuddinnya.

Beliau memberi nasehat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Renungkanlah sebuah syair, “Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar sesungguhnya berasal hanyalah awalanya percikan api.”
Ulama shalaful shaleh berkata “banyak makanan haram akan menghalangi untuk melaksanakan shalat tahajjud di malam hari, banyak juga pandangan terhadap yang haram menghalanginya membaca kitabullah”.

Ikhwati wa akhawaty fillah al-ahiba...
Semoga Allah melindungi kita semua...
Pernahkah kita menyadari bahwa, betapa banyak fitnah dan godaan yang selalu datang mendekati kita...
kita mungkin sering mengkaji tentang mata, tetapi kita belum tentu bisa selamat dari bahaya pandangan mata.
Orang yang keliru menggunakan mata dan pandangan akan terjebak dalam nafsu syaitan.

Ikhwati wa akhawaty fillah al-ahiba...
Mata adalah penuntun dan hati adalah pendorong dan juga pengkut.
Mata memiliki kenikmatan pandangan dan hati memiliki kenikmatan pencapaian. Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu yang mesrah, jika keduany terpuruk dalam kesulitan maka masing-masing akan saling mencela dan bercerai.

Perhatikanlah ungkapan Ibnu Qayyim dalam Raudatul Muhibbin;
“Hati berkata kepada mata, Kau telah menyeretku dalam kebinasaan yang mengakibatkan penyesalan, karena aku mengikutimu hanya beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman dan kebun, dan dari kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah, yaitu hendaknya menahan padangannya. Kau salahi pula sabda Rasulullah, yaitu memandang wanita adalah panah beracun dari beberapa panah iblis !!!”

Maka siapa yang meninggalkan karena takut kepada Allah, Allah akan memberikan balasan kenikmatan kepadanya dan hatinya senantiasa menemukan kelezatan

Tetapi.....
Mata juga berkata kepada hati: “Kau zalimi aku sejak awal hingga akhir, kau kukuhkan dosaku lahir hingga batin, padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan mengikuti jalan yang kau tunjukkan...!!!”

Maka ingatlah sabda Rasulullah; “Ketahuilah dalam diri ada segumpal darah, jika ia baik, maka baik pulalah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka seluruh tubuh akan menjadi rusak pula, itulah HATI.

Hati adalah raja dan seluruh tubuh adalah pasukannya, jika rajanya baik maka baik pulahlah seluruh pasukannya, tapi jika rajanya buruk, buruk pulahlah seluruh pasukannya. Maka...

Wahai hati jika kau dianugerahi pandangan, tentu engaku tahu bahwa rusaknya pengikutmu karena rusaknya dirmu, dan kebencian mereka adalah kebaikanmu. Sumber bencana yang menimpamu karena engkau tidak memiliki cinta kepada Allah, tidak suka zikir kepadaNya tidak menyukai firman dan sifat-sifatNya.
Maha Benar firman Allah, “Sesungguhnya bukan mata itu yang buta tetapi hatilah yang buta yang ada di dalam dada. Q.S.Al-Hajj 46.
Ikhwati wa akhawaty fillah al-ahiba...
Ibnu Qayyem dalam kitab Al-jawabul kafi ala man saala an dawa as-syafi menasehatkan manfaat menjaga pandangan mata dan gejolak hati, bahwa dengan menjaga mata dan hati
1. Menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunia dan diakhirat
2. Memberi nuansa kedekatan kepada Allah
3. Menguatkan hati
4. Menghalangi pintu masuknya setan ke dalam hati
5. Allah meliputi diri hamba dengan cahaya-Nya

Itulah sebabnya Allah swt dalam firmanNya setelah menyebutkan tentang menundukkan padangan, maka selanjutnya Allah menyebutkan tentang cahaya

Ikhwati wa akhawaty fillah al-ahiba...
Prilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain... Kedipan mata dan kecenderungan hati merupan rahasia diri yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah swt...Dialah sendiriNya yang mengetahui kerlipan padangan mata...Dialah sendiriNya mengetahui apa yang dirahasiakan oleh hati. Mari renungkan firman Allah dalam Q.S. Al-Mukmin : 19
Maka jagalah pandangan mata dan kecenderungan hatimu
Wallahu ‘allam

Selasa, 15 Desember 2009

MANIPULASI IBLIS

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”. Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua. (QS. Al-A’rof: 20-21)

Kisah ini adalah kisah yang telah lama diketahui oleh manusia, yaitu kisah antara Adam, Hawa dan iblis. Kisah yang diabadikan dalam Al-Quran dengan pengambaran yang sangat gamblang dan jelas, yang diceritakan langkah demi langkah, tentu memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa ketika Bapak dan Ibu dari seluruh manusia itu digoda oleh iblis, maka anak keturunannyapun tidak luput dari godaan itu. Seperti itulah ikrar iblis kepada Allah ketika diusir dari surga.
“Sungguh saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus”. (QS. Al-A’rof: 16)

Langkah-langkah yang ternyata telah berhasil membuat Adam dan Hawa tertipu akan selalu digunakan oleh iblis untuk menggoda anak keturunan Adam. Namun jurus-jurus yang sudah diketahui itu kadangkala sering tidak disadari, sehingga kembali membuat manusia tertipu.

Manusia telah dimuliakan Allah, diumumkan kelahirannya kepada makhluk tertinggi dalam majelis para malaikat, para malaikat diperintahkan sujud kepada Adam. Manusia diberikan dua potensi berupa kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan. Pada dirinya terdapat kelemahan tertentu, kalau ia tidak konsisten pada perintah Allah maka dari titik-titik kelemahan itulah ia dapat dimasuki oleh setan.

Bisikan setan ini tidak diketahui bagaimana caranya, akan tetapi kita dapat mengetahui sasarannya berdasarkan informasi yang benar dari Al-Quran, sasaran penyesatan itu adalah titik kelemahan pada diri manusia. Setan mempermainkan kecenderungan manusia yang tersembunyi, manusia ingin kekal, diberi umur yang panjang sehingga sepertinya kekal, manusia juga ingin memiliki kepemilikan yang tak terbatas padahal usia mereka pendek dan terbatas.

Dalam ayat ini diketahui bahwa manipulasi yang digunakan iblis adalah: “An takuunaa malakaini au takuunaa minal khalidin.”
Dalam penjelasan qiroah malakaini ada dua bacaan yang dapat dijadikan pengertian untuk memahamai maksud dari ayat ini. Bacaan pertama adalah: malikaini yaitu huruf lam dibaca kasroh yang berarti dua orang raja, yakni raja dan ratu, bacaan ini dikuatkan oleh nash lain dalam surat Thaaha: “Maukah aku tunjukan kepada kalian berdua, kepada pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah”. (QS. Thaha: 120)

Atas dasar bacaan ini, maka manipulasi ini adalah kekuasaan yang abadi dan umur yang kekal. Keduanya merupakan syahwat atau kecenderungan yang paling kuat dalam diri manusia.

Bacaan kedua adalah malakaini, huruf lam dibaca fathah yang berarti dua malaikat, maka manupulasi setan itu adalah dengan melepaskan manusia dari ikatan-ikatan fisik seperti malaikat yang kekal.

Ketika Iblis ini mengetahui bahwa Allah melarang Adam dan Hawa memakan buah ini, dan larangan ini terasa berat dalam jiwa mereka, maka untuk menggoyang hati mereka, iblis menimbulkan khayalan dan angan-angan kepada mereka, di samping juga mempermainkan syahwat dan keinginan mereka. Bahkan iblis memperkuat dengan sumpah bahwa ia adalah pemberi nasehat yang berlaku jujur.

Adam dan istrinya lupa karena pengaruh dorongan syahwat dan sumpah setan yang penuh tipu daya bahwa setan adalah musuh mereka yang tidak mungkin menunjukkan mereka kepada kabaikan.

Sayyid Qutb dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya iblis hanya mendatangi mereka dari titik kelemahan mereka dan tempat masuknya syahwat. Tidak ada yang dapat melindungi manusia dari godaan setan itu kecuali dengan memperkuat iman dan zikir, memperkuat pertahanan dari penyesatan dan bisikan jahatnya, mengalahkan syahwat dan menundukan hawa nafsu kepada petunjuk Allah.”

Manusia dapat saja berbuat keliru dan lupa. Pada dirinya terdapat kelemahan yang dapat dimasuki setan, ia tidak selamanya patuh dan tidak selamanya istiqomah. Akan tetapi ia dapat mengejar kekeliruannya, mengakui kesalahannya, menyesali perbuatan, dan memohon pertolongan dan ampunan kepada Tuhannya. Karena manusia mempunyai potensi untuk kembali ke jalan yang benar dan bertaubat , tidak keterusan dalam maksiat sebagaimana halnya setan.

Ketika manusia menyadari akan kekeliruannya dan terjatuh dalam kemaksiatan maka ucapan yang keluar adalah seperti ucapan yang keluar dari dari bibir Adam dan Hawa:
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’rof: 32)

Dengan mengetahui manipulasi iblis tersebut, diharapkan kita menjadi waspada terhadap hal-hal serupa yang menjadi tempat sasaran iblis dalam menggoda dan menyesatkan manusia. Wallahu a’lam bisshowab.

Oleh Zulhamdi M. Saad, Lc

‘ILLAT DAN PERMASALAHANNYA

Hadits Nabi merupakan marja’iyah al’ulya ajaran Islam . eksistensinya secara hierarki adalah referensi kedua setelah al-Quran. Sebab itu hadits Nabi terintegrasi ke dalam ranah ilahiyah. Integrasi itu ditandai dengan adanya pemberian mandat otoritas dari Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan secara sempurna (bayan ka>mil) bahasa Tuhan (baca al-Quran), sehingga ia tampil menjadi sebuah petunjuk dalam mewujudkan kemaslahatan dan membangun peradaban umat manusia dalam realitas hidup.
Eksistensi hadits tidak bisa dipisahkan dengan al-Quran. Hal itu karena al-Quran dengan kemujma>lannya (global) tidak sanggup merespon secara rinci segala persoalan kemanusiaan yang terus bergerak dinamis tanpa dukungan hadits yang berfungsi sebagai pemberi bayan ka>mil yang komprehensif, universal dan aplikatif . Hadits wajib ada di sisi al-Quran, bahkan tidak ada al-Quran tanpa sunnah atau hadits. Karena itu, secara fungsional keduanya mempunyai hubungan interelasi kuat yang saling melengkapi dalam membangun aturan hidup (guideline) sebagai acuan mukallaf.
Hanya saja hadits tidak sekuat al-Quran yang telah menyatakan dirinya sebagai kitab yang la> raeba fi>h. Perjalanan penukilan hadits yang melalui proses panjang dari generasi ke generasi, tersebar di berbagai sudut negeri, serta diberitakan oleh periwayat dalam jumlah yang tidak sedikit, dan dengan syakhsiyah yang berbeda, membuat hadits tidak bisa terhindar dari keterputusan sanad, dan atau kecacatan periwayat.
Oleh karena itu, dalam kaidah kesahihan hadits, salah satu syarat penting yang sering dipergunakan dalam menentukan validitas hadits adalah ‘adam al-‘illat atau gaer al-mu’allal (tidak cacat). Bahwa sebuah hadits tidak dapat dianggap sahih meskipun telah dipastikan bersambung sanadnya dengan periwayat yang s|iqat hingga dapat dijaminkan terbebas dari ‘illat (cacat).
Hanya saja, syarat g}aer al-mu‘all sebagai salah satu kaidah kesahihan hadits banyak permasalahan yang perlu ditinjau, seperti urgen tidaknya memasukkan syarat tersebut dalam kaidah keshahihan hadits, diillatkannya banyak hadits yang telah ditetapkan kesahihannya, diillatkannya periwayat yang siqat dan lainnya. Maka tulisan ini mengkaji atau mengurai kembali ‘illat dan mengeksplorasi permasalahan-permasalahannya.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini akan fokus mengkaji ‘illat sebagai salah satu syarat keshahihan hadits, bentuk dan sebab ‘illat, dan permasalahan-permasalahan yang timbul padanya.

B. Pembahasan
1. Pengertian ‘illat
Kata ‘illat secara etimologis berasal dari kata ‘alla-ya’illu ; yang berarti ; 1). marid}a (sakit) atau d{a’if (lemah) . Diartikan sakit karena dengan keberadaannya merubah keadaan yang kuat menjadi lemah . 2). Al-hadas| (peristiwa) yang menyibukkan seseorang dari hajat (kebutuhannya). 3). Al-sabab (sebab) . Untuk ‘illat dengan arti sebab umumnya dipakai oleh ulama fiqih dan ushul.
Sedangkan ‘illat (yang kemudian masyhur diartikan kecacatan) menurut pengertian ulama hadits adalah ibarat atau ungkapan dari sebab-sebab yang tersembunyi yang merusak pada hadits, padahal secara zahirnya hadits selamat atau terhindar darinya (sebab ‘illat). Sebab yang tersembunyi tersebut kemudian merusak kesahihan hadits . Ini berarti bahwa ‘illat salah satu titik fokusnya adalah adanya kecacatan yang tersembunyi.
Terkadang‘illat diartikan secara umum dan luas tidak hanya karena sebab yang tersembunyi, tetapi juga karena sebab yang tidak tersembunyi (nyata) . ‘Illat dalam artian ini adalah segala bentuk kecacatan yang menimpa suatu hadits apakah karena kedustaan perawi, atau gaflah, ataupun su’u al-hifz. Imam Tirmizi bahkan menganggap nasakh sebagai ‘illat. Imam Al-Khalili membagi hadits sahih ke dalam beberapa pembagian; s}ah{i>h} muttafaq ‘alaih, s}ah{i>h} mu’allal, dan s}ah{i>h} mukhtalaf fi>h . Berkaitan dengan hal ini, Mahmud al-Thahhan menyebut‘illat karena sebab tersembunyi dengan istilah ‘illat terminologis, sedangkan yang tidak tersembunyi disebutnya sebagai ‘illat non-terminologis
Untuk membedakan ‘illat terminologis dari ‘illat non-terminologis yang disebutkan ulama, harus memenuhi dua syarat ; pertama kecacatan tersebut tidak tampak dan tersembunyi. Kedua, merusak keshahihan hadits. Jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi, seperti ‘illat itu nyata atau tidak merusak, maka tidak dikatakan ‘illat .
Hadits yang di dalamnya terdapat‘illat yang merusak kesahihan hadits padahal secara zahirnya selamat dari kecacatan itu disebut sebagai hadits mu’allal atau mu’all dan disebut juga ma’lul . Hadits ini kemudian ditempatkan sebagai salah satu hadits d}ai>f (lemah) kategori al-t}a’nu fi al-ra>wi> (kecacatan periwayat).
Dari pengertian dan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah kecacatan terselubung dan tidak nyata yang menimpa suatu hadits yang telah ditetapkan kesahihannya. Ini ‘illat diperuntukkan untuk membedah hadits-hadits yang sudah dinyatakan shaih, sedangkan hadits yang statusnya sudah jelas sebagai hadits d}ai>f, tidak dikaji lagi. Tujuannya adalah menyingkap kemungkinan adanya penyakit yang tersembunyi di dalamnya, yang pada tampilan luarnya terbebas dari penyakit. Jika demikian halnya, bisa jadi ada sebuah hadits sudah dinyatakan kesahihannya berdasarkan syarat-syarat global (zahir) kesahihan hadits, tetapi karena ditemukan kecacatan yang tersembunyi di dalamnya, maka label sahih pada hadits tersebut menjadi gugur.

2. ‘Illat dan Kaidah Kesahihan Hadits
Menurut Ibnu Shalah, hadits sahih adalah;
الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً.
Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya yang dinukil oleh periwayat yang ‘adil dan d}abit} dari periwayat yang sama (‘adil dan d}abit} ) hingga terakhir (jalur periwayatan), tidak sya>z| dan tidak mu’allal.

Sedangkan Al-Nawawi membahasakannya dengan ;
الحديث الصحيح هو مااتصل سنده بنقل بالعدول الضابطين من غيرشذوذ ولا علة
Yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan dinukil oleh periwayat yang ‘adil dan d}abit} tidak syuz|uz| dan tidak ‘illat.

Pada defenisi Ibnu Shalah disebutkan kata wa la> mu’allal untuk menyatakan hadits terbebas dari kecacatan. Hal ini berbeda dengan Al-Nawawi yang menyebutnya dengan kalimat wa la> ‘illat. Sekilas memiliki kesamaan makna, tetapi sesungguhnya berbeda. Penggunaan wa la> mua’llal lebih detail dari perkataan wa la> ‘illat. Kata ‘illat merupakan kata umum yang mencakup padanya ‘illat yang q>adih}ah maupun yang gair q>adih}ah atau illat z|a>hirah atau khafiyah. Jika disebutkan dengan kata wa la> ‘illat maka perlu penjelasan tambahan wa la> illat qa>dih}ah khafiyah. Hal tersebut berbeda jika dikatakan wa la> mu’allal, di mana tidak membutuhkan penjelasan tambahan, sebab kaidah menyatakan bahwa hadits mu’allal hanyalah hadits yang dipastikan adanya’illat qa>dih}ah khafiyah, jika ‘illatnya z|a>hirah atau tidak qa>dih}ah maka bukan mu’allal . Dengan demikian kalimat la> mu’allal lebih kuat dibandingkan dengan kalimat la> ‘illat, dan merupakan pengertian yang bersifat jami’ mani’
Pengertian ‘illat (cacat) di sini bukan hanya dalam pengertian umum tentang kecacatan periwayat karena ketidak adilan dan ketidak d}abitnya} periwayat, seperti karena kaz|ab (pendusta) atau karena tidak kuat hafalan ataupun karena kefasikan. Tetapi adanya kecacatan yang terselubung pada suatu hadits yang tidak tampak secara zahir, dan tertutupi kesahihan zahiriyah, baik karena kecacatan itu dapat tersingkap setelah dibedah lebih dalam dengan pisau kritik tajam oleh orang-orang cerdas dan paham betul kedudukan hadits. Maka hadits yang sebelumnya aman dalam kesahihannya, akhirnya tercacatkan setelah ditemukan adanya cacat padanya.
Argumen yang mendasari lahirnya unsur terhindar dari kecacatan (‘illat) menurut Syuhudi Ismail bukanlah argumen naqli> tetapi hanyalah argumen metodologis, karena hadits yang dinilai ber’illat adalah hadits yang telah dinilai berkualitas sahih, itu pun diketahui setelah dikumpulkan semua jalur sanadnya. Sedangkan fungsi pokok unsur terhindar dari ‘illat telah tertampung di dalam unsur-unsur sanad bersambung dan periwayat bersifat d}abit} dan atau tamm al-d}abit}. Alasan inilah kemudian Syuhudi Ismail menganggap la mu’allal atau gair ‘illat tidak perlu ditetapkan sebagai kaedah mayor tetapi ia hanyalah salah satu unsur kaidah minor dari unsur kaidah mayor periwayat d}abit} atau tamm al-d}abit }
Apa yang dikemukakan oleh Syuhudi di atas adalah sangat beralasan karena memang periwayat yang d}abit} adalah periwayat yang tidak ada cacatnya. Tetapi ‘illat yang dimaksud dalam perspektif umum yang mencakup keseluruhan makna ‘illat baik yang khafiyah maupun yang tidak. Sedangkan ‘illat yang dimaksudkan dalam defenisi di sini adalah ‘illat khusus yang khafiyah gamidah.
Maka penulis melihat penyebutan tidak berillat dalam kaidah kesahihan hadits bertujuan untuk membedakan antara illat qadihah khafiyah dengan qadihah zahiriyah. Dengan adanya kata tidak ber’illat maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah kecacatan yang tersembunyi, baik pada periwayat (orang), mata rantai sanad maupun matannya. Hal ini sama dengan penyebutan secara tegas periwayat‘adil dan d{a>bit} dan bukan hanya kata s|iqat, walaupun periwayat s|iqat adalah yang‘adil dan d{a>bit.}
Penetapan kata ‘adil dan d{a>bit secara jelas, tegas dan bukan kata s|iqat dalam defenisi hadits sahih, karena para ulama berbeda dalam mendefenisikan s|iqat. Sebagian berpendapat bahwa s|iqat adalah para periwayat yang tidak dijarh. Sedang sebagian memaksudkan s|iqat kepada periwayat yang benar-benar mendengar dari syaikh (guru)nya meskipun periwayat tersebut su> al-hifz} (jelek hafalan) atau mugaffal (mudah lupa) . Dengan demikian, keadilan dan kedabitan periwayat tidak sebatas variabel pendukung yang dapat membantu terbuktinya kebersambungan hadits, tetapi merupakan variabel utama dalam menentukan sahih tidaknya hadits. Maka ini juga berlaku bagi la> mu’allal, bahwa kedudukannya adalah sama dengan kelima syarat kesahihan hadits yang lainnya.
3. Terjadinya ‘Illat Dalam Hadits
‘Illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan, dan pada sanad dan matan sekaligus, tetapi mayoritas ‘illat hadits terjadi pada sanad . Terjadinya ‘illat bisa jadi karena sanad hadits terputus seperti; 1). Sanad yang tampak muttas}il dan marfu’ ternyata muttas}il tapi mauqu>f. 2). Sanad yang tanpak muttas}il dan marfu’ ternyata muttas}il tapi mursal. ‘Illat juga diterjadi\ karena periwayat yang tidak d}abit} misalnya; 1). Terjadi percampuran hadits dengan bagian hadits lain. 2). Terjadi kesalahan penyebutan periwayat, karena adanya lebih dari seorang periwayat yang memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama s|iqat. Pada matannya terjadi salah satu jenis idraj, atau adanya penambahan padanya yang bersatus sy>az

1. Contoh ‘illat pada sanad
ما رواه يعلي بن عبيد عن سفيان الثوري عن عمرو بن دينار عن ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: البيعان بالخيار...
Menurut Ibnu Shalah hadits tersebut bersambung, diriwayatkan dari periwayat adil dari periwayat adil, matannya sahih tetapi sanadnya mu’allal tidak shahih. Pada hadits ini,‘illat terjadi karena adanya kesalahan Ya’la bin ‘Ubaid yang menyebut Amru bi Dinar, padahal yang dibenar adalah Abdullah bin Dinar .

2. Contoh ‘Illat pada Matan
Salah satu contoh ‘illat matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bin Hajjaj dengan jalur tunggal dari Al-Walid bin Muslim, sebagaimana berikut ini :
من رواية الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ قَتَادَةَ ؛ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَيْهِ يُخْبِرُهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ : قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ { الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
Artinya : Dari Al-Walid bin Muslim, Al-Auza’i, Qatadah ; Ia menulis kepada Al-Auza’i yang mengabarkan dari Anas bin Malik, bahwasanya Anas menceritakan kepadanya, berkata : Aku pernah shalat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar, dan Usman, mereka membuka (shalatnya) dengan bacaan hamdalah.
Menurut Al-Suyuti, hadits di atas telah terjadi ‘illat pada matan karena Al-Walid bin Muslim menambahkan صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam matan haditsnya. Padahal menurut riwayat Malik jalur Humaid, Anas bin Malik tidak menyebutkan “di belakang Nabi saw” . Lengkapnya hadits sebagai berikut :
وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ : قُمْتُ وَرَاءَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكُلُّهُمْ كَانَ لَا يَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ
Bahkan hadits riwayat Muslim tersebut setelah dibedah dengan pisau ‘illat, ditemukan ada sembilan‘illat di dalamnya yaitu ; bertentangan dengan mayoritas Huffaz (penghafal), inqit}>a’(terputus), tadli>s al-taswiyah pada Al-Walid, al-kita>bah, penulis yang tidak diketahui, id}t}ira>b dalam lafaznya, idra>j, dipastikan ada yang bertentangan dari (periwayat) sahabat, dan bertentangan dengan hadits yang riwayat mutawatir
Menyikapi kasus hadits di atas, bagi penulis ada persoalan yang urgen untuk dipahami, dimana Imam Muslim menerima hadits ini dan memposisikannya sebagai hadits sahih. Padahal kalau kita berangkat dari kesimpulan Al-Suyuti, maka sesungguhnya hadits ini tidak hanya cacat pada aspek matannya, tetapi juga pada sanadnya sekaligus. Apakah Imam Muslim tidak mengetahui hal tersebut? ataukah ia tahu, tetapi ia memiliki standar penilaian tersendiri sehingga tetap menerima dan meriwayatkannya dan menuliskannya dalam kumpulan hadits sahihnya?.
Demikian pula pada mata rantai riwayat al-Auza’y dan Qatadah misalnya, meskipun sanad kedua periwayat ini bersambung, tetapi apakah Imam Muslim tidak mengetahui, kalau Qatadah adalah orang yang buta secak lahir (walad akmah)? Sehingga tidak mungkin riwayat yang didengarnya dari Anas dapat dituliskannya sendiri kepada Al-Auza’i. Maka pastilah ada yang dijatuhkan dalam mata rantai riwayat ini, yaitu katib (penulisnya).
Dari temuan adanya ‘illat pada hadits riwa>yat Muslim jalur Qatadah ini, sesungguhnya menguatkan pentingnya naqd hadits, sanad dan matannya. Bahkan jika berangkat dari kasus ini, kita bisa berkesimpulan bahwa dengan “pisau kritik” ‘illat hadits, hadits-hadits yang sahih belum terjamin kejernihan dan validitasnya sebelum dibedah dengan pisau ‘illat, tidak terkecuali hadits-hadits sahih versi Bukhari dan Muslim.
Tetapi perlu diketahui bahwa kritik atau pembedahan dilakukan untuk menyingkap apa yang menimpa para periwayat s}iqa>t dari kesalahan dan wahm (kekeliruan) , bukan untuk meruntuhkan otoritas hadits sahih, tetapi upaya tas}fiyah (penjernihan), dan tahqiq (pembuktian kebenaran), sehingga hadits benar-benar terhindar dari segala kecacatan, baik yang kecacatan yang nyata maupun kecacatan tersembunyi. Karena bisa jadi ‘illat tersembunyi di balik kesahihan sanad hadits atau kes|iqatan periwayat tanpa diketahui. Al-Hakim mengakui banyaknya ‘illat yang terjadi pada hadits-hadits s|iqa>t. Mereka meriwayatkan hadits yang terdapat di dalamnya ‘illat, tetapi luput dari pengetahuannya maka hadits itu menjadi mu’allal.
T}ariqah (metode) tas}fiyah dan tahqiq dalam memastikan mu’allal tidaknya hadits adalah, dengan mengumpulkan semua jalur hadits kemudian melihat perbedaan periwayatnya, ked}abit}an periwayat, dan itqa>nnya. Menurut Ibn Al-Madini, sebuah hadits jika jika tidak dikumpulkan jalurnya, maka tidak akan tanpak kesalahannya . Dengan demikian pendekatan utama dalam memastikan kecacatan yang tersembunyi di dalam hadits sahih, pertama, pendekatan komparatif, mengumpulkan semua jalur hadits, untuk kemudian membandingkannya antara riwayat satu dengan riwayat lain. Kedua, pendekatan hafalan (terhadap sanad, matan dan periwayat), sehingga mampu membaca, melihat dan memastikan kualitas hadits terutama kualitas semua periwayatnya.
4. Jenis-jenis ‘illat dalam Hadits
Imam Al-Hakim mengungkapkan sepuluh jenis kecacatan di dalam hadits . Tetapi penulis hanya akan menyebutkan sebagiannya saja, untuk lebih lengkapnya kembali kepada kitabnya Ma’rifah Ulu>m al-Hadi>s|.

1. Hadits yang mahfu>z dari sahabat, tetapi pada jalur terdapat periwayatan dua orang periwayat atau lebih dari dua negeri yang berbeda. Seperti orang Madinah dari orang Kufah yang jika mereka meriwayatkan hadits, mereka “tergelincir” dalam periwayatan. Contohnya ;
عن موسي بن عقبة عن أبي اسحاق عن ابي بردة عن ابيه مرفوعا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Artinya : Musa bin ‘Uqbah dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari bapaknya (marfu’) ; bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “sesungguhnya Aku beristigfar dan bertoba kepada-Nya dalam sehari seratus kali”

2. Periwayat meriwayatkan hadits dari seseorang yang dikenal dan mendengar hadits darinya, tetapi ada hadits-hadits tertentu yang ia tidak dengarnya, apabila ia meriwayatkan hadits-hadits tersebut tanpa perantara (periwayat lain). maka terjadilah ‘illat. Contohnya :
عَنْ روح بن عبادة قال حدثنا هشام بن ابي عبد الله عن يحي بن أبي كثير عن أنس بن مالك أن النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إِذَا أَفْطَرَ عِنْدَ أَهْلِ بَيْتٍ قَالَ : أَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ
Artinya : Dari Yahya bin Abu Katsir dari Anas bin Malik : bahwasanya Nabi saw apabila ia berbuka puasa di rumah seseorang pemilik rumah, beliau berkata : telah berbuka orang-orang yang puasa di sisi kalian, dan makananmu dimakan oleh orang-orang baik, dan Malaikat turun kepada kalian.
Menurut Al-Hakim : Kita memastikan adanya riwayat Yahya bin Abi Kasir dari Anas bin Malik, hanya saja hadits ini, ia tidak dengar langsung. Karena berdasarkan jalur lain terdapat kata حُدثت antara Yahya bin Abi kasir dengan Anas bin Malik
3. Adanya perbedaan dalam penamaan syekh atau majhul. Contoh :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ غِرٌّ كَرِيمٌ وَإِنَّ الْفَاجِرَ خَبٌّ لَئِيمٌ
Tidak majhul Majhul
عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ رَافِعٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ سُفْيَانُ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

4. Hadits mursal berdasarkan adanya keterangan dari riwayat s}iqat huffa>z}
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْحَمُ أُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهَا فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهَا حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهَا بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَقْرَؤُهَا لِكِتَابِ اللَّهِ أُبَيٌّ وَأَعْلَمُهَا بِالْفَرَائِضِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
Menurut Al-Hakim : ‘Illat pada sanad hadits ini adalah riwayat Khalid Al-Khazza dari Abu Qilabah. Karena seandaianya sanad hadits ini sahih, pastilah diriwayatkan di dalam kitab sahih (Bukhari atau Muslim). Karena adanya hadits lain yang memiliki kesamaan pada potongan hadits tersebut yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينًا وَإِنَّ أَمِينَنَا أَيَّتُهَا الْأُمَّةُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ

5. Terjadi wahm dengan nyata pada tingkatan tabi’in . seperti hadits:
عَنْ زيهْر بنْ مُحَمَّدِ عن عثمان بن سليمان عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أنه سَمِع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّور
Menurut Al-Hakim; hadits ini ma’lul karena tiga hal ; Usman adalah Ibnu Abi Sulaeman (bukan Ibnu Sulaeman ), Usman meriwayatkan dari dari Nafi’ bin Jubair bin Mut’im dari bapaknya, Abu Sulaeman (dari bapaknya) tidak pernah mendengar dari Nabi saw dan tidak pernah melihatnya.

6. hadits riwayat ‘an’anah dan jatuh salah seorang rijalnya, yang kemudian diketahui setelah mendapatkan pada jalur lain yang mahfu>z. Contoh :
عن يونس عن ابن شهاب عن علي بن الحسين عن رجال من الانصار : أنهم كانوا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فرمى بنجم فاستنار
Menurut Al-Hakim ; bahwasanya Yunus yang terkenal dengan hafalan, dan kemuliaannya terjadi kekeliruan pada aspek ini karena menyandarkan langsung kepada orang-orang Ansar, padahal yang benar adalah dari Ibnu Abbas berkata : Ibnu Abbas meriwayatkan dari orang-orang Ansar. Ini bisa dibandingkan dengan riwayat Muslim yang menyebutkan Abdullah bin Abbas.

4. Sebab – Sebab terjadinya Illat
Ada banyak aspek penyebab terjadinya ‘illat pada hadits dikemukakan Ibnu Rajjab ketika mensyarah kitab ‘illalnya Imam al-Tirmizi. Sebab-sebab tersebut kemudian disimpulkan dan dikumpulkan oleh Hammam bin Abdurrahim Sai’d menjadi delapan sebab , yaitu ;

1. Sebab umum.
Bahwa manusia tidak ada yang memiliki kesempurnaan paripurna dan kema’suman selain Rasulullah saw. Pada dasarnya manusia bisa benar bisa salah, bisa ingat bisa juga lupa, bisa teliti bisa juga lalai. Maka hal yang wajar jika terjadi wahm dan kesalahan pada diri sahabat, tabi’in dan ulama-ulama hadits terdahulu (mutaqaddimun). Para huffa>z yang hampir tidak ada kesalahan dalam haditsnya, sehingga ia berada pada tingkatan tertinggi periwayat hadits, mereka tidak dapat disifatkan dengan al-d}abt} al-ta>mm al-ka>mil (kedabitan yang sempurna).
Ibnu Ma’in berkata ; “siapa yang tidak punya kesalahan dalam hadits maka dia berdusta”. Orang-orang yang paling siqat sekalipun tetap saja punya kesalahan. Sebagaimana Ahmad mengatakan ; “adalah Imam Malik orang paling siqat tetapi ia juga melakukan kesalahan”. Sa’in bin al-Musaib melakukan wahm terhadap Ibnu abbas dalam hadits perkawinan Rasulullah dengan Maemunah. Bahkan Aisyah telah melakukan wahm terhadap beberapa sahabat dalam riwayat mereka.

2. Khaf al-d}abt}, banyak wahm¸meskipun tetap dalam keadilannya.
Yaitu mereka yang ahlul hifz wa sidq tetapi terjadi banyak wahm dalam haditsnya. Seperti ‘Atha al-Khueasany, Syarik bin Abdullah al-Nakha’i,
3. Al-Ikhtila>t}.
Al-Ikhtila>t} adalah kehilangan akal (pikun) yang terjadi di akhir umur periwayat sehingga merusak pengetahuannya.

4. Khaf al-dabt karena sebab yang insidental (‘a>rid}ah).
Sebab insidental adalah adanya persoalan yang dihadapi periwayat sehingga mempengaruhi ked}abit}annya, tetapi tidak mempengaruhi pengetahuannya (idrak). Di antara sebab khaff al-dabt pada periwayat yang menyebabkan wahm adalah ;
- Kesibukan-kesibukan yang mengalihkan dirinya dari menghafal, menulis dan kedabitan, seperti menjadi hakim atau kesibukan lainnya. Syarik bin Abdullah al-Nakha’i adalah seorang periwayat yang s}udu>q. Riwayat hadits darinya sebelum menjadi hakim di Wasit} (155 H) adalah sahih, tetapi setelah menjadi hakim hafalannya rusak (mud}t}arib). Demikian pula Hafz bin Giyaz dis|iqatkan oleh ulama, tetapi setelah ia menduduki jabatan hakim di Bagdad dan Kufah hafalannya rusak (su> al-hifz).
- Periwayat siqat yang buta tetapi berpegang kepada kitabnya. Sebab ini bisa dilihat pada kasus Qatadah yang menuliskan hadits kepada muridnya Al-Auza’i, padahal Qatadah adalah orang yang buta. Atau periwayat yang tiba-tiba mengalami kebutaan.

5. Singkat atau terbatasnya waktu yang dimiliki periwayat bersama gurunya.
Waktu yang dipergunakan seorang periwayat bersama gurunya akan menentukan kwalitas periwayatan. Sebab itu, diterimanya suatu hadits tidaklah cukup hanya melihat derajat kesiqatan periwayat, tetapi juga harus mengetahui susunan sanad dan mengetahui kesertaan (muma>rasah) dan kebersamaannya setiap periwayat bersama syekhnya.
Misalnya Al-‘Auzai dan Ma’mar meriwayatkan hadits dari Al-Zuhri. Meski Al-‘Auza’i lebih senior, tetapi isnad Ma’mar dianggap lebih kuat dan sahih karena kebersamaan Ma’mar bersama Zuhri lebih lama dibandingkan dengan Al-Auza’i.

6. Menyingkat Hadits atau Riwayat dengan Makna
Meriwayatkan hadits dengan makna pada dasarnya dibolehkan, tetapi jika periwayat tidak iltizam dengan syarat kebolehannya, maka akan menjadi pintu masuknya illat pada hadits tersebut.
Misalnya hadits tentang haidnya ‘Aisyah pada saat melaksanakan haji. Beberapa periwayat di antaranya Ibnu Majah meriwayatkan dengan singkat dan meletakkannya dalam bab fi al-h}a>id kaefa tagtasil, padahal hadits tersebut bukan perintah kepada ‘Aisyah untuk mandi pada saat berhenti dari haid
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ :أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا وَكَانَتْ حَائِضًا انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي قَالَ عَلِيٌّ فِي حَدِيثِهِ انْقُضِي رَأْسَكِ
Bandingkan dengan hadits riwayat Bukhari berikut ini ;
حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ أَهْلَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَكُنْتُ مِمَّنْ تَمَتَّعَ وَلَمْ يَسُقْ الْهَدْيَ فَزَعَمَتْ أَنَّهَا حَاضَتْ وَلَمْ تَطْهُرْ حَتَّى دَخَلَتْ لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ لَيْلَةُ عَرَفَةَ وَإِنَّمَا كُنْتُ تَمَتَّعْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَمْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْتُ الْحَجَّ أَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ فَأَعْمَرَنِي مِنْ التَّنْعِيمِ مَكَانَ عُمْرَتِي الَّتِي نَسَكْتُ
7. Terjadinya tadlis periwayat yang s}iqat
Termasuk illat hadits yang diungkap pengkritik hadits adalah terputusnya sanad (tadlis isnad), atau riwayat dari seorang yang bukan namanya atau bukan kunniyahnya (tadlis syuyukh). Contohnya bisa dilihat pada jenis illat bagian kedua.
8. Riwayat dari orang yang Majruh dan lemah
Tidak diragukan bahwa periwayat yang telah difonis majruh (cacat) atau daif adalah hadits yang ber’illat. Bahkan kecacatannya bukanlah sesuatu yang tersembunyi tetapi sesuatu yang nyata. Sebab itu sebab kedelapan ini merupakan sebab kecacatan dalam artian umum, baik yang tersembunyi maupun yang nyata.
Dari uraian di atas kita dapat memahami bahwasanya jenis –jenis illat dan sebab-sebab terjadinya merupakan keberhasilan capaian para kritikus hadits dalam membedah sanad, matan dan periwayat hadits, meskipun temuan-temuannya itu juga masih banyak ditentang oleh ulama hadits lain. illat hadits telah menyingkap perawi yang siqat dengan yang lebih siqat, perawi yang pernah siqat kemudian mengalami kecacatan yang tidak terjamah dalam jarh wa tadil.

B. PENUTUP
1. Kesimpulan
illat dari sisi syarat kesahihan hadits bertujuan untuk membedakan antara illat qadihah khafiyah dengan qadihah zahiriyah. Sebab itu ia menjadi salah satu syarat utama kesahihan hadits sama dengan ittisa>l sanad dan bukan sebatas variabel pelengkap atau kaidah minor.
Sedangkan dari sisi fungsi illat merupakan pisau bedah lanjutan al-jarh wa ta’dil untuk mengkritisi hadits – hadits yang sudah dinyatakan kesahihannya secara zahiriah namun kemudian terdapat kecacatan yang tersembuyi karena sebab-sebab tertentu, seperti periwayat siqat yang sibuk dengan jabatan yang merusak hafalannya, periwayat siqat yang mengalami kebutaan dan sebagainya.
Jenis-jenis illat dan sebab-sebab terjadinya ‘illat yang dikemukakan ulama menunjukkan bahwa hadits-hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang s}iqa>t belum terjamin kejernihan dan validitasnya sebelum dibedah dengan pisau ‘illat, tidak terkecuali hadits-hadits sahih versi Bukhari dan Muslim.

2. Implikasi
• Permasalahan ‘Illat hadits memberikan arti penting dalam kehidupan beragama bahwa, tidak ada manusia yang memiliki kesempurnaan, bisa jadi secara lahiriahnya adalah baik, tetapi mengandung kecacatan yang tidak tampak. Tidak terkecuali para periwayat yang sangat menjaga kwalitas dirinya dalam meriwayatkan hadits
• Dalam menyikapi hadits perlu ada pemahaman yang dalam, klarifikasi yang menyeluruh sebelum menetapkan kedudukan hadits tersebut dan sebelum menjadikannya sebagai hujjah syariat supaya tidak terjadi kekeliruan dalam beragama.

DAFTAR PUSTAKA
‘Abdu al-Ha>di, Abd al-Muhdi bin ‘Abd al-Qa>dir>, al-Madkhal ila al-Sunnah al-Nabawiyah, (Dar al-‘Itisam, Mesir, 1998 )
Al-‘Adawy, Abu Abdullah Mustafa, syarh} ‘ilal al-h{adis| ma’a asilatih wa ‘ujubah (Maktabah Makkah al-nasyir, T}ant}a, 2004).
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail (194-256 H), Al-Ja>mi’ al-s}ah}i>h} al-musnad min hadis| Rasulillah saw. wa sunanihi wa ayya>mih, Juz 2, (Al-Matba’ah Al-Salafiyah wa Maktabatuha, Kairo, 1403 H).
Al-Hanbali, Abdurrahman bin Ahmad bin Rajjab >, Syarh} ‘ilal al-Tirmi>zi>, juz 1, (Dar al-Malah li al-taba’ah, tk, 1978).
Al-Jazairy, Abul-Harits Muhammad bin Ibrahim As-Salafy, Syarh} al-manz}u>mah al-baiqu>niyah diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah dengan Mengenal Kaidah Dasar Ilmu Hadits ; Penjelasan mandhumah al-Baiquniyah, (Maktabah al-Ghuroba, Solo, 2008),
Al-Madiny, Ali bin Abdullah bin Ja’far al-Sa’dy, Al-‘Ilal (al-Maktab al-Islami, Libnan, 1980)
Al-Majid ‘Alwan, Muhammad al-Sayyed Abdu Dirasat al-t}ulla>b ‘ala al-naz}r fi> ‘ilm al-as|ar, (tt,tk, 1995)
Al-Nawawi, S}ah}i>h} Muslim syarh} Yahya bin Syaraf >, juz 4, (Dar al-fikr, Beirut, 1995).
Al-Naisabury, Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hafiz, Kitab Ma’rifah ulu>m al-Hadis|, ( Al-Maktabah Al-Ilmiah, Madinah, 1977)
Al-Qardawi, Yusuf, al-Marja’iyah al-‘ulya fi> al-Islam li al-Qur’an wa al-Sunnah, diterjemahkan oleh Burhanuddin Fannani dalam al-Quran dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islam, (Robbani Press, Jakarta, tt)
Al-Syahrazuri >, Abu Amr Usman bin Abdurrahman ‘Ulum al-hadis| li ibn al-S{alah, (Dar al-Fikr, Libnan, 1998)
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abu al-Fadl ‘abdu al-Rahman Tadri>b al-ra>wi fi> syarh{ taqri>b al-nawawi>, (Dar al-Fikr, Libnan, 1993).
Al-Thahhan Mahmud, Taesir mus}t}alah al-hadis,| (Dar al-fikr, Beirut, tt)
Ibn Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Al-‘ilal wa ma’rifah al-rija>l, (Dar al-Khani, Riyadh, 2001)
Al-Naisabury, Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hafiz, Kitab Ma’rifah ulu>m al-Hadis|, ( Al-Maktabah Al-Ilmiah, Madinah, 1977)
Ismail, H.M.Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Bulan Bintang, Jakarta, 1994)
¬¬----------- Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Bulan Bintang, Jakarta, 1988)
Faris bin Zakaria, Abu al-Husain Ahmad bin, Mu’jam maqayi>s al-lugat, jus 4 (Dar al-Fikr, Libnan, tt)
Malik bin Anas, Kitab Muwat}a, juz 1, (Dar al-Rayyan Li al-turats, Kairo, 1988)
Syakir, Ahmad Muhammad, Al-Ba>’is |al-h}as|is | syarh> ikhtis}>ar ‘ulu>m al-h>adi>s li al-h>afiz| Ibnu Kas|ir, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Libnan, tt)
Sa’id, Hammam Abdurahim, Al-‘Ilal fi al-hadis}; dirasat manhajiyah fi daui syarh ilal al-Tirmizi li Ibn Rajjab al-Hanbali, (tp, tk, 1980)
Yasid, Abu, Nalar dan Wahyu; Interelasi dalam Proses Pembentukan Syari’at, (Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007).

Rabb, Izinkan Aku Mendampinginya di Akhirat

Adalah seorang sahabat Rasulullah saw yang telah berumur 35 tahun belum juga menikah. Ia banyak menghabiskan waktunya di suffah Mesjid Nabawi Madinah. Ia termasuk kelompok ahlussuffah bersama Abu Huraerah r.a. Karena kezuhudannya, beliaupun terkenal dengan nama Zahid.
Suatu saat ketia beliau sedang memperkilat pedangnya, Rasulullah saw datang dan memberi salam kepadanya. Kemudian Rasulullah menegurnya, “wahai saudaraku Zahid, selama ini engkau sendiri saja?”. “Allah bersamaku ya Rasulullah,” jawab Zahid.
“Maksudku kenapa engkau selama ini engkau membujang saja, apakah engkau tidak ingin menikah?,” kata Rasulullah SAW.
“Ya Rasulullah, siapakah yang mau menikah dengan orang seperti aku, yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku jelek seperti ini?! Seakan Zaid menyadari dirinya yang tidaklah mungkin ada wanita yang mau meliriknya apalagi ingin mendampinginya.
Rasulullah berkata kepadanya, ” Asal engkau mau, itu urusan yang mudah!” Ditawari Rasulullah yang notabene Murabbinya, tentu ia sam’an wata’atan saja, apalagi ia semakin dimakan usia.
Rasulullah SAW pun meminta kepada seorang sahabat untuk membuatkan surat lamaran yang isinya adalah melamar seorang wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita. Selanjutnya, surat itu diberikan kepada Zahid dan diperintahkanlah ia untuk membawa surat tersebut kepada Said orang tua sahabiyah yang cantik jelita itu.
Setelah memberi salam, ia menyampaikan maksud kedatangannya, “Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasul yang mulia untuk diberikan kepadamu.” Said menjawab, “tentu ini merupakan suatu kehormatan buatku.”
Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, tiba-tiba Said kaget dan terkejut dengan isi surat itu. Sebuah lamaran dari Rasulullah saw untuk Said kepada anak perempuannya. Dalam logika Said, bagaimana mungkin menikahkan putrinya yang cantik dan bangsawan lagi kaya dengan seorang pemuda yang sudah tua, yang secara lahiriah sungguh, dan sungguh sangat tidak sederajat. Tetapi bagaimana mungkin juga bisa menolak permintaan Rasulullah saw. Untuk meyakinkan kembali dirinya said pun bertanya kepada Zahid, “Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah saw?”
“Apakah engkau pernah melihat aku berbohong? Jawab zahid.”
Zulfah sang putri yang cantik jelita melihat bapaknya yang tegang dan salah tingkah, ia pun menghampirinya dan bertanya “Kenapa ayah kelihatan tegang terhadap tamu ini? bukankah lebih baik dipersilahkan masuk?”
“Wahai putriku, tamu ini adalah seorang pemuda yang datang untuk melamar dirimu agar kiranya engkau berkenan menjadi istrinya,” kata ayahnya.
Mendengar ucapan ayahnya Zulfah yang cantik jelita itu menangis sejadi-jadinya dan berkata, “Wahai ayah, bukankah banyak pemuda yang tampan dan kaya raya yang menginginkan aku? aku tak mau menikah dengannya dan aku menolak lamarannya!” Rupanya Zulfah merasa terhina dan direndahkan oleh pemuda (yang mungkin dalam batin wanita cantik jelita itu) tidak tahu diri dan lancang melamar dirinya.
Said orangtua wanita cantik jelita itu pun berkata kepada Zahid, “Wahai saudaraku, engkau telah melihat sendiri anakku tidak mau? Sebab itu sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak.”
Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, “mengapa ayah membawa-bawa nama Rasulullah?”Akhirnya Said menjelaskan kepada anaknya yang cantik jelita itu, “sesungguhnya pemuda ini datang melamar atas perintah Rasulullah.”
Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu. Ia ingat firman Allah dalam Al-Quran “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami patuh/taat?. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 24:51)” ia kemudian berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, kenapa tidak sejak dari tadi katakan kalau yang melamar ini Rasulullah!?, kalau begitu terima lamarannya dan segera aku harus dinikahkan dengan pemuda ini.
Sungguh tidak bisa dibayangkan betapa gembiranya Zahid pada saa itu, kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dalam kata-kata. Ia merasa jiwanya seakan melayang ke angkasa ia pun segera pamit pulang. Sesampainya di masjid ia sujud syukur kepada Allah yang Maha Indah yang senantiasa memberi keindahan
Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.
“Bagaimana Zahid?”
“Alhamdulillah diterima ya rasul,” jawab Zahid.
“Sudah ada persiapan?”
Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Ya Rasul, kami tidak memiliki apa-apa.”
Rasulullah menyuruhnya pergi ke Abu Bakar, Ustman, dan Abdurrahman bi Auf. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, kebiasaan orang yang mau menikah ia pergi ke pasar untuk membeli persiapan pernikahan.
Ditengah kebahagiaannya menanti hari penuh bahagia, pada saat ia sibuk menyiapkan segala urusan pernikahannya, Rasulullah SAW menyerukan perang kepada kaum muslimin untuk menghadapi kaum kafir.
Ketika Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah siap-siap dengan perlengkapan senjata, Zahid bertanya, “Ada apa ini?”
Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini kita akan melakukan perang melawan orang kafir, maka apakah engkau tidak mengerti?”.
Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, “saya akan menjual perlengkan kawin ini dan akan kubelikan kuda yang terbagus.”
Beberapa sahabat menasehatinya untuk mempertimbangkannya keputusannya itu, “Wahai Zahid, bukankah nanti malam kamu akan berbulan madu, kenapa engkau hendak berperang?”
Zahid menjawab dengan tegas, “Itu tidak mungkin!” tidakkah engkau ingat firman Tuhan “Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.? (QS. 9:24).
Akhirnya Zahid maju ke medan pertempuran dan mati syahid di jalan Allah.
Mendengar berita gugurnya calon pengantin baru, Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”
Memang benar firman Allah “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati?.(QS 3: 169-170).
Zahid mendapat rezki yang lebih baik lagi dari yang ditinggalkannya, sebuah kenikmatan yang hakiki, ia pun berbahagia dengan segala anugerah Tuhannya.
Para sahabat meneteskan air mata sedih bercampur gembira. Dan ketika Zulfah yang cantik jelita itu mendengar kabar kesyahidan calon suaminya, ia berseru dalam doa, “Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak bisa mendampinginya di dunia izinkanlah aku mendampinginya di akhirat.”
Aku bangga padamu Zahid karena engkau syahid di jalan Allah, tapi aku juga cemburu padamu, karena engkau telah mendapatkan dua yang cantik jelita. Masih adakah seperti itu di zaman sekarang? Semoga.

Selasa, 01 Desember 2009

USRAH; Pendidikan Dalam Gerakan

Tidak ada konsep pendidikan yang lahir dari ruang yang hampa. Setiap konsep pendidikan selalu berkorelasi dengan nilai–nilai tertentu yang diyakini oleh konseptornya dan lingkungan sosial politik yang berkembang pada saat itu.
Menurut Abdul Gani Abud (1982 : 35-39) pemikiran pendidikan terdiri dari tiga dimensi utama; pertama, pemikiran pendidikan yang independen, murni lahir dari pemikiran tokohnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran lain seperti pemikiran pendidikan Jean Jakcques Rousseau, al Qabisy. Kedua, pemikiran pendidikan yang berkorelasi dengan pemikiran lain. Seperti pemikiran pendidikan Plato dalam konsep Republiknya, pemikiran pendidikan Hasan al Banna dengan gerakan da’wah dan politiknya. Ketiga, pemikiran pendidikan yang lahir dari ide-ide politik, ekonomi, atau religius. Seperti pemikiran pendidikan modern barat tidak akan bisa dipahami tanpa kembali ke ide-ide Martin Luther, pendidikan Masehi pada abad pertengahan lahir dari kitab Perjanjian Baru.

Di antara pemikiran pendidikan yang berkorelasi kuat dengan pemikiran lain adalah pemikiran pendidikan yang dikonsepsikan oleh tokoh pembaharu Mesir yang bernama Hasan al Banna. Ia adalah salah seorang tokoh pembaharu Mesir yang bukan sekedar tokoh agama dan pemikir yang meninggalkan pemikiran-pemikiran pembaharuan seperti Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh, atau Rasyid Ridha, tetapi sekaligus ulama, pendidik, politikus, da’i, dan al Syahid yang telah membentuk dan mewariskan jama’ah pergerakan Islam yang mengemban konsep dan misi perjuangannya. Jama’ah tersebut bernama Ikhwanul Muslimin.
Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan Islam modern yang paling berpengaruh dan dapat memberikan formulasi metode intelektual dan mengembangkan sistem pendidikan yang menonjol. Meskipun Hasan al Banna seorang alumnus pendidikan tradisional, namun ia berhasil menegakkan sistem dan metode gabungan (tradisional-modern), dan menjadikan gerakannya seperti universitas modern yang membimbing dan mendidik keperibadian muslim yang shaleh, baik individu maupun sosial (Hilmy Bakar, tt : 62).
Semangat jihad dan jiwa pengorbanan demi “‘izatul Islam” telah diperlihatkan jama’ah Ikhwanul Muslimin ketika berdiri sebagai pasukan front terdepan dalam perang pembebasan Terusan Sues dan Sinai dari kekuasaan Israil pada bulan Oktober tahun 1976. Peristiwa ini merupakan saksi nyata dalam lembaran sejarah perjuangan umat Islam dan masyarakat Mesir, sekaligus bukti nyata keberhasilan Hasan al Banna dengan organisasi Ikhwanul Musliminnya melahirkan generasi muslim yang tangguh melalui pola pembinaan dan pendidikan yang efektif.
Dalam kegiatan pendidikan dan pembinaan anggota, jama’ah Ikhwanul Muslimin menggunakan perangkat–perangkat khusus pendidikan yang terdiri dari ; katibah, usrah, rihlah, mukhayyam, daurah, nadwah, dan muktamar. Ketujuh perangkat inilah yang menjadi medium pendidikannya dengan pola dan metode yang relatif berbeda-beda.
Usrah sebagai salah satu medium pendidikan Ikhwanul Muslimin, merupakan seksi utama dan terpenting yang menginduk kepada Dewan Penasehat Umum dalam bidang pendidikan. Bahkan satu-satunya seksi yang konsisten pada pendidikan dalam berbagai bidang kegiatannya (Abdul Halim, 1997 : 513). Kegagalan seksi ini akan berpengaruh besar terhadap jama’ah. Karena usrahlah penggerak utama gerakan Ikhwanul Muslimin di semua lini, baik gerakan politik maupun gerakan da’wahnya.
Eksistensi dan peranan usrah dalam gerakan Ikhwanul Muslimin akan menjadi kajian dalam tulisan ini dengan menganalisa lebih jauh sistem pendidikannya sebagai suatu model pendidikan yang terbingkai dalam gerakan politik dan da’wah.


Sejarah Singkat Usrah
a. Pengertian Usrah
Secara etimologis kata usrah berasal dari bahasa Arab yang berarti baju besi yang kuat. Usrah juga diartikan dengan keluarga atau kerabat laki-laki dan penghuni rumahnya (Ibnu Manzur, 1990 : 19-20). Dalam bahasan fiqh, berarti famili atau kerabat baik kerabat dari garis keturunan atau karena hubungan pernikahan, muhrim atau bukan muhrim. Dalam tinjaun sosiologis, orang yang mempunyai kerabat dan istri. Ikatan usrah merupakan penyebab lahirnya hak dan kewajiban baik kewajiban materi maupun kewajiban non materi (Abdul Halim, 1999 : 126).
Dari segi keanggotaan, kata usrah memberikan makna perlindungan dan perisai yang kuat bagi seluruh umat Islam yang membutuhkan dan berhak dilindungi (Abdul Halim, 1999 :126), mengibaratkan anggota jama’ah Ikhwanul Muslimin seperti satu keluarga yang menikmati kegembiraan dan menanggung segala beban dan resiko dengan kebersamaan, tanpa ada perbedaan derajat kebangsawanan, ras, dan warna kulit. Mereka bersatu dan dipersatukan dalam satu wadah usrah.
Pengertian usrah di atas mengandung nilai persaudaraan dan kekeluargaan yang erat. Nilai inilah kemudian terinternalisasi dalam pemikiran, keperibadian, dan aktifitas anggota. Ia menjadi medan yang hidup untuk para anggotanya dengan bekerjasama untuk melaksanakan dan menghayati Islam. Penamaan usrah sebagai medium pendidikan dan pembinaan barangkali terilhami oleh hadits yang maknanya berikanlah kepada anakmu nama yang baik karena nama itu adalah do’a.
Sesuai dengan namanya, usrah ternyata tidak sekedar simbol, tetapi mampu menjadi wadah perekat seluruh anggotanya dalam satu visi, misi, dan tujuan. Setiap anggota adalah bagian dari usrah yang sama-sama memiliki korelasi persaudaraan yang sangat kuat dalam kehidupan sehari-harinya.



b. Latar Belakang Lahirnya Usrah
Lahirnya usrah merupakan rangkaian dan upaya soliditas dan konsolidasi semua anggota Ikhwanul Muslimin ketika menghadapi tekanan pemerintah Mesir dan tantangan kebijakan diskriminatif penjajah Inggris. Gerak dan aktifitas da’wahnya dibatasi dan dipersempit, para tokoh dan aktifisnya ditangkap dan dipenjarakan. Kondisi ini yang dihadapi gerakan Ikhwanul Muslimin pada akhir tahun 1930-an sampai awal 40-an.
Ketika kondisi buruk menimpa Inggris di kancah politik global, di mana Jerman menyerang dan menguasai Inggris, kebijakan politiknya di Mesir pun berubah dan tidak mau membuka kerang konflik. Bahkan pada tahun 1943 cabang-cabang Ikhwanul Muslimin diizinkan untuk dibuka kembali. Moment inilah dimanfaatkan Hasan al Banna dengan segera menyelenggarkan pertemuan besar bersama seluruh jajaran pimpinan untuk membahas dua agenda utama; pertama pembacaan Risalah al Nabiy al Amin. Kedua penetapan sistem usrah yang pada saat itu dinamakan Usar al Ta’awuniyah (Abdul Halim, 1999 : 133-137). Sejak saat itulah usrah menjadi perangkat utama Ikhwanul Muslimin dalam melakukan pembinaan, pendidikan, dan mempersiapkan kader-kader dengan kepribadian yang tangguh.

c. Afiliasi Usrah dengan Ikhwanul Muslimin
Hasan al Banna (1998 : 205) memposisikan usrah sebagai satu sistem atau perangkat yang penting bahkan wajib dalam jama’ah. Karena dengan ikatan usrahlah para anggota dan pengikut jama’ah akan terbimbing menuju kepada puncak keteladanan, mengokohkan ikatan hatinya, dan mengangkat derajat ukhuwahnya dari kata-kata dan teori menuju realita dan amal yang nyata. Lebih lanjut Hasan al Hudaibi (mursyid kedua) mengatakan, “sistem usrah tidak lain merupakan realisasi hakekat Islam di kalangan Ikhwan” (Abdul Halim, 2001 : 127). Artinya sistem usrah berperan merealisasikan apa yang menjadi tujuan utama perjuangan gerakan Ikhwanul Muslimin.
Sistem usrah terbagi dalam dua bagian, usrah takwin dan usrah ‘amal. Keduanya berperan dalam merealisasikan dua dari tiga sendi (ilmu, pendidikan, jihad) da’wah Ikhwanul Muslimin. Usrah takwin untuk mewujudkan sendi pendidikan dan usrah ‘amal untuk mewujudkan sendi jihad (Hussain bin Muhammad, 2001 : 360). Keberhasilan perjuangan Ikhwanul Muslimin banyak bergantung pada kesuksesan sistem usrah melakukan pembinaan dan pendidikan. Eksistensinya dalam jama’ah laksana pondasi utama pada bangunan. Karena usrahlah merupakan seksi yang terpenting dalam bidang pendidikan bahkan satu-satunya seksi yang konsisten pada pendidikan.
Dalam realisasi sendi pendidikan, usrah bertugas menyusun program kegiatan jama’ah. Kegiatan tersebut antara lain :
1. Bertugas menyusun silabus (rencana pelajaran) untuk berbagai tingkat dakwah.
2. Melakukan pengawasan sekolah-sekolah yang menyiapkan para pemimpin
3. Memonitor apa yang dilaksankan oleh usrah di lembaga-lembaga administrasi, cabang, dan wilayah.
4. Menyusun berbagai program untuk kegiatan wisata, kelompok kemiliteran, perkemahan, kelompok studi, seminar, dan muktamar.
5. Menyusun sistem-sistem untuk menguji para ikhwan yang telah menyelesaikan pendidikannya pada salah satu tahapan dakwah.
6. Menyusun asas-asas dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang ikhwan (Abdul Halim, 1997 : 513-514).

d. Tokoh-tokoh Utamanya
Perjalanan gerakan da’wah dan pendidikan Ikhwanul Muslimin dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki komitmen dan jiwa istiqamah yang kuat memperjuangkan tegaknya kebenaran Ilahi, terlaksanaya syariat Islam, dan bercita-cita mengembalikan kejayaan umat Islam yang telah tertutup debu hegemoni peradaban barat.
Tokoh Ikhwanul Muslimin terbagi dua kelompok; tokoh utama dan tokoh penerus. Tokoh utamanya adalah pendiri dan penegak pergerakan al Syahid Hasan al Banna, Hasan al Hudaibi, Abdul Qadir Auda, as Syaekh Muhammad Fargali, Zainab al Ghazali al Jubaili, Abdul Fattah Ismail, Sayyed Qutb, Yusuf Hawash, Hameedah Qutb. Mereka adalah tokoh penting tegaknya gerakan Ikhwanul Muslimin. Adapun tokoh penerus, yaitu penerus perjuangan gerakan Ikhwanul Muslimin melalui ide dan pemikiran seperti Sayyed Hawwa, Abdul Halim Mahmud (mantan Syekh al Azhar), Sayyed Sabiq, Muhamad al Gazali, Anwar Jundi, Yusuf Qardhawi dan yang lainnya.

e. Keanggotaan
Setiap individu yang telah tergabung dalam jama’ah dianggap sebagai anggota usrah. Keanggotaan dalam jama’ ah terbagi kepada tiga tingkatan : pertama, anggota na>s}ir, yaitu anggota baru yang belum termasuk murabbi. Kedua, anggota munaffid, anggota yang telah menjadi murabbi khusus mendidik anggota na>s}ir, dan ketiga, anggota na>qib, yaitu anggota yang telah menyelesaikan tarbiyah pada dua tingkatan sebelumnya, telah diambil baiat, dan turut serta bersama pimpinan dalam mengambil keputusan (Husain, 2001 : 371).
Dalam program sistem kerja, keanggotaan usrah secara khusus di bagi dalam tiap cabang. setiap cabang terdiri dari sepuluh usrah, dan setiap satu usrah terdiri dari sepuluh orang anggota dengan satu orang ketua. Dan setiap empat usrah membentuk satu wadah yang dinamakan asyirah yang dikepalai oleh ketua usrah pertama (Abdul Halim, 1999 : 187-188).
Pengelompokan anggota usrah dalam group-group kecil punya pengaruh besar terhadap ikatan persaudaraan antara satu anggota dengan anggota lainnya. Karena memudahkan mereka untuk melakukan hubungan koordinasi, dan saling membantu. Sistem usrah dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin ini merupakan cara da’wah Nabi saw yang mempersatukan kaum muhajirin dan ansar dalam ikatan persaudaraan. Sehingga usrah dalam gerakan da’wah Ikhwanul Muslimin bukan sesuatu yang baru, akan tetapi implementasi sunnah Rasulullah.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kelembagaan pendidikan usrah merupakan bagian dari organisasi Ikhwanul Muslimin. Usrah adalah satu dari tujuh perangkat khusus yang dipergunakan jama’ah dalam mentarbiyah anggotanya.

Pilar – pilar Usrah
Keyakinan Hasan al Banna akan nilai ukhuwah yang begitu penting adanya bagi jama’ah tergambar dalam tiga pilar usrah. Hal ini sangat berarti dalam menjaling ikatan ukhuwah dan kerja sama yang solid untuk menghadapi setiap persoalan, baik internal maupun eksternal. Oleh sebab itulah ia sangat menekankan perlunya usrah-usrah dari pengikut pengitunya.
Ada tiga pilar utama sistem usrah seperti disebutkan Hasan al Banna dalam bukunya Majmu al Rasail (1999: 205-207) ;
1. Ta’a>ruf (saling mengenal). Ia adalah awal dari pilar-pilar ini, di mana anggota dituntut untuk saling mengenal dan saling berkasih sayang dalam naungan ruhullah. Untuk memperkuat ta’aruf ini setiap anggota supaya berusaha agar tidak ada sesuatu pun yang menodai ikatan ukhuwah. Oleh karena itu dianjurkan untuk dihadirkan ayat-ayat al Quran dan hadits-hadits nabi dalam benak anggota.
2. Tafa>h}um (saling memahami). Pilar kedua ini merupakan sendi evaluasi diri terhadap ketaatan dan kemaksiatan. Sebagai bagian dari evaluasi ini, setiap anggota harus saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Dengan cara saling memahami antara satu dengan yang lainnya baik yang memberi nasehat maupun yang diberi nasehat.
3. Taka>ful ( saling menanggung beban). Pada pilar ini anggota jama’ah sama–sama melakukan kebaikan dengan ikut menanggung beban saudaranya yang lain.
Ketiga pilar sistem usrah merupakan mata rantai yang saling bersambung, terpadu, dan integral untuk mewujudkan satu kesatuan yang utuh dalam naungan ukhuwah islamiyah yang dilandasi keimanan kepada Allah swt. Rahasia kekuatan jama’ah Ikhwanul Muslimin sesungguhnya ada pada kekuatan ukhuwahnya. Mereka memahami dan merealisasikan nilai-nilai keimanan dalam kehidupannya dengan tiga dimensi h>ablu min al-na>s (ta’ruf, tafahum dan takaful) yang diorientasikan kepada hablu min Allah. Dari ketiga dimensi ini menjadi rintisan aplikasi nilai-nilai yang diperlukan manusia mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Menurut Jalaluddin dan Usman Said, Nilai-nilai yang diperlukan manusia untuk mencapai keselamatan dunia akhirat ada lima; pertama al-Akhlaq al Fard}iyah (nilai-nilai yang berhubungan dengan indifidu). Kedua al-Akhlaq al-Usariyah (nilai-nilai yang berhubungan dengan keluarga). Ketiga al-Akhlaq al-Ijtima’iyah (nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan sosial). Keempat al-Akhlaq al-dauliyah (nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan bernegara). Kelima al-Akhlaq al- Diniyyat (nilai-nilai yang berhubungan dengan keagamaan) (1996 : 118 – 123).
Pembentukan nilai keimanan (akhlaqul Karimah) dalam diri setiap jam’ah dilakukan melalui proses tarbiyah yang intensif, istimrar, dan terkontrol dalam ikatan usrah. Karena ia berperan sebagai media untuk mewujudkan semua sendi-sendi da’wah jama’ah Ikhwanul Muslimin yang terdiri dari ‘ilmu, tarbiyah, dan jihad.

Tujuan Asasi Usrah Dalam Jama’ah
Pada prinsipnya tujuan usrah adalah tujuan jama’ah Ikhwanul Muslimin. Usrah hanyalah salah satu perangkat atau seksi implementatif dan pelaksana tujuan jama’ah. Hasan al Banna (1998 : 103) menyebutkan, tujuan utama jama’ah adalah pemamfaatan waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan secara total dan integral, di mana unsur kekuatan umat dan kondisi yang ada bahu membahu, bersatu padu untuk mengadakan perubahan secara total
Secara mikro, tujuan pertama Jama’ah Ikhwanul Muslimin adalah membangun pribadi Muslim, kemudian menuntut setiap muslim agar membina rumah tangga muslim, dan selanjutnya membina masyarakat muslim. Yaitu masyarakat yang mengerti kewajibannya terhadap negara, umatnya, dan seluruh manusia (Hussain bin Muhammad, 2001 : 344 ). Secara makro, Ikhwanul Muslimin menghendaki Islam sebagai sistem dan imam, agama dan negara. Seluruh umat tunduk kepada aturan Islam, artinya Islam menjadi petunjuk dan imam mereka, serta terwujudnya negara yang berasaskan al Quran (Hasan al Banna, 1998 : 104).
Dari tujuan gerakan Ikhwanul Muslimin di atas, dapat digolongkan sebagai aliran yang berpendirian bahwa Islam bukan sekedar hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi sebagai agama yang sempurna dan mencakup semua aspek kehidupan manusia (Muhammad Azhar, 1997 : 14), di mana terwujudnya suatu masyarakat yang menjadikan Islam sebagai undang-undang dan hukum yang mengatur kehidupannya pada semua aspek kehidupan baik individu, masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ajaran Islam bukan sebatas pelajaran yang dihafal, dihafal ayatnya, haditsnya, kaidah-kaidah ushulnya, tetapi ajaran Islam adalah ilmu yang hrus direalisasikan dalam kehidupan ummat manusia, pribadi dan sosial masyarakat.

Program Pendidikan Usrah
a. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Usrah meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Di antara tujuan umum adalah ;
1. Membentuk keperibadian muslim seutuhnya yang sanggup merespon semua tuntutan agama dan kehidupan yang meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, ilmu, pengamalan, penjagaan fisik, pendayagunaan potensi
2. Mengukuhkan ikatan antar sesama anggota jama’ah, baik secara sosial maupun keorganisasian.
3. Meningkatkan kesadaran akan derasnya arus nilai, baik yang mendukung gerakan Islam maupun yang memusuhinya.
4. Memberi kontribusi dalam memunculkan potensi kebaikan dan kebenaran yang tersebunyi dalam diri seorang muslim dan mendayagunakannya untuk berkhidmat kepada agama dan tujuan-tujuannya. Baik potensi akal, fisik, maupun psikis
5. Menanggulangi unsur-unsur destruktif dan negatif pada diri anggota. Seperti noda yang menutupi hati, malas, apatis, lemah tanggung jawab, pemahaman yang buruk, lemah dalam ibdah dan tidak membiasakan hadir ke mesjid.
6. Memperdalam pemahaman dakwah dan haraqah dalam diri seorang muslim.
7. Memperdalam kemampuan manejerial dan keorganisasian dalam medan aktifitas Islam.
Adapun tujuan khusus adalah ;
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu. Seperti membentuk keperibadian islami, memperkuat makna ukhuwah dalam diri anggota, kerja sama.
2. Tujuan yang berkaitan dengan rumah tangga. Antara lain pandai memilih istri, memformat rumah tangga dengan rumah tangga muslim dan dihiasi dengan nila-nilai Islam dalam segala aspeknya, mendidik anak dengan tarbiyah Islam
3. Tujuan usrah untuk masyarakat. Hendaknya menjadi masyarakat yang terwarnai dengan nilai-nilai Islam, berhukum dengan hukum Islam, dan dipimpin oleh sistem idiologi Islam
4. Tujuan usrah untuk jama’ah. Seperti, menyuplai jama’ah dengan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, sosok pemimpin yang baik, dan da’i yang hebat (Abdul Halim, 1999 : 144-171)
Tujuan umum dan khusus di atas, dapat disimpulkan dalam tiga tujuan asasi; Pertama, Meningkatkan pengetahuan para anggota dan menentukan sikap islamis terhadap suatu masalah. Kedua, meningkatkan penghayatan dan memunculkan perasaan tanggung jawab terhadap pelaksanaan ajaran Islam baik secara indifidu maupun jama’ah. Ketiga, mengukuhkan persaudaraan islamiyah sehingga terbentuk muslim yang unggul secara spirituil, fisik, intelektual, psikis, sosial, bahkan ekonomi. Keempat, berkomitmen dan konsisten terhadap pelaksanaan ajaran Islam secara universal dan integratif, tidak parsial dan juzian. Yaitu perwujudan komitmen vertical relation dan horizontal relation (h}abl min al na>s} wa h}abl min Allah).

b. Bentuk Tarbiyah Usrah
Bentuk tarbiyah Usrah ada dua macam :
1. sistem Usrah Takwin, fungsinya mendidik anggota jama’ah secara internal. Dalam proses tarbiyah ini setiap anggota mempunyai murabbi yang terdiri dari munaffidz, naqib, na’ib, dan warits Munaffidz mendidik nashir, naqib mendidik munaffidz dan nashir, nai’b mendidik naqib, munaffidz, dan nashir, dan warits mendidik seluruhnya ).
2. Sistem Usrah ‘Amal, fungsinya menggali potensi anggota dalam amal sehari-hari yang mengarah pada realisasi ajaran Islam. Yang dalam hal ini mewujudkan strategi jihad yang mencakup jihad politik, jihad materi, jihad pendidikan, jihad lisan, dan jihad kekuatan. Usrah ini mengadakan muktamar bulanan yang diajarkan langkah-langkah Usrah satu bulan ke depan dalam setiap macam jihad ( Hussain, 2001 : 363).
Usrah takwin sesunguhnya lebih terfokus pada pendidikan internal untuk pembentukan keperibadian yang mantap sebelum melakukan usrah amali’. Adanya tingkatan Murabbi menunjukkan bentuk tarbiyah usrah yang terstruktur dengan rapi. Hanya saja, implementasi kedua sistem ini, usrah takwin lebih dominan dari pada usrah ‘amal. Bahkan menjadi ciri khas pendidikannya.

c. Prinsip Umum Program Pendidikan Usrah
Dalam realisasi program pendidikan, usrah dilandasi dengan beberapa prinsip;
Pertama, anasir program yang terdiri dari unsur taujih (pengarahan), unsur tarbiyah (pembinaan), unsur tad}rib (pelatihan), dan unsur takwin wa muta>ba’ah (evaluasi dan kontrol). Kedua, Schedule program atau metodologi pelaksanaan program, yang terdiri dari :
- Mengawali acara dengan membaca ayat-ayat al Quran.
- Kalimat usrah (pengarahan oleh ketua usrah)
- Pemaparan agenda kerja pertemuan saat itu.
- Studi program konsepsional dan peningkatan wawasan
- Studi program wawasan operasioal.
- Praktek program pelatihan (jika ada).
- Pemaparan ulang tugas yang telah terlaksana dan evaluasinya.
- Pembagian agenda kerja pertemuan berikutnya kepada para anggota usrah.
- Diskusi problematika dan kendala-kendala selama sepekan yang lewat.
- Evaluasi pertemuan
- Menutup pertemuan dengan do’a istighfar.
Ketiga, perencanaan waktu atau masa pelaksanaan program yang meliputi; jumlah jam pertemuan dan jumlah pertemuan yang diadakan setiap bulannya (Abdul Halim, 1999 : 192-212)

d. Materi Pendidikan Usrah
Menurut Abdul Halim (1999 : 194), materi yang diajaran selalu mengalami perubahan (penambahan) dan penyempurnaan dari waku ke waktu sesuai dengan tuntutan amal islami. Namun secara global materi diajarkan meliputi : 1. penguasaan membaca dan menghafal al Quran 2. tafsir al-Qur’an, 3. penguasaan menghafal hadits-hadits Nabi, 4. aqidah dan Ibadah, 5. sejarah Islam, 6. khitabah secara keilmuan (khotbah dan orasi), 7. kajian da’wah kontemporer, 8. kajian kitab-kitab penting, 9. olahraga, 10. tadabbur alam (tour).
Materi yang diajarkan memiliki dua kategori; materi pokok/utama yang melipti ilmu-ilmu keagamaan, dan materi pelengkap yang terdiri dari ilmu-ilmu sosial untuk menambah wawasan supaya bisa lebih mengenal lapangan da’wah. Materi-materi tentang integrasi ilmu pengetahuan hampir tidak dikenal di kalangan usrah. Materi lebih terfokus pada kajian keagamaan dalam artian aqidah, ibadah, dan akhlaq. Ini menunjukkan bahwa proses pendidikan yang dijalankan merupakan upaya pembentukan keperibadian manusia yang berakhlaq mulia dengan aqidah dan ibadah yang mantap.

e. Metode
Materi pelajaran tidak akan berproses secara efesiens dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar tanpa didukung metode yang tepat guna (Arifin, 1996 :197), karena metode merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Sistem usrah sebagai devisi khusus pendidikan menggunakan beberapa metode yang berkenan dengan visi dan misi jama’ah Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi pergerakan Islam. Di antara metode-metode pendidikan yang dominan diterapkan adalah; metode ceramah, metode resitasi, metode hafalan, metode diskusi, dan metode problem-solving, metode keteladanan.
Penggunaan kelima metode ini berkaitan dengan model pendidikannya yang bernuansa pergerakan, di mana seluruh peserta didik wajib satu fikrah dan sama pemahaman. Dalam proses belajar-mengajar boleh berdiskusi, tetapi dilarang berbantah-bantahan dan berdebat antara sesama peserta didik dan dengan murabbi (guru).
Penggunaan metode ceramah, metode hafalan, dan metode diskusi karena materi utama yang dipelajari lebih banyak membutuhkan penjelasan dan daya ingat tanpa harus ada alat praga. Seperti kajian kitab, menghafal ayat dan hadits, serta mendiskusikan persoalan-persoalan faktual yang berkaitan dengan gerakan da’wah. Metode resitasi sesungguhnya sangat berperan dalam proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan hakekat utama pendidikan usrah adalah pengamalan. Artinya, apa yang telah dipelajari dari murabbi sedapat mungkin diamalkan, dan amalan atau perbuatan tersebut dimonitoring dan dievaluasi (muhasabah). Adapun metode problem-solving dipergunakan untuk menyelesailan semua persoalan-persoalan yang dihadapi, baik persoalan individu maupun jama’ah yang diselesaikan dengan secara jama’i. Metode Keteladanan adalah metode yang sangat vital dalam keusrahan, dimana semua ilmu yang telah dipelajari harus mampu dilaksanakan dan memberikan contoh sebagai bagian dari pengamalan ajarann agama dan da’wah

Pendidikan Usrah Dalam Gerakan Ikhwanul Muslimin.
Peranan pendidikan usrah merupakan sendi terpenting berjalannya gerakan jama’ah Ikhwanul Muslimin, baik gerakan da’wah maupun gerakan politiknya. Pendidikan menjadi titian (washilah) gerakan da’wah dan politiknya. Sehingga konsep pendidikan yang diemban tidak bisa dilepaskan dari kedua hal ini. Pendidikan adalah da’wah dan politik, politik dan da’wah adalah pendidikan. Meskipun dalam tataran implementasi, gerakan da’wahnya lebih eksis dan solid dibandingkan dengan gerakan politiknya.
Sistem dan model Pendidikan usrah yang khas mampu menanamkan kesadaran, semangat, dan harga diri untuk mengangkat martabat ummat dan mengharumkan nama Islam (Hilmy Bakar, tt : 66) meskipun harus menghadapi segala resiko. Kecintaan yang tinggi, ukhuwah yang kokoh, semangat rela berkorban demi Islam, serta tekad yang tulus untuk hidup bersama Islam dan mati atas namanya yang tertanam dalam diri setiap murid di madrasah Usrah menunjukkan adanya kekhasan sistem pendidikan usrah yang tidak ditemukan di madrasah lain.
Secara organis, sistem pendidikan usrah dibangun di atas landasan ukhuwah islamiyah. Sifat kebersamaan, kontrol, dan saling membantu antar anggota untuk hidup secara islami dibina dengan baik. Mereka memiliki kedekatan kekeluargaan baik antara murid dengan murid maupun antara murid dengan murabbi (guru).
Kemampuan merajuk satu ikatan ukhuwah sesuai dengan makna filosofis namanya Ikhwanul Muslimin (saudara sesama muslim) membuktikan keberhasilan pendidikan usrah menghasilkan generasi-generasi (outcome) yang memiliki rasa tanggung jawab sosial (persaudaraan) yang tinggi. Begitu kuatnya persaudaraan mereka sehingga seorang wartawan menggambarkan dalam tulisannya; mereka itu adalah jama’ah bila seseorang di antara mereka bersin di propensi Iskandaria, maka saudaranya yang di propensi Aswan akan menjawab: semoga Allah merahmati kamu (Qardhawi, 1980 : 136).
Lebih jauh Yusuf Qardhawi (1980 : 136) menggambarkan persaudaraan mereka dalam hal cinta dan kasih sayang antara sesamanya seperti anak-anak dari satu keluarga, bahkan seperti satu anggota dari tubuh yang satu. Pendidikan yang diterapkan telah menyingkirkan segala penghalang dan menghilangkan segala perbedaan di antara mereka. Tidak ada yang tinggal kecuali persaudaraan Islam dan nasab Islam.
Dengan memiliki landasan filosofis yang jelas, pendidikan usrah tidak sekedar transfer ilmu pengetahuan, menunaikan tugas dan kewajiban kedinasan, tetapi merupakan tanggung jawab moral. Para murabbi mengajar kepada mutarabbi sebagai suatu amanat Allah dan amanat umat. Di samping itu, pembatasan murid (mutarabbi) hanya sepuluh orang dengan satu orang guru (murabbi) setiap satu kelas (halaqah) menjadikan proses tarbiyah berjalan dengan sangat efektif dan efesien. Suasana kebersamaan, dialogis antara murid dengan guru terbina dengan baik tanpa ada kesan guru yang menakutkan.
Sistem pendidikan usrah tidak mengembangkan manajemen profit, meskipun tetap mengembangkan semangat mencari uang dan semangat memberi/berinfaq. Karena dengan profitasi ini akan mengggiring pendidikan menuju kapitalisasi pendidikan, seperti yang menimpa sistem pendidikan global sekarang ini. Hampir semua sistem pendidikan baik di negara maju maupun negara berkembang telah terperangkap dalam kapitalisme pendidikan. Suatu sistem pendidikan dengan paradigma keilmuan yang epistemis sebagai juru bicarnya dan erosentrisme sebagai nenek moyang budayanya. Ironisnya pendidikan Islam juga telah terseret ke sana. Segala bentuk dan aktifitas pendidikan selalu dinilai dengan materi. Nilai materi penentu dan ukuran standar tinggi rendahnya, bermutu tidaknya pendidikan. Sehingga tidak bisa dinafikan bahwa salah satu faktor kemunduran pendidikan Islam ketika ia telah terperangkap dalam idiologi kapitalis dan meninggalkan idiologi Islam yang menganut paham kebersamaan dan menolak hak istimewa keilmuan.
Pendidikan usrah memiliki nilai-nilai filosofis yang dapat dijadikan acuan dalam membangun sistem pendidikan Islam di era sekarang ini. Seperti nilai ukhuwah yang sangat kuat sebagai landasan pendidikan. Melahirkan outcome dengan keperibadian yang unggul. Proses pembelajaran yang sistimatis, efektifitas dan kondisional belajar peserta didik. Menempatkan pendidikan sebagai amanat Tuhan dan amanat umat sehingga harus ditunaikan dengan tanggung jawab moral. Ilmu bukanlah pelajaran yang sekedar untuk dihafal, tetapi merupakan petunjuk yang harus diamalkan. Pendidikan bukanlah suatu kumpulan teori-teori yang terpendam dalam buku-buku, tetapi apresiasi dan aplikasi ilmu yang dimiliki dalam kehidupan nyata.

Simpulan
Usrah adalah salah satu seksi lembaga yang berada di bawah organisasi induk Ikhwanul Muslimin. Ia merupakan perangkat pendidikan yang memiliki hubungan langsung dengan Dewan Penasehat Umum Ikhwanul Muslimin yang bertugas menyusun program-program jama’ah, terutama program pendidikan. Posisi usrah dalam organisasi ini membuat peran yang dimainkannya sangat penting bagi keberlangsungan jama’ah.
Substansi pendidikan usrah menekankan pada beberapa segi; Ketuhanan, komprehensif, kreatif dan konstruktif, keserasian dan keseimbangan, persaudaraan dan kesetia kawanan, beridentitas dan berdikari keenam hal ini merupakan ciri substantif pendidikannay untuk mewujudkan keperibadian peserta didik yang berkualitas baik fisik, jiwa, dan intelektual
Sebagai perangkat pendidikan utama Ikhwanul Muslimin yang lahir di tengah suasana politik, sistem pendidikannya tidak bisa dipisahkan dari nuansa pergerakan, baik gerakan da’wah maupun gerakan politik (meskipun gerakan daw’ahnya lebih dominan dari pada gerakan politiknya) yang lebih menekankan aspek amalan melalui horizontal oriented dan vertical oriented untuk membentuk pribadi manusia sebagai hamba Allah (abdun) yang beraqidah kuat, beribadah dengan baik.

Daftar Pustaka


Abu Fadl Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibnu Manzur, 1990, Lisan al Arab juz empat, Beirut : Dar al Fikr.
Ali Jabir, Husain bin Muhammad, 2001, Menuju Jama’atul Muslimin; Telaah Sistem Jama’ah Dalam Gerakan Islam (terj.), Jakarta : Robbani Press.
Al Banna, Hasan, 1998, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (terj.), Solo : Intermedia.
Al Mascaty, Hilmy Bakar, tt, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin, Jakarta : UIA.
Al Qardhawi, Yusuf, 1980, Pendidikan dan Madrasah Hasan al Banna (terj.), Jakarta : Bulan Bintang.
Arifin, 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Azhar, Muhammad, 1997, Filsafat Politik; Pendidikan Antara Islam dan Barat, Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Jalaluddin dan Usman Said, 1996, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan , Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Mahmud, Ali Abdul Halim, 1997, Ikhwanul Muslimin; Konsep gerakan terpadu (terj.), Jakarta : Gema Insani Press.
______ 1999, Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (terj.), Solo : Intermedia.
Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta : RosdaKarya.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung : Trigenda Karya
http://www. google/Emisna. com/materials/usrah/usrahtunjang. asp.