Selasa, 15 Desember 2009

‘ILLAT DAN PERMASALAHANNYA

Hadits Nabi merupakan marja’iyah al’ulya ajaran Islam . eksistensinya secara hierarki adalah referensi kedua setelah al-Quran. Sebab itu hadits Nabi terintegrasi ke dalam ranah ilahiyah. Integrasi itu ditandai dengan adanya pemberian mandat otoritas dari Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan secara sempurna (bayan ka>mil) bahasa Tuhan (baca al-Quran), sehingga ia tampil menjadi sebuah petunjuk dalam mewujudkan kemaslahatan dan membangun peradaban umat manusia dalam realitas hidup.
Eksistensi hadits tidak bisa dipisahkan dengan al-Quran. Hal itu karena al-Quran dengan kemujma>lannya (global) tidak sanggup merespon secara rinci segala persoalan kemanusiaan yang terus bergerak dinamis tanpa dukungan hadits yang berfungsi sebagai pemberi bayan ka>mil yang komprehensif, universal dan aplikatif . Hadits wajib ada di sisi al-Quran, bahkan tidak ada al-Quran tanpa sunnah atau hadits. Karena itu, secara fungsional keduanya mempunyai hubungan interelasi kuat yang saling melengkapi dalam membangun aturan hidup (guideline) sebagai acuan mukallaf.
Hanya saja hadits tidak sekuat al-Quran yang telah menyatakan dirinya sebagai kitab yang la> raeba fi>h. Perjalanan penukilan hadits yang melalui proses panjang dari generasi ke generasi, tersebar di berbagai sudut negeri, serta diberitakan oleh periwayat dalam jumlah yang tidak sedikit, dan dengan syakhsiyah yang berbeda, membuat hadits tidak bisa terhindar dari keterputusan sanad, dan atau kecacatan periwayat.
Oleh karena itu, dalam kaidah kesahihan hadits, salah satu syarat penting yang sering dipergunakan dalam menentukan validitas hadits adalah ‘adam al-‘illat atau gaer al-mu’allal (tidak cacat). Bahwa sebuah hadits tidak dapat dianggap sahih meskipun telah dipastikan bersambung sanadnya dengan periwayat yang s|iqat hingga dapat dijaminkan terbebas dari ‘illat (cacat).
Hanya saja, syarat g}aer al-mu‘all sebagai salah satu kaidah kesahihan hadits banyak permasalahan yang perlu ditinjau, seperti urgen tidaknya memasukkan syarat tersebut dalam kaidah keshahihan hadits, diillatkannya banyak hadits yang telah ditetapkan kesahihannya, diillatkannya periwayat yang siqat dan lainnya. Maka tulisan ini mengkaji atau mengurai kembali ‘illat dan mengeksplorasi permasalahan-permasalahannya.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini akan fokus mengkaji ‘illat sebagai salah satu syarat keshahihan hadits, bentuk dan sebab ‘illat, dan permasalahan-permasalahan yang timbul padanya.

B. Pembahasan
1. Pengertian ‘illat
Kata ‘illat secara etimologis berasal dari kata ‘alla-ya’illu ; yang berarti ; 1). marid}a (sakit) atau d{a’if (lemah) . Diartikan sakit karena dengan keberadaannya merubah keadaan yang kuat menjadi lemah . 2). Al-hadas| (peristiwa) yang menyibukkan seseorang dari hajat (kebutuhannya). 3). Al-sabab (sebab) . Untuk ‘illat dengan arti sebab umumnya dipakai oleh ulama fiqih dan ushul.
Sedangkan ‘illat (yang kemudian masyhur diartikan kecacatan) menurut pengertian ulama hadits adalah ibarat atau ungkapan dari sebab-sebab yang tersembunyi yang merusak pada hadits, padahal secara zahirnya hadits selamat atau terhindar darinya (sebab ‘illat). Sebab yang tersembunyi tersebut kemudian merusak kesahihan hadits . Ini berarti bahwa ‘illat salah satu titik fokusnya adalah adanya kecacatan yang tersembunyi.
Terkadang‘illat diartikan secara umum dan luas tidak hanya karena sebab yang tersembunyi, tetapi juga karena sebab yang tidak tersembunyi (nyata) . ‘Illat dalam artian ini adalah segala bentuk kecacatan yang menimpa suatu hadits apakah karena kedustaan perawi, atau gaflah, ataupun su’u al-hifz. Imam Tirmizi bahkan menganggap nasakh sebagai ‘illat. Imam Al-Khalili membagi hadits sahih ke dalam beberapa pembagian; s}ah{i>h} muttafaq ‘alaih, s}ah{i>h} mu’allal, dan s}ah{i>h} mukhtalaf fi>h . Berkaitan dengan hal ini, Mahmud al-Thahhan menyebut‘illat karena sebab tersembunyi dengan istilah ‘illat terminologis, sedangkan yang tidak tersembunyi disebutnya sebagai ‘illat non-terminologis
Untuk membedakan ‘illat terminologis dari ‘illat non-terminologis yang disebutkan ulama, harus memenuhi dua syarat ; pertama kecacatan tersebut tidak tampak dan tersembunyi. Kedua, merusak keshahihan hadits. Jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi, seperti ‘illat itu nyata atau tidak merusak, maka tidak dikatakan ‘illat .
Hadits yang di dalamnya terdapat‘illat yang merusak kesahihan hadits padahal secara zahirnya selamat dari kecacatan itu disebut sebagai hadits mu’allal atau mu’all dan disebut juga ma’lul . Hadits ini kemudian ditempatkan sebagai salah satu hadits d}ai>f (lemah) kategori al-t}a’nu fi al-ra>wi> (kecacatan periwayat).
Dari pengertian dan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah kecacatan terselubung dan tidak nyata yang menimpa suatu hadits yang telah ditetapkan kesahihannya. Ini ‘illat diperuntukkan untuk membedah hadits-hadits yang sudah dinyatakan shaih, sedangkan hadits yang statusnya sudah jelas sebagai hadits d}ai>f, tidak dikaji lagi. Tujuannya adalah menyingkap kemungkinan adanya penyakit yang tersembunyi di dalamnya, yang pada tampilan luarnya terbebas dari penyakit. Jika demikian halnya, bisa jadi ada sebuah hadits sudah dinyatakan kesahihannya berdasarkan syarat-syarat global (zahir) kesahihan hadits, tetapi karena ditemukan kecacatan yang tersembunyi di dalamnya, maka label sahih pada hadits tersebut menjadi gugur.

2. ‘Illat dan Kaidah Kesahihan Hadits
Menurut Ibnu Shalah, hadits sahih adalah;
الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً.
Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya yang dinukil oleh periwayat yang ‘adil dan d}abit} dari periwayat yang sama (‘adil dan d}abit} ) hingga terakhir (jalur periwayatan), tidak sya>z| dan tidak mu’allal.

Sedangkan Al-Nawawi membahasakannya dengan ;
الحديث الصحيح هو مااتصل سنده بنقل بالعدول الضابطين من غيرشذوذ ولا علة
Yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan dinukil oleh periwayat yang ‘adil dan d}abit} tidak syuz|uz| dan tidak ‘illat.

Pada defenisi Ibnu Shalah disebutkan kata wa la> mu’allal untuk menyatakan hadits terbebas dari kecacatan. Hal ini berbeda dengan Al-Nawawi yang menyebutnya dengan kalimat wa la> ‘illat. Sekilas memiliki kesamaan makna, tetapi sesungguhnya berbeda. Penggunaan wa la> mua’llal lebih detail dari perkataan wa la> ‘illat. Kata ‘illat merupakan kata umum yang mencakup padanya ‘illat yang q>adih}ah maupun yang gair q>adih}ah atau illat z|a>hirah atau khafiyah. Jika disebutkan dengan kata wa la> ‘illat maka perlu penjelasan tambahan wa la> illat qa>dih}ah khafiyah. Hal tersebut berbeda jika dikatakan wa la> mu’allal, di mana tidak membutuhkan penjelasan tambahan, sebab kaidah menyatakan bahwa hadits mu’allal hanyalah hadits yang dipastikan adanya’illat qa>dih}ah khafiyah, jika ‘illatnya z|a>hirah atau tidak qa>dih}ah maka bukan mu’allal . Dengan demikian kalimat la> mu’allal lebih kuat dibandingkan dengan kalimat la> ‘illat, dan merupakan pengertian yang bersifat jami’ mani’
Pengertian ‘illat (cacat) di sini bukan hanya dalam pengertian umum tentang kecacatan periwayat karena ketidak adilan dan ketidak d}abitnya} periwayat, seperti karena kaz|ab (pendusta) atau karena tidak kuat hafalan ataupun karena kefasikan. Tetapi adanya kecacatan yang terselubung pada suatu hadits yang tidak tampak secara zahir, dan tertutupi kesahihan zahiriyah, baik karena kecacatan itu dapat tersingkap setelah dibedah lebih dalam dengan pisau kritik tajam oleh orang-orang cerdas dan paham betul kedudukan hadits. Maka hadits yang sebelumnya aman dalam kesahihannya, akhirnya tercacatkan setelah ditemukan adanya cacat padanya.
Argumen yang mendasari lahirnya unsur terhindar dari kecacatan (‘illat) menurut Syuhudi Ismail bukanlah argumen naqli> tetapi hanyalah argumen metodologis, karena hadits yang dinilai ber’illat adalah hadits yang telah dinilai berkualitas sahih, itu pun diketahui setelah dikumpulkan semua jalur sanadnya. Sedangkan fungsi pokok unsur terhindar dari ‘illat telah tertampung di dalam unsur-unsur sanad bersambung dan periwayat bersifat d}abit} dan atau tamm al-d}abit}. Alasan inilah kemudian Syuhudi Ismail menganggap la mu’allal atau gair ‘illat tidak perlu ditetapkan sebagai kaedah mayor tetapi ia hanyalah salah satu unsur kaidah minor dari unsur kaidah mayor periwayat d}abit} atau tamm al-d}abit }
Apa yang dikemukakan oleh Syuhudi di atas adalah sangat beralasan karena memang periwayat yang d}abit} adalah periwayat yang tidak ada cacatnya. Tetapi ‘illat yang dimaksud dalam perspektif umum yang mencakup keseluruhan makna ‘illat baik yang khafiyah maupun yang tidak. Sedangkan ‘illat yang dimaksudkan dalam defenisi di sini adalah ‘illat khusus yang khafiyah gamidah.
Maka penulis melihat penyebutan tidak berillat dalam kaidah kesahihan hadits bertujuan untuk membedakan antara illat qadihah khafiyah dengan qadihah zahiriyah. Dengan adanya kata tidak ber’illat maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah kecacatan yang tersembunyi, baik pada periwayat (orang), mata rantai sanad maupun matannya. Hal ini sama dengan penyebutan secara tegas periwayat‘adil dan d{a>bit} dan bukan hanya kata s|iqat, walaupun periwayat s|iqat adalah yang‘adil dan d{a>bit.}
Penetapan kata ‘adil dan d{a>bit secara jelas, tegas dan bukan kata s|iqat dalam defenisi hadits sahih, karena para ulama berbeda dalam mendefenisikan s|iqat. Sebagian berpendapat bahwa s|iqat adalah para periwayat yang tidak dijarh. Sedang sebagian memaksudkan s|iqat kepada periwayat yang benar-benar mendengar dari syaikh (guru)nya meskipun periwayat tersebut su> al-hifz} (jelek hafalan) atau mugaffal (mudah lupa) . Dengan demikian, keadilan dan kedabitan periwayat tidak sebatas variabel pendukung yang dapat membantu terbuktinya kebersambungan hadits, tetapi merupakan variabel utama dalam menentukan sahih tidaknya hadits. Maka ini juga berlaku bagi la> mu’allal, bahwa kedudukannya adalah sama dengan kelima syarat kesahihan hadits yang lainnya.
3. Terjadinya ‘Illat Dalam Hadits
‘Illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan, dan pada sanad dan matan sekaligus, tetapi mayoritas ‘illat hadits terjadi pada sanad . Terjadinya ‘illat bisa jadi karena sanad hadits terputus seperti; 1). Sanad yang tampak muttas}il dan marfu’ ternyata muttas}il tapi mauqu>f. 2). Sanad yang tanpak muttas}il dan marfu’ ternyata muttas}il tapi mursal. ‘Illat juga diterjadi\ karena periwayat yang tidak d}abit} misalnya; 1). Terjadi percampuran hadits dengan bagian hadits lain. 2). Terjadi kesalahan penyebutan periwayat, karena adanya lebih dari seorang periwayat yang memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama s|iqat. Pada matannya terjadi salah satu jenis idraj, atau adanya penambahan padanya yang bersatus sy>az

1. Contoh ‘illat pada sanad
ما رواه يعلي بن عبيد عن سفيان الثوري عن عمرو بن دينار عن ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: البيعان بالخيار...
Menurut Ibnu Shalah hadits tersebut bersambung, diriwayatkan dari periwayat adil dari periwayat adil, matannya sahih tetapi sanadnya mu’allal tidak shahih. Pada hadits ini,‘illat terjadi karena adanya kesalahan Ya’la bin ‘Ubaid yang menyebut Amru bi Dinar, padahal yang dibenar adalah Abdullah bin Dinar .

2. Contoh ‘Illat pada Matan
Salah satu contoh ‘illat matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bin Hajjaj dengan jalur tunggal dari Al-Walid bin Muslim, sebagaimana berikut ini :
من رواية الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ قَتَادَةَ ؛ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَيْهِ يُخْبِرُهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ : قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ { الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
Artinya : Dari Al-Walid bin Muslim, Al-Auza’i, Qatadah ; Ia menulis kepada Al-Auza’i yang mengabarkan dari Anas bin Malik, bahwasanya Anas menceritakan kepadanya, berkata : Aku pernah shalat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar, dan Usman, mereka membuka (shalatnya) dengan bacaan hamdalah.
Menurut Al-Suyuti, hadits di atas telah terjadi ‘illat pada matan karena Al-Walid bin Muslim menambahkan صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam matan haditsnya. Padahal menurut riwayat Malik jalur Humaid, Anas bin Malik tidak menyebutkan “di belakang Nabi saw” . Lengkapnya hadits sebagai berikut :
وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ : قُمْتُ وَرَاءَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكُلُّهُمْ كَانَ لَا يَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ
Bahkan hadits riwayat Muslim tersebut setelah dibedah dengan pisau ‘illat, ditemukan ada sembilan‘illat di dalamnya yaitu ; bertentangan dengan mayoritas Huffaz (penghafal), inqit}>a’(terputus), tadli>s al-taswiyah pada Al-Walid, al-kita>bah, penulis yang tidak diketahui, id}t}ira>b dalam lafaznya, idra>j, dipastikan ada yang bertentangan dari (periwayat) sahabat, dan bertentangan dengan hadits yang riwayat mutawatir
Menyikapi kasus hadits di atas, bagi penulis ada persoalan yang urgen untuk dipahami, dimana Imam Muslim menerima hadits ini dan memposisikannya sebagai hadits sahih. Padahal kalau kita berangkat dari kesimpulan Al-Suyuti, maka sesungguhnya hadits ini tidak hanya cacat pada aspek matannya, tetapi juga pada sanadnya sekaligus. Apakah Imam Muslim tidak mengetahui hal tersebut? ataukah ia tahu, tetapi ia memiliki standar penilaian tersendiri sehingga tetap menerima dan meriwayatkannya dan menuliskannya dalam kumpulan hadits sahihnya?.
Demikian pula pada mata rantai riwayat al-Auza’y dan Qatadah misalnya, meskipun sanad kedua periwayat ini bersambung, tetapi apakah Imam Muslim tidak mengetahui, kalau Qatadah adalah orang yang buta secak lahir (walad akmah)? Sehingga tidak mungkin riwayat yang didengarnya dari Anas dapat dituliskannya sendiri kepada Al-Auza’i. Maka pastilah ada yang dijatuhkan dalam mata rantai riwayat ini, yaitu katib (penulisnya).
Dari temuan adanya ‘illat pada hadits riwa>yat Muslim jalur Qatadah ini, sesungguhnya menguatkan pentingnya naqd hadits, sanad dan matannya. Bahkan jika berangkat dari kasus ini, kita bisa berkesimpulan bahwa dengan “pisau kritik” ‘illat hadits, hadits-hadits yang sahih belum terjamin kejernihan dan validitasnya sebelum dibedah dengan pisau ‘illat, tidak terkecuali hadits-hadits sahih versi Bukhari dan Muslim.
Tetapi perlu diketahui bahwa kritik atau pembedahan dilakukan untuk menyingkap apa yang menimpa para periwayat s}iqa>t dari kesalahan dan wahm (kekeliruan) , bukan untuk meruntuhkan otoritas hadits sahih, tetapi upaya tas}fiyah (penjernihan), dan tahqiq (pembuktian kebenaran), sehingga hadits benar-benar terhindar dari segala kecacatan, baik yang kecacatan yang nyata maupun kecacatan tersembunyi. Karena bisa jadi ‘illat tersembunyi di balik kesahihan sanad hadits atau kes|iqatan periwayat tanpa diketahui. Al-Hakim mengakui banyaknya ‘illat yang terjadi pada hadits-hadits s|iqa>t. Mereka meriwayatkan hadits yang terdapat di dalamnya ‘illat, tetapi luput dari pengetahuannya maka hadits itu menjadi mu’allal.
T}ariqah (metode) tas}fiyah dan tahqiq dalam memastikan mu’allal tidaknya hadits adalah, dengan mengumpulkan semua jalur hadits kemudian melihat perbedaan periwayatnya, ked}abit}an periwayat, dan itqa>nnya. Menurut Ibn Al-Madini, sebuah hadits jika jika tidak dikumpulkan jalurnya, maka tidak akan tanpak kesalahannya . Dengan demikian pendekatan utama dalam memastikan kecacatan yang tersembunyi di dalam hadits sahih, pertama, pendekatan komparatif, mengumpulkan semua jalur hadits, untuk kemudian membandingkannya antara riwayat satu dengan riwayat lain. Kedua, pendekatan hafalan (terhadap sanad, matan dan periwayat), sehingga mampu membaca, melihat dan memastikan kualitas hadits terutama kualitas semua periwayatnya.
4. Jenis-jenis ‘illat dalam Hadits
Imam Al-Hakim mengungkapkan sepuluh jenis kecacatan di dalam hadits . Tetapi penulis hanya akan menyebutkan sebagiannya saja, untuk lebih lengkapnya kembali kepada kitabnya Ma’rifah Ulu>m al-Hadi>s|.

1. Hadits yang mahfu>z dari sahabat, tetapi pada jalur terdapat periwayatan dua orang periwayat atau lebih dari dua negeri yang berbeda. Seperti orang Madinah dari orang Kufah yang jika mereka meriwayatkan hadits, mereka “tergelincir” dalam periwayatan. Contohnya ;
عن موسي بن عقبة عن أبي اسحاق عن ابي بردة عن ابيه مرفوعا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Artinya : Musa bin ‘Uqbah dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari bapaknya (marfu’) ; bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “sesungguhnya Aku beristigfar dan bertoba kepada-Nya dalam sehari seratus kali”

2. Periwayat meriwayatkan hadits dari seseorang yang dikenal dan mendengar hadits darinya, tetapi ada hadits-hadits tertentu yang ia tidak dengarnya, apabila ia meriwayatkan hadits-hadits tersebut tanpa perantara (periwayat lain). maka terjadilah ‘illat. Contohnya :
عَنْ روح بن عبادة قال حدثنا هشام بن ابي عبد الله عن يحي بن أبي كثير عن أنس بن مالك أن النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان إِذَا أَفْطَرَ عِنْدَ أَهْلِ بَيْتٍ قَالَ : أَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ
Artinya : Dari Yahya bin Abu Katsir dari Anas bin Malik : bahwasanya Nabi saw apabila ia berbuka puasa di rumah seseorang pemilik rumah, beliau berkata : telah berbuka orang-orang yang puasa di sisi kalian, dan makananmu dimakan oleh orang-orang baik, dan Malaikat turun kepada kalian.
Menurut Al-Hakim : Kita memastikan adanya riwayat Yahya bin Abi Kasir dari Anas bin Malik, hanya saja hadits ini, ia tidak dengar langsung. Karena berdasarkan jalur lain terdapat kata حُدثت antara Yahya bin Abi kasir dengan Anas bin Malik
3. Adanya perbedaan dalam penamaan syekh atau majhul. Contoh :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ غِرٌّ كَرِيمٌ وَإِنَّ الْفَاجِرَ خَبٌّ لَئِيمٌ
Tidak majhul Majhul
عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ رَافِعٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ سُفْيَانُ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

4. Hadits mursal berdasarkan adanya keterangan dari riwayat s}iqat huffa>z}
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْحَمُ أُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهَا فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهَا حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهَا بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَقْرَؤُهَا لِكِتَابِ اللَّهِ أُبَيٌّ وَأَعْلَمُهَا بِالْفَرَائِضِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
Menurut Al-Hakim : ‘Illat pada sanad hadits ini adalah riwayat Khalid Al-Khazza dari Abu Qilabah. Karena seandaianya sanad hadits ini sahih, pastilah diriwayatkan di dalam kitab sahih (Bukhari atau Muslim). Karena adanya hadits lain yang memiliki kesamaan pada potongan hadits tersebut yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينًا وَإِنَّ أَمِينَنَا أَيَّتُهَا الْأُمَّةُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ

5. Terjadi wahm dengan nyata pada tingkatan tabi’in . seperti hadits:
عَنْ زيهْر بنْ مُحَمَّدِ عن عثمان بن سليمان عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أنه سَمِع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّور
Menurut Al-Hakim; hadits ini ma’lul karena tiga hal ; Usman adalah Ibnu Abi Sulaeman (bukan Ibnu Sulaeman ), Usman meriwayatkan dari dari Nafi’ bin Jubair bin Mut’im dari bapaknya, Abu Sulaeman (dari bapaknya) tidak pernah mendengar dari Nabi saw dan tidak pernah melihatnya.

6. hadits riwayat ‘an’anah dan jatuh salah seorang rijalnya, yang kemudian diketahui setelah mendapatkan pada jalur lain yang mahfu>z. Contoh :
عن يونس عن ابن شهاب عن علي بن الحسين عن رجال من الانصار : أنهم كانوا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فرمى بنجم فاستنار
Menurut Al-Hakim ; bahwasanya Yunus yang terkenal dengan hafalan, dan kemuliaannya terjadi kekeliruan pada aspek ini karena menyandarkan langsung kepada orang-orang Ansar, padahal yang benar adalah dari Ibnu Abbas berkata : Ibnu Abbas meriwayatkan dari orang-orang Ansar. Ini bisa dibandingkan dengan riwayat Muslim yang menyebutkan Abdullah bin Abbas.

4. Sebab – Sebab terjadinya Illat
Ada banyak aspek penyebab terjadinya ‘illat pada hadits dikemukakan Ibnu Rajjab ketika mensyarah kitab ‘illalnya Imam al-Tirmizi. Sebab-sebab tersebut kemudian disimpulkan dan dikumpulkan oleh Hammam bin Abdurrahim Sai’d menjadi delapan sebab , yaitu ;

1. Sebab umum.
Bahwa manusia tidak ada yang memiliki kesempurnaan paripurna dan kema’suman selain Rasulullah saw. Pada dasarnya manusia bisa benar bisa salah, bisa ingat bisa juga lupa, bisa teliti bisa juga lalai. Maka hal yang wajar jika terjadi wahm dan kesalahan pada diri sahabat, tabi’in dan ulama-ulama hadits terdahulu (mutaqaddimun). Para huffa>z yang hampir tidak ada kesalahan dalam haditsnya, sehingga ia berada pada tingkatan tertinggi periwayat hadits, mereka tidak dapat disifatkan dengan al-d}abt} al-ta>mm al-ka>mil (kedabitan yang sempurna).
Ibnu Ma’in berkata ; “siapa yang tidak punya kesalahan dalam hadits maka dia berdusta”. Orang-orang yang paling siqat sekalipun tetap saja punya kesalahan. Sebagaimana Ahmad mengatakan ; “adalah Imam Malik orang paling siqat tetapi ia juga melakukan kesalahan”. Sa’in bin al-Musaib melakukan wahm terhadap Ibnu abbas dalam hadits perkawinan Rasulullah dengan Maemunah. Bahkan Aisyah telah melakukan wahm terhadap beberapa sahabat dalam riwayat mereka.

2. Khaf al-d}abt}, banyak wahm¸meskipun tetap dalam keadilannya.
Yaitu mereka yang ahlul hifz wa sidq tetapi terjadi banyak wahm dalam haditsnya. Seperti ‘Atha al-Khueasany, Syarik bin Abdullah al-Nakha’i,
3. Al-Ikhtila>t}.
Al-Ikhtila>t} adalah kehilangan akal (pikun) yang terjadi di akhir umur periwayat sehingga merusak pengetahuannya.

4. Khaf al-dabt karena sebab yang insidental (‘a>rid}ah).
Sebab insidental adalah adanya persoalan yang dihadapi periwayat sehingga mempengaruhi ked}abit}annya, tetapi tidak mempengaruhi pengetahuannya (idrak). Di antara sebab khaff al-dabt pada periwayat yang menyebabkan wahm adalah ;
- Kesibukan-kesibukan yang mengalihkan dirinya dari menghafal, menulis dan kedabitan, seperti menjadi hakim atau kesibukan lainnya. Syarik bin Abdullah al-Nakha’i adalah seorang periwayat yang s}udu>q. Riwayat hadits darinya sebelum menjadi hakim di Wasit} (155 H) adalah sahih, tetapi setelah menjadi hakim hafalannya rusak (mud}t}arib). Demikian pula Hafz bin Giyaz dis|iqatkan oleh ulama, tetapi setelah ia menduduki jabatan hakim di Bagdad dan Kufah hafalannya rusak (su> al-hifz).
- Periwayat siqat yang buta tetapi berpegang kepada kitabnya. Sebab ini bisa dilihat pada kasus Qatadah yang menuliskan hadits kepada muridnya Al-Auza’i, padahal Qatadah adalah orang yang buta. Atau periwayat yang tiba-tiba mengalami kebutaan.

5. Singkat atau terbatasnya waktu yang dimiliki periwayat bersama gurunya.
Waktu yang dipergunakan seorang periwayat bersama gurunya akan menentukan kwalitas periwayatan. Sebab itu, diterimanya suatu hadits tidaklah cukup hanya melihat derajat kesiqatan periwayat, tetapi juga harus mengetahui susunan sanad dan mengetahui kesertaan (muma>rasah) dan kebersamaannya setiap periwayat bersama syekhnya.
Misalnya Al-‘Auzai dan Ma’mar meriwayatkan hadits dari Al-Zuhri. Meski Al-‘Auza’i lebih senior, tetapi isnad Ma’mar dianggap lebih kuat dan sahih karena kebersamaan Ma’mar bersama Zuhri lebih lama dibandingkan dengan Al-Auza’i.

6. Menyingkat Hadits atau Riwayat dengan Makna
Meriwayatkan hadits dengan makna pada dasarnya dibolehkan, tetapi jika periwayat tidak iltizam dengan syarat kebolehannya, maka akan menjadi pintu masuknya illat pada hadits tersebut.
Misalnya hadits tentang haidnya ‘Aisyah pada saat melaksanakan haji. Beberapa periwayat di antaranya Ibnu Majah meriwayatkan dengan singkat dan meletakkannya dalam bab fi al-h}a>id kaefa tagtasil, padahal hadits tersebut bukan perintah kepada ‘Aisyah untuk mandi pada saat berhenti dari haid
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ :أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا وَكَانَتْ حَائِضًا انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي قَالَ عَلِيٌّ فِي حَدِيثِهِ انْقُضِي رَأْسَكِ
Bandingkan dengan hadits riwayat Bukhari berikut ini ;
حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ أَهْلَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَكُنْتُ مِمَّنْ تَمَتَّعَ وَلَمْ يَسُقْ الْهَدْيَ فَزَعَمَتْ أَنَّهَا حَاضَتْ وَلَمْ تَطْهُرْ حَتَّى دَخَلَتْ لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ لَيْلَةُ عَرَفَةَ وَإِنَّمَا كُنْتُ تَمَتَّعْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَمْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْتُ الْحَجَّ أَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ فَأَعْمَرَنِي مِنْ التَّنْعِيمِ مَكَانَ عُمْرَتِي الَّتِي نَسَكْتُ
7. Terjadinya tadlis periwayat yang s}iqat
Termasuk illat hadits yang diungkap pengkritik hadits adalah terputusnya sanad (tadlis isnad), atau riwayat dari seorang yang bukan namanya atau bukan kunniyahnya (tadlis syuyukh). Contohnya bisa dilihat pada jenis illat bagian kedua.
8. Riwayat dari orang yang Majruh dan lemah
Tidak diragukan bahwa periwayat yang telah difonis majruh (cacat) atau daif adalah hadits yang ber’illat. Bahkan kecacatannya bukanlah sesuatu yang tersembunyi tetapi sesuatu yang nyata. Sebab itu sebab kedelapan ini merupakan sebab kecacatan dalam artian umum, baik yang tersembunyi maupun yang nyata.
Dari uraian di atas kita dapat memahami bahwasanya jenis –jenis illat dan sebab-sebab terjadinya merupakan keberhasilan capaian para kritikus hadits dalam membedah sanad, matan dan periwayat hadits, meskipun temuan-temuannya itu juga masih banyak ditentang oleh ulama hadits lain. illat hadits telah menyingkap perawi yang siqat dengan yang lebih siqat, perawi yang pernah siqat kemudian mengalami kecacatan yang tidak terjamah dalam jarh wa tadil.

B. PENUTUP
1. Kesimpulan
illat dari sisi syarat kesahihan hadits bertujuan untuk membedakan antara illat qadihah khafiyah dengan qadihah zahiriyah. Sebab itu ia menjadi salah satu syarat utama kesahihan hadits sama dengan ittisa>l sanad dan bukan sebatas variabel pelengkap atau kaidah minor.
Sedangkan dari sisi fungsi illat merupakan pisau bedah lanjutan al-jarh wa ta’dil untuk mengkritisi hadits – hadits yang sudah dinyatakan kesahihannya secara zahiriah namun kemudian terdapat kecacatan yang tersembuyi karena sebab-sebab tertentu, seperti periwayat siqat yang sibuk dengan jabatan yang merusak hafalannya, periwayat siqat yang mengalami kebutaan dan sebagainya.
Jenis-jenis illat dan sebab-sebab terjadinya ‘illat yang dikemukakan ulama menunjukkan bahwa hadits-hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang s}iqa>t belum terjamin kejernihan dan validitasnya sebelum dibedah dengan pisau ‘illat, tidak terkecuali hadits-hadits sahih versi Bukhari dan Muslim.

2. Implikasi
• Permasalahan ‘Illat hadits memberikan arti penting dalam kehidupan beragama bahwa, tidak ada manusia yang memiliki kesempurnaan, bisa jadi secara lahiriahnya adalah baik, tetapi mengandung kecacatan yang tidak tampak. Tidak terkecuali para periwayat yang sangat menjaga kwalitas dirinya dalam meriwayatkan hadits
• Dalam menyikapi hadits perlu ada pemahaman yang dalam, klarifikasi yang menyeluruh sebelum menetapkan kedudukan hadits tersebut dan sebelum menjadikannya sebagai hujjah syariat supaya tidak terjadi kekeliruan dalam beragama.

DAFTAR PUSTAKA
‘Abdu al-Ha>di, Abd al-Muhdi bin ‘Abd al-Qa>dir>, al-Madkhal ila al-Sunnah al-Nabawiyah, (Dar al-‘Itisam, Mesir, 1998 )
Al-‘Adawy, Abu Abdullah Mustafa, syarh} ‘ilal al-h{adis| ma’a asilatih wa ‘ujubah (Maktabah Makkah al-nasyir, T}ant}a, 2004).
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail (194-256 H), Al-Ja>mi’ al-s}ah}i>h} al-musnad min hadis| Rasulillah saw. wa sunanihi wa ayya>mih, Juz 2, (Al-Matba’ah Al-Salafiyah wa Maktabatuha, Kairo, 1403 H).
Al-Hanbali, Abdurrahman bin Ahmad bin Rajjab >, Syarh} ‘ilal al-Tirmi>zi>, juz 1, (Dar al-Malah li al-taba’ah, tk, 1978).
Al-Jazairy, Abul-Harits Muhammad bin Ibrahim As-Salafy, Syarh} al-manz}u>mah al-baiqu>niyah diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah dengan Mengenal Kaidah Dasar Ilmu Hadits ; Penjelasan mandhumah al-Baiquniyah, (Maktabah al-Ghuroba, Solo, 2008),
Al-Madiny, Ali bin Abdullah bin Ja’far al-Sa’dy, Al-‘Ilal (al-Maktab al-Islami, Libnan, 1980)
Al-Majid ‘Alwan, Muhammad al-Sayyed Abdu Dirasat al-t}ulla>b ‘ala al-naz}r fi> ‘ilm al-as|ar, (tt,tk, 1995)
Al-Nawawi, S}ah}i>h} Muslim syarh} Yahya bin Syaraf >, juz 4, (Dar al-fikr, Beirut, 1995).
Al-Naisabury, Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hafiz, Kitab Ma’rifah ulu>m al-Hadis|, ( Al-Maktabah Al-Ilmiah, Madinah, 1977)
Al-Qardawi, Yusuf, al-Marja’iyah al-‘ulya fi> al-Islam li al-Qur’an wa al-Sunnah, diterjemahkan oleh Burhanuddin Fannani dalam al-Quran dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islam, (Robbani Press, Jakarta, tt)
Al-Syahrazuri >, Abu Amr Usman bin Abdurrahman ‘Ulum al-hadis| li ibn al-S{alah, (Dar al-Fikr, Libnan, 1998)
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abu al-Fadl ‘abdu al-Rahman Tadri>b al-ra>wi fi> syarh{ taqri>b al-nawawi>, (Dar al-Fikr, Libnan, 1993).
Al-Thahhan Mahmud, Taesir mus}t}alah al-hadis,| (Dar al-fikr, Beirut, tt)
Ibn Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Al-‘ilal wa ma’rifah al-rija>l, (Dar al-Khani, Riyadh, 2001)
Al-Naisabury, Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hafiz, Kitab Ma’rifah ulu>m al-Hadis|, ( Al-Maktabah Al-Ilmiah, Madinah, 1977)
Ismail, H.M.Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Bulan Bintang, Jakarta, 1994)
¬¬----------- Kaedah Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Bulan Bintang, Jakarta, 1988)
Faris bin Zakaria, Abu al-Husain Ahmad bin, Mu’jam maqayi>s al-lugat, jus 4 (Dar al-Fikr, Libnan, tt)
Malik bin Anas, Kitab Muwat}a, juz 1, (Dar al-Rayyan Li al-turats, Kairo, 1988)
Syakir, Ahmad Muhammad, Al-Ba>’is |al-h}as|is | syarh> ikhtis}>ar ‘ulu>m al-h>adi>s li al-h>afiz| Ibnu Kas|ir, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Libnan, tt)
Sa’id, Hammam Abdurahim, Al-‘Ilal fi al-hadis}; dirasat manhajiyah fi daui syarh ilal al-Tirmizi li Ibn Rajjab al-Hanbali, (tp, tk, 1980)
Yasid, Abu, Nalar dan Wahyu; Interelasi dalam Proses Pembentukan Syari’at, (Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007).

Tidak ada komentar :