Rabu, 10 Desember 2014

KETIKA KEBOHONGAN HARUS MENJADI AGAMA

A. Asal Kebohongan
Berbohong merupakan perbuatan buruk dan tercela. Seseorang yang gemar berbohong akan memanen dosa setiap kali ia melakukan kebohongan. Abu Bakar al-Siddiq dalam suatu khutbahnya ia katakan "sesungguhnya bohong membawa kepada kedurhakaan, sedangkan kedurhakan akan menyeret ke neraka. Seseorang yang berbohong hingga akhirnya dicatat di sisi Allah sebagai pembohong (HR. Bukhari Muslim)". Kebiasaan berbohong pada pekerjaan-pekerjaan tertentu seringkali menjadikan bohong itu sebagai rutinitas. Dalam pekerjaan bisnis misalnya, berbohong telah menjadi kebiasaan, bahkan etika buruk bukan sebatas ditoleransi tetapi telah menjadi budaya permanen. Sebab itulah Rasulullah saw dalam satu sabdanya ia katakan "Sesungguhnya para pebisnis itu adalah orang-orang durhaka. Lalu sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bukankah Allah menghalalkan jual beli?. Nabi menjawab; "Ya, akan tetapi para pebisnis itu bersumpah sehingga mereka berdosa, dan mereka berbicara lalu berbohong" (H.R. Ahmad dan al-Hakim). 

Tidaklah mudah meninggalkan bohong, karena kebohongan merupakan bagian dari hakekat diri manusia yang memiliki naluri mengamankan dan menyelamatkan diri. Bahkan manusia yang tidak bisa berbohong pada waktu-waktu tertentu melanggar nilai-nilai fitrawinya. Dunia ini bukanlah hamparan datar yang membuat manusia selalu memandang lurus ke depan. Allah swt sengaja menciptakan bumi ini berbentuk bulat supaya manusia bisa memahami bahwa kadangkala ia harus memandang ke atas dan ke bawah. Berbohong dianggap hina dan tercela bukan karena bohong itu sendiri, sebagaimana babi diharamkan karena memang babi itu sendiri yang tercela. Tetapi berbohong dianggap buruk, hina dan tercela karena bahaya yang timbulkannya, baik kepada pelaku bohong, orang yang dibohongi, bahkan orang lain yang ada sekitarnya. Sebab itu, bohong yang dimaksudkan dapat memetik kehinaan dan dosa adalah bohong yang menimbulkan kerugian baik materi maupun moril. Alangkah hinanya seseorang yang berbohong, yang akibat kebohongannya tersebut menimbulkan kerusakan. Sebaliknya, alangkah indahnya berbohong, yang dengan kebohongan itu memberikan kebaikan dan maslahat besar. Banyak kesuksesan besar dicapai, sebagaimana banyak keberhasilan diraih karena kebohongan. Yakinlah bahwa dibalik kesuksesan yang anda impikan adakalanya kebohongan harus menyertainya! Mungkin jadi orang-orang akan berbondong-bondong menyampaikan ucapan selamat dan menghaturkan rasa kekaguman pada diri anda karena anda telah memberinya sebuah kebohongan. Lebih dari itu, anda mendapatkan kemuliaan dari Yang Maha Mulia, Allah swt karena bohong yang anda lakukan.

B. Belajar dari bohong Nabi Ibrahim dan Ammar
Marilah kita belajar dari sejarah. Inspirasi berharga bisa dipetik dari kisah Nabi Ibrahim a.s. manusia pilihan Tuhan bergelar Halilullah (kekasih Allah). Beliau manusia jujur teladan hidup. Demi sebuah 'izzah (kemuliaan) yang begitu berharga, beliau berbohong dalam kejujurannya. Bahkan kebohongan itu adalah kejujuran sejatinya. Ada tiga kebohongan yang pernah dilakukan Ibrahim a.s. 

Pertama, berbohong untuk menghindari perbuatan syirik. Beliau diajak untuk ikut dalam hari raya penyembahan berhala kaumnya. Ketika beliau diajak, ia memandang ke bintang dan berkata sesungguhnya aku sakit 
 إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ (85) أَئِفْكًا آلِهَةً دُونَ اللَّهِ تُرِيدُونَ (86) فَمَا ظَنُّكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ (87) فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُومِ (88) فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ (89) 
Artinya : Maka Apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?" Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata:"Sesungguhnya aku sakit". 
(Q.S. 37 : 87-88).

Kedua, Berbohong dalam sebuah diplomasi terhadap kasus penghancuran berhala yang beliu lakukan. 
 قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ (59) قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ (60) قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ (61) قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (62) قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ (63)
Artinya: Kaumnya berkata "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?". Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara" (Q.S. 21: 61-62)

Ketiga, Berbohong bersama istrinya untuk menghindarkan diri dari kekejaman tangan penguasa dzalim. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw telah bersabda, Ketika Ibrahim melakukan perjalanan bersama istrinya Sarah, ia memasuki satu perkampungan yang dipimpin oleh raja yang zalim. Dikatakan kepada mereka, seorang bernama Ibrahim datang bersama wanita yang sangat cantik. Ibrahim ditanya siapakah wanita ini? Ibrahim menjawab, saudara perempuanku!. Kemudian Ibrahim kembali kepada Sarah dan berkata; "Aku telah mengatakan kepada mereka bahwa kamu adalah saudara perempuanku, maka janganlah mendustakan ucapanku, sesungguhnya di dunia ini tidak ada orang beriman selain aku dan dirimu!" Lalu Ibrahim mengutus Sarah kepadanya, dan ketika ia telah masuk kepada raja, raja ingin berbuat tidak baik kepadanya. Maka Sarah pun pergi berwudhu dan shalat kemudian ia berdoa; "Ya Allah jika aku beriman kepada-Mu dan kepada Rasul-MU serta aku telah menjaga kehormatanku hanya untuk suamiku, maka jangan biarkan orang kafir menguasaiku!". Raja pun tercekik lehernya dan kakinya gemetaran. Sarah berdoa; "Ya Allah jika ia meninggal, maka aku akan dituduh pembunuhnya". Kejadian itu berulang dua hingga tiga kali. Akhirnya raja berkata; " Tiadalah yang kamu datangkan itu kecuali setan!" Kembalikan dia kepada Ibrahim dan beri upah kepadanya. Akhirnya Sarah kembali kepada Ibrahim lalu berkata; "Apakah kamu merasakan bagaimana Allah telah menyiksa orang kafir dan orang kafir itu telah memberiku pelayan perempuan. H.R. al-Bukhari 

Tiga kisah kebohongan Ibrahim a.s. yang diabadikan dalam al-Quran dan hadis memberikan pesan bagaimana memberi nilai terhadap setiap ucapan dan perbuatan. Meskipun bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku, bahkan bertentangan dengan kebenaran dalam konteksnya yang umum. Tetapi pertentangan itulah menjadi titian untuk menyampaikan sebuah kebijaksanaan dan demi terjaganya kebaikan. Dalam tekanan batin yang sangat berat, jujur dalam bohong kadangkala terjadi di luar kontrol logika dan pengendalian diri, hanya bahasa iman yang tertulis dalam fuad (hati paling dalam) yang mampu memahaminya. Ammar bin Yasser saat melihat kedua orangtua tercintanya disiksa dan dibunuh oleh orang kafir, ia harus berbohong dalam kejujuran imannya dengan menyebut nama huban (salah satu berhala yang dipertuhankan orang kafir). Ketika Ammar tersadar dari apa yang telah diucapkannya, ia merasa telah kehilangan segalanya, kehilangan orang-orang yang dicintainya bahkan merasa kehilangan pegangan hidup, telah berpaling dari kebenaran Islam. Tetapi, Nabi saw memberi jawaban kepada Ammar dengan linangan air mata kasih sayang lalu bersabda "tidaklah termasuk berpaling jika apa yang dikatakan dalam keadaan terpaksa, karena sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." 

Perjalanan menuju puncak kebaikan tidaklah selamanya dengan jalan lurus. Ada kalanya harus keluar dari jalur lurus, imma ke samping kanan dan imma ke samping kiri. Membelokkan arah dari jalan utama yang lurus bukanlah suatu penyimpangan apalagi ketersesatan, jika hal itu sebagai upaya mengefektifkan perjalanan untuk menghindari hambatan yang dapat menggagalkan tujuan utama yang maslahatnya jauh lebih besar. Dalam konteks ini, seringkali ada keputusan yang diambil tidak populis sehingga sulit dibahasakan dengan bahasa umum akhirnya tidak bisa pula dipahami secara umum. Dalam perang Khandak, sebuah taktik spektakuler yang diambil Rasulullah saw dengan melakukan tipuan. Beliau mengatakan kepada Nu'aim bin Mas'ud al-Asyja'i "innama anta rajulun wahidun, fakhazzil 'anna mastata'ta fainnal harba khad'ah" (engkau adalah orang satu-satunya, berilah pertolongan kepada kami sesuai kesanggupanmu, sesungguhnya perang adalah tipuan). Menipu sudah pastilah dipenuhi kebohongan. Sebab itu dapat dipahami bahwa perintah Nabi saw kepada Nu'aim adalah perintah untuk melakukan kebohongan. Tetapi adanya maslahat yang lebih besar terhadap perjalanan risalah Islam di masa depannya menjadikan tipuan yang sifat dasarnya terlarang sebagai pilihat tepat untuk memenangkan pertarungan dan demi sebuah izzah (kemuliaan). Kita tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Rasulullah dan umat Islam sekiranya saja harus kalah dalam perang khandak. Maka kebohongan adalah keburukan dan sumber dosa, dan jalan menuju kerusakan. Namun kebohongan yang sejatinya adalah keburukan jika harus dilakukan, pastikanlah bahwa bohong itu adalah kebenaran, dan jalan menuju kemuliaan. Itulah kebohongan yang menjadi agama. Dari pada jujur dalam kepolosan yang berujung kebinasaan. "Dan janganlah membuang dirimu dalam kehancuran (Q.S. 2 : 195). Wallahu 'Alam.

Tidak ada komentar :