Rabu, 10 Desember 2014

KETIKA KEBOHONGAN HARUS MENJADI AGAMA

A. Asal Kebohongan
Berbohong merupakan perbuatan buruk dan tercela. Seseorang yang gemar berbohong akan memanen dosa setiap kali ia melakukan kebohongan. Abu Bakar al-Siddiq dalam suatu khutbahnya ia katakan "sesungguhnya bohong membawa kepada kedurhakaan, sedangkan kedurhakan akan menyeret ke neraka. Seseorang yang berbohong hingga akhirnya dicatat di sisi Allah sebagai pembohong (HR. Bukhari Muslim)". Kebiasaan berbohong pada pekerjaan-pekerjaan tertentu seringkali menjadikan bohong itu sebagai rutinitas. Dalam pekerjaan bisnis misalnya, berbohong telah menjadi kebiasaan, bahkan etika buruk bukan sebatas ditoleransi tetapi telah menjadi budaya permanen. Sebab itulah Rasulullah saw dalam satu sabdanya ia katakan "Sesungguhnya para pebisnis itu adalah orang-orang durhaka. Lalu sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bukankah Allah menghalalkan jual beli?. Nabi menjawab; "Ya, akan tetapi para pebisnis itu bersumpah sehingga mereka berdosa, dan mereka berbicara lalu berbohong" (H.R. Ahmad dan al-Hakim). 

Tidaklah mudah meninggalkan bohong, karena kebohongan merupakan bagian dari hakekat diri manusia yang memiliki naluri mengamankan dan menyelamatkan diri. Bahkan manusia yang tidak bisa berbohong pada waktu-waktu tertentu melanggar nilai-nilai fitrawinya. Dunia ini bukanlah hamparan datar yang membuat manusia selalu memandang lurus ke depan. Allah swt sengaja menciptakan bumi ini berbentuk bulat supaya manusia bisa memahami bahwa kadangkala ia harus memandang ke atas dan ke bawah. Berbohong dianggap hina dan tercela bukan karena bohong itu sendiri, sebagaimana babi diharamkan karena memang babi itu sendiri yang tercela. Tetapi berbohong dianggap buruk, hina dan tercela karena bahaya yang timbulkannya, baik kepada pelaku bohong, orang yang dibohongi, bahkan orang lain yang ada sekitarnya. Sebab itu, bohong yang dimaksudkan dapat memetik kehinaan dan dosa adalah bohong yang menimbulkan kerugian baik materi maupun moril. Alangkah hinanya seseorang yang berbohong, yang akibat kebohongannya tersebut menimbulkan kerusakan. Sebaliknya, alangkah indahnya berbohong, yang dengan kebohongan itu memberikan kebaikan dan maslahat besar. Banyak kesuksesan besar dicapai, sebagaimana banyak keberhasilan diraih karena kebohongan. Yakinlah bahwa dibalik kesuksesan yang anda impikan adakalanya kebohongan harus menyertainya! Mungkin jadi orang-orang akan berbondong-bondong menyampaikan ucapan selamat dan menghaturkan rasa kekaguman pada diri anda karena anda telah memberinya sebuah kebohongan. Lebih dari itu, anda mendapatkan kemuliaan dari Yang Maha Mulia, Allah swt karena bohong yang anda lakukan.

B. Belajar dari bohong Nabi Ibrahim dan Ammar
Marilah kita belajar dari sejarah. Inspirasi berharga bisa dipetik dari kisah Nabi Ibrahim a.s. manusia pilihan Tuhan bergelar Halilullah (kekasih Allah). Beliau manusia jujur teladan hidup. Demi sebuah 'izzah (kemuliaan) yang begitu berharga, beliau berbohong dalam kejujurannya. Bahkan kebohongan itu adalah kejujuran sejatinya. Ada tiga kebohongan yang pernah dilakukan Ibrahim a.s. 

Pertama, berbohong untuk menghindari perbuatan syirik. Beliau diajak untuk ikut dalam hari raya penyembahan berhala kaumnya. Ketika beliau diajak, ia memandang ke bintang dan berkata sesungguhnya aku sakit 
 إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ (85) أَئِفْكًا آلِهَةً دُونَ اللَّهِ تُرِيدُونَ (86) فَمَا ظَنُّكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ (87) فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُومِ (88) فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ (89) 
Artinya : Maka Apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?" Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata:"Sesungguhnya aku sakit". 
(Q.S. 37 : 87-88).

Kedua, Berbohong dalam sebuah diplomasi terhadap kasus penghancuran berhala yang beliu lakukan. 
 قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ (59) قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ (60) قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ (61) قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (62) قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ (63)
Artinya: Kaumnya berkata "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?". Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara" (Q.S. 21: 61-62)

Ketiga, Berbohong bersama istrinya untuk menghindarkan diri dari kekejaman tangan penguasa dzalim. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw telah bersabda, Ketika Ibrahim melakukan perjalanan bersama istrinya Sarah, ia memasuki satu perkampungan yang dipimpin oleh raja yang zalim. Dikatakan kepada mereka, seorang bernama Ibrahim datang bersama wanita yang sangat cantik. Ibrahim ditanya siapakah wanita ini? Ibrahim menjawab, saudara perempuanku!. Kemudian Ibrahim kembali kepada Sarah dan berkata; "Aku telah mengatakan kepada mereka bahwa kamu adalah saudara perempuanku, maka janganlah mendustakan ucapanku, sesungguhnya di dunia ini tidak ada orang beriman selain aku dan dirimu!" Lalu Ibrahim mengutus Sarah kepadanya, dan ketika ia telah masuk kepada raja, raja ingin berbuat tidak baik kepadanya. Maka Sarah pun pergi berwudhu dan shalat kemudian ia berdoa; "Ya Allah jika aku beriman kepada-Mu dan kepada Rasul-MU serta aku telah menjaga kehormatanku hanya untuk suamiku, maka jangan biarkan orang kafir menguasaiku!". Raja pun tercekik lehernya dan kakinya gemetaran. Sarah berdoa; "Ya Allah jika ia meninggal, maka aku akan dituduh pembunuhnya". Kejadian itu berulang dua hingga tiga kali. Akhirnya raja berkata; " Tiadalah yang kamu datangkan itu kecuali setan!" Kembalikan dia kepada Ibrahim dan beri upah kepadanya. Akhirnya Sarah kembali kepada Ibrahim lalu berkata; "Apakah kamu merasakan bagaimana Allah telah menyiksa orang kafir dan orang kafir itu telah memberiku pelayan perempuan. H.R. al-Bukhari 

Tiga kisah kebohongan Ibrahim a.s. yang diabadikan dalam al-Quran dan hadis memberikan pesan bagaimana memberi nilai terhadap setiap ucapan dan perbuatan. Meskipun bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku, bahkan bertentangan dengan kebenaran dalam konteksnya yang umum. Tetapi pertentangan itulah menjadi titian untuk menyampaikan sebuah kebijaksanaan dan demi terjaganya kebaikan. Dalam tekanan batin yang sangat berat, jujur dalam bohong kadangkala terjadi di luar kontrol logika dan pengendalian diri, hanya bahasa iman yang tertulis dalam fuad (hati paling dalam) yang mampu memahaminya. Ammar bin Yasser saat melihat kedua orangtua tercintanya disiksa dan dibunuh oleh orang kafir, ia harus berbohong dalam kejujuran imannya dengan menyebut nama huban (salah satu berhala yang dipertuhankan orang kafir). Ketika Ammar tersadar dari apa yang telah diucapkannya, ia merasa telah kehilangan segalanya, kehilangan orang-orang yang dicintainya bahkan merasa kehilangan pegangan hidup, telah berpaling dari kebenaran Islam. Tetapi, Nabi saw memberi jawaban kepada Ammar dengan linangan air mata kasih sayang lalu bersabda "tidaklah termasuk berpaling jika apa yang dikatakan dalam keadaan terpaksa, karena sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." 

Perjalanan menuju puncak kebaikan tidaklah selamanya dengan jalan lurus. Ada kalanya harus keluar dari jalur lurus, imma ke samping kanan dan imma ke samping kiri. Membelokkan arah dari jalan utama yang lurus bukanlah suatu penyimpangan apalagi ketersesatan, jika hal itu sebagai upaya mengefektifkan perjalanan untuk menghindari hambatan yang dapat menggagalkan tujuan utama yang maslahatnya jauh lebih besar. Dalam konteks ini, seringkali ada keputusan yang diambil tidak populis sehingga sulit dibahasakan dengan bahasa umum akhirnya tidak bisa pula dipahami secara umum. Dalam perang Khandak, sebuah taktik spektakuler yang diambil Rasulullah saw dengan melakukan tipuan. Beliau mengatakan kepada Nu'aim bin Mas'ud al-Asyja'i "innama anta rajulun wahidun, fakhazzil 'anna mastata'ta fainnal harba khad'ah" (engkau adalah orang satu-satunya, berilah pertolongan kepada kami sesuai kesanggupanmu, sesungguhnya perang adalah tipuan). Menipu sudah pastilah dipenuhi kebohongan. Sebab itu dapat dipahami bahwa perintah Nabi saw kepada Nu'aim adalah perintah untuk melakukan kebohongan. Tetapi adanya maslahat yang lebih besar terhadap perjalanan risalah Islam di masa depannya menjadikan tipuan yang sifat dasarnya terlarang sebagai pilihat tepat untuk memenangkan pertarungan dan demi sebuah izzah (kemuliaan). Kita tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Rasulullah dan umat Islam sekiranya saja harus kalah dalam perang khandak. Maka kebohongan adalah keburukan dan sumber dosa, dan jalan menuju kerusakan. Namun kebohongan yang sejatinya adalah keburukan jika harus dilakukan, pastikanlah bahwa bohong itu adalah kebenaran, dan jalan menuju kemuliaan. Itulah kebohongan yang menjadi agama. Dari pada jujur dalam kepolosan yang berujung kebinasaan. "Dan janganlah membuang dirimu dalam kehancuran (Q.S. 2 : 195). Wallahu 'Alam.

Menggiatkan Taubat Dalam Diri


Manusia diciptakan Allah swt membawa dua potensi dalam dirinya, yaitu potensi kebaikan dan potensi keburukan.
 وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا 
Artinya : Demi jiwa serta kesempurnaannya. Maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kejahatan dan jalan ketaqwaannya. Q.S. al-Syams: 7-8 
Kedua potensi ini akan selalu tarik menarik untuk bisa unggul dan menjadi pemenang sehingga tampil sebagai panglima yang mengendalikan hati dan perbuatan manusia. Jika potensi baik yang dominan dalam diri maka ia akan membawa seseorang untuk melakukan kebaikan, sebaliknya jika potensi buruk yang dominan maka ia akan membawa seseorang melakukan keburukan dan kejahatan pula. Manusia memiliki kecenderungan untuk selalu melakukan kedua hal tersebut. Karena itu pulalah manusia pada hakekatnya tidak ada yang bersih dan suci dari dosa dan kesalahan, sebagaimana tidak ada manusia yang hampa dan kosong dari kebaikan. Seburuk-buruknya orang maka pastilah ada kebaikannya, dan sebaik-baiknya orang pastilah ada keburakannya. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk selalu menjaga kesucian jiwanya dan kesucian hubungannya dengan Allah. 
 
A. Manusia dan Dosanya 
Setiap orang berusaha untuk menjadi baik. Namun, bagaimana pun ia berusaha melakukan kesalehan dan mengerjakan kebajikan, tergelincir dalam dosa tidak akan bisa dihindari, baik dosa besar maupun dosa kecil. Muhammad al-Haisami menyebutkan 466 jenis dosa, sedangkan dosa besar menurut al-Zahabi sekitar 70 jenis. Betapa luas wilayah dosa, di mana manusia bisa terjebak di dalamnya setiap saat. Dosa laksana lautan yang harus diseberangi oleh manusia jika ingin selamat. Sebab itu manusia butuh kemampuan dan kekuatan agar bisa menyeberanginya. Jika tidak, pasti akan tenggelam ke dasar lautan kehinaan dan kebinasaan. Dosa bisa hadir kapan dan di mana saja. Orang bisa berdosa di rumah, di kantor, di pasar, di tempat kerja, di jalan, bahkan di Mesjid. Bahkan orang bisa berdosa dengan ibadahnya, berdosa dengan shalatnya atau sedekahnya. Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan dan dosa, tetapi orang yang baik dan mulia adalah jika melakukan dosa segera menyadari dosanya itu, menyesalinya, lalu meninggalkannya, kemudian bertekat untuk tidak mengulanginya dan memohon kepada Allah untuk diampuni. Dalam hadis dikatakan, "setiap manusia senantiasa melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat". 
 
B. Arti Taubat 
Taubat berasal dari kata taba-yatubu artinya kembali, artinya kembali ke jalan yang benar. Sedangkan defenisi taubat secara terminologis, beberapa ulama memberikan pengertian, antara lain: 
  • Jurjani mengatakan bahwa taubat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan segala keterkaitan diri dari perbuatan dosa dan melakukan semua kewajibannya. 
  • Menurut al-Gazali, taubat adalah kembali dari memperturutkan syahwat dan menaati setan kepada jalan Allah. 
  • Sedangkan menurut Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa taubat adalah menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan menyesali atas dosa-dosanya dan menaati perintah-Nya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosanya. 
 
Dari pendapat ulama di atas dapat dipahami bahwa taubat adalah kembali kepada Allah setelah menjauh dari-Nya dengan jalan menjauhkan diri dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang dtelah dilakukan, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosanya. Allah swt menjadikan taubat sebagai sarana perbaikan diri, sekaligus pintu yang harus ditempu untuk bisa meraih ampunan Allah. Taubat berasal dari kata taba artinya kembali. Bertaubat berarti kembali kepada Allah setelah menjauh darinya, kembali kepada kebenaran setelah melenceng dari jalannya yang mustaqim (lurus). Pada hakekatnya orang yang melakukan dosa maka ia menjauh dari Allah dan Allah pun menjauh darinya. Jika manusia jauh dari Allah dan Allah jauh darinya pastilah ia akan tersesat di dunia dan celaka di akhirat. Kata taubat disebutkan dalam al-Quran dengan varian katanya sebanyak 87 kali. Hal ini menunjukkan bahwa taubat memiliki ahammiyah yang perlu diperhatikan. Taubat memiliki nilai ketauhidan yang fundamental dalam kehidupan beragama. Dalam Surat al-Tahrim ayat 8 Allah swt berfirman;
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 
Artinya: Hai orang orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan semurni-murninya taubat mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus segala kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai… 
 
Dalam hadis Rasulullah memerintahkan untuk bertaubat kepada Allah, beliau sendiri bertaubat kepada Allah setiap harinya hingga seratus kali. Taubat adalah sarana yang dipersiapkan Allah kepada hambanya jika sedang berada di persimpangan jalan kemaksiatan. Taubat adalah penuntun menuju cahaya ketika seorang hamba terjebak di dalam lorong kegelapan dosa, taubat adalah pengendali untuk kembali ke jalan yang diridhai Allah setelah melenceng dari jalan yang benar. Taubat bukan Karena ketidakberdayaan Allah swt menggariskan bahwa tiadalah artinya taubat saat manusia berada dalam ketidakberdayaan, taubat juga bukanlah keputus asaan. Dalam Q.S. al-Nisa ayat : 18 Allah swt berfirman: 
 وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا 
Artinya: Dan taubat itu tidaklah akan diterima Allah dari mereka yang melakukan kejahatan, sehingga apabila ajal telah datang kepada seseorang di antara mereka barulah ia mengatakan; saya benar-benar bertaubat sekarang. Tidak pula diterima taubat seseorang yang meninggal dalam kekafiran, mereka itulah akan mendapatkan azab yang pedih.
 
Firman Allah di atas dicontohkan dengan kisah Firaun yang kemudian pasrah berserah diri dan bertaubat kepada Allah saat dalam ketidakberdayaannya. Tetapi kepasrahan dan berserah dirinya tiada lagi memiliki muatan taubat. Allah swt berfirman , 
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ (90) آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ 
 
Artinya: dan kami selamatkan Bani Israil dari dengan menyeberangi lautan, maka Firaun dan pasukannya mengikutinya dengan penuh permusuhan dan untuk menindas mereka. Maka ketika Firaun hampir tenggelam, ia pun berkata; aku beriman bahwasanya tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Mengapa baru sekarang kamu beriman padahal kamu telah durhaka sejak dulu, dan kamu termasuk orang-orang yang durhaka
 
C. Taubat adalah kekuatan
Taubat adalah kesadaran akan dosa yang telah dikerjakan, meninggalkannya di saat dosa itu masih mampu dilakukannya, menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, dan memohon kepada Allah untuk diampuni dosanya. Taubat adalah kekuatan yang melahirkan pengendalian diri untuk keluar dari jeratan maksiat. Kekuatan yang melahirkan kesadaran dalam logika dan rasa imani, melahirkan penyesalan dan mengharap kebaikan. Melahirkan tekad segera meninggalkan kegelapan maksiat tanpa kata tunda, menjemput cahaya hidayah Allah sebelum segalanya terlambat. Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Nisa: 17
 إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا 
Artinya: sesungguhnya taubat kepada Allah dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobak kepada Allah. Mereka itulah yang akan diampuni oleh Allah swt. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 
 
Firman Allah swt di atas digambarkan dalam hadis kisah taubatnya seorang wanita pezina yang mampu mengendalikan perasaannya, mengabaikan emosinya, menghilangkan rasa malu dan takutnya di hadapan manusia. Taubatnya adalah kekuatan yang mengalahkan kekerdilan berfikir dan kepicikan pandangan tentang hakekat hidup beragama
. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى، فَقَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللهِ، أَصَبْتُ حَدًّا، فَأَقِمْهُ عَلَيَّ، فَدَعَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَّهَا، فَقَالَ: «أَحْسِنْ إِلَيْهَا، فَإِذَا وَضَعَتْ فَأْتِنِي بِهَا»، فَفَعَلَ، فَأَمَرَ بِهَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ، ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: تُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اللهِ وَقَدْ زَنَتْ؟ فَقَالَ: «لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ، وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى؟»، 
Artinya: 'Imran bin Husain menceritakan seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi saw sedang ia dalam keadaan hamil karena berzina, lalu berkata; "wahai Nabi Allah, aku telah ditimpa kesalahan yang mengharuskan aku dihad (dera) maka laksanakanlah had itu kepadaku". Nabi saw lalu memanggil walinya dan berkata kepadanya; "perlakukanlah dengan baik wanita ini, jika sudah melahirkan bawahlah ia kembali kepadaku". Maka dilaksanakanlah oleh walinya. Setelah wanita itu melahirkan ia dibawah kembali lalu Nabi saw memerintahkan untuk mendera wanita tersebut. Wanita itu diikat dengan bajunya kemudian dirajam. Setelah meninggal, Rasulullah menyalatinya. Umar r.a. bertanya; wahai Nabi Allah, engkau menyalatinya padahal ia seorang pezina?" Beliau bersabda; "wanita itu benar-benar telah bertaubat, seandainya taubatnya itu dibagi kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah niscaya masih cukup. Apakah kamu pernah mendapatkan taubat yang lebih utama dari seseorang yang telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung?" H.R. Muslim. 
 
Betapa mulia wanita tersebut, berani menyatakan kesalahannya dan meminta dihukum sebagai konsekuensi logis dari perbuatannya. Ia tidak menjadikan dosa besarnya sebagai kehinaan yang menghancurkan dirinya, tetapi kesalahan yang harus dihentikan. Ia tidak menjadikan dosa besarnya sebagai ratapan penyesalan tiada akhir, tetapi ia segera beranjak menggapai kasih sayang dan ampunan Allah dalam dekapan maaf-Nya yang mulia. Ia segera memanfaatkan taubat sebagai sarana untuk meniti kembali jalan menuju cinta Allah setelah ia jauh dari-Nya. Ia mampu membuktikan bahwa perbuatan dosa ada titik starnya mencapai kemuliaan. Rasulullah pun memberikan penghormatan dan menyatakan sebagai taubat yang terbaik. Menyegerakan Taubat Saudaraku, segeralah bertaubat kepada Allah, sesungguhnya tiada kata tunda untuk melakukan taubat. Pelaksanaan taubat harus dilakukan berkali kali sebanyak dosa yang diperbuat. Bayangkanlah, betapa banyak istri berdosa kepada suaminya, suami berdosa kepada istrinya, anak berdosa kepada orangtuanya, orangtua berdosa kepada anaknya. Betapa banyak pemuda berdosa karena enggan untuk segera menikah, betapa banyak gadis-gadis yang berdosa karena mempertontonkan auratnya, betapa banyak pemimpin yang berdosa kepada rakyatnya karena tidak mengabaikan hak-haknya Imam Al-Gazali menyebut tiga macam taubat; pertama,taubat yaitu kembali kepada kebenaran, melakukan ketaatan, dan hidup dalam suasana kebajikan. Kedua, firar (lari) dari segala kemaksiatan menuju cahaya kebenaran. Ketiga, niabat yaitu permohonan ampun secara terus menerus sekalipun tidak berdosa. Pada hakekatnya taubat bukanlah sarana khusus bagi para pendosa, lebih dari itu taubat merupakan kebaikan bagi seluruh hamba, termasuk yang merasa tidak melakukan dosa. Jika taubat bagi pelaku dosa adalah jalan untuk kembali kepada Allah setelah sekian lama menjauh dari-Nya, agar bisa mendapatkan ampunan-Nya, maka taubat bagi yang merasa tidak melakukan dosa adalah sarana untuk memperbanyak pahala. Maka segeralah bertaubat kepada Allah, karena taubat begitu berarti dalam kehidupan kita. Kemuliaan bukan karena tidak melakukan dosa, tetapi ketika terpeleset dalam dosa, ia segera keluar dari dosa tersebut. Wallah 'alam bissawab