Minggu, 01 November 2009
EMOTIONAL LEARNING
Membentuk Kepribadian Insan Kamil
Pendidikan adalah aktifitas yang memiliki peranan dominan dan urgen dalam proses perubahan prilaku manusia. “Pendidikan merupakan kekuatan inovatif yang dapat digunakan untuk proses perubahan lebih lanjut dalam masyarakat” (Djainuri, 2001 : 3) secara eksternal, dan sebagai penggerak transformasi nilai dalam membantu perkembangan kepribadian manusia untuk mewujudkan kesadaran diri secara internal. Pendidikan bukanlah dalam bingkai pengajaran yang hanya sekedar proses nukilan ilmu belaka, akan tetapi, pendidikan adalah suatu “proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efesien”. Konsepsi ini memberikan pemahaman yang jelas bahwa pendidikan adalah suatu proses pembentukan kepribadian yang sempurna dalam menjalani kehidupan ini, sesuai pesan ilahiyah dan fitrah insaniyah (insan kamil) (Azyumardi Azra (1999 : 3)
Dewasa ini, Apa yang menjadi prinsip dasar dan idealitas pendidikan jauh dari harapan. Perkembangan teknologi yang begitu canggih sebagai wujud kemajuan ilmu dan pengetahuan justru tidak memberikan solusi terhadap perubahan kondisi masyarakat yang semakin jauh menyimpang. Pendidikan hanya sebatas proses transfer ilmu pengetahuan untuk mendapatkan nilai pendidikan dan melupakan pendidikan nilai. Hal inilah yang menyeret manusia hanya mengutamakan kecerdasan intelektualnya sementara kecerdasan emosional dan spiritualnya dilupakan.
Pendidikan yang hanya dibangun dengan kecerdasan intelektual dan melupakan kecerdasan lainnya telah membawa konsekuensi dalam kehidupan masyarakat. Manusia tumbuh dan berkembang laksana robot, berjalan dan bekerja tanpa perasaan. Bahkan ketika manusia semakin maju dalam dunia rasio dan intelektual, pada saat itu pulahlah manusia semakin jauh dari nilai-nilai dan hakekat kemanusiaan. Lantas di mana letak peran pendidikan yang tujuan utamanya melakukan perubahan tingkah laku ke arah yang baik dan positif??.
Krisis emosional telah melanda masyarakat, bagaikan wabah yang berjangkit secara sporadis di mana lembaga pendidikan sebagai satu satunya benteng pertahanan terakhir tidak dapat diandalkan lagi. Krisis emosional seperti kriminalitas, dekadensi akhlak bukan saja dialami orang dewasa, bahkan telah merambah dan meracuni kehidupan remaja hingga anak anak. Tidak mengagetkan ketika mendengar berita seorang murid sekolah dasar menembak kawannya di suatu sekolah dasar di Amerika. Berita tentang anak belasan tahun yang berbuat cabul melakukan tindakan kriminal, anak sekolah yang melakukan pesta narkoba telah menjadi berita harian di semua media pemberitaan.
Kenyataan ini menunjukkan adanya keterlupaan dan kekhilafan dalam setting pendidikan selama ini. Pendidikan di arahkan kepada aspek kognitif dan melupakan afektif dan psikomotoriknya. Sehingga output dan outcome pendidikan hanya mempunyai kecerdasan sepihak. Yaitu kecerdasan intelektual, sementara kepribadiannya sangat rapuh. Kecerdasan emosionalnya tidak berkembang ke arah positif. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan jauh dari harapan yang mana diwujudkan sebagai washilah (jalan penghubung) yang menghantarkan manusia untuk memiliki kepribadian yang sempurna.
Kecerdasan emosional memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Manusia menentukan keputusan dan tindakan atas persetujuan emosionalnya. Bahkan perasaan adalah sumber kekuatan ampuh yang dimiliki setiap manusia. Setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Banyak orang berhasil dan sukses dalam kehidupannya bukan karena faktor kecerdasan akal atau karena beIQ tinggi, akan tetapi mampu membangun kecerdasan emosionalnya dengan baik.
Banyak yang berIQ tinggi tapi ternyata gagal dalam mencapai puncak prestasinya. Berapa banyak kaum terpelajar akhirnya masuk dalam perangkap kriminalitas. BerIQ tinggi tapi melakukan sesuatu yang tidak rasional. Ia terperosok dalam nafsu tak terkendali dan tidak mampu membangun dan membentuk kepribadiannya dengan mantap. Meskipun tidak dinafikan bahwa kehidupan tanpa nafsu bagaikan padang pasir netralitas yang datar dan membosankan, terkucil dari kebermaknaan hidup, akan tetapi kegagalan dalam pengendalian fungsi nafsu akan berakibat malapetaka bagi kepribadian itu sendiri.
Maka dalam tulisan ini, akan dibahas tentang hakakekat emosional dan kecerdasan emosional sebagai alternatif solution untuk memperbaiki paradigma pendidikan yang dianggap gagal dalam membentuk masyarakat yang benar-benar terdidik dan sempurna. Dan bahwa EQ sangat penting untuk dididik dan dikembangkan kepada setiap orang dalam mencapai kemantapan dan kesempurnaan hidup.
B. Kecerdasan Emosional dan Otak Emosional.
1. Makna Emosi dan Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Goleman, emosi adalah kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, keadaan mental yang meluap luap. Emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan sosiologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2001 : 411). Dari penjelasan ini emosi dapat diidentifikasi dengan beberapa sifat yang dimiliki antara lain;
1. Amarah.; seperti beringas, benci, jengkel, kesal, tersinggung, bermusuhan, kekerasan, dan kebencian.
2. Kesedihan; seperti pedih, sedih, muram, melangkolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.
3. Rasa takut; seperti cemas, gugup, khawatir, waswas, waspada, dan ngeri.
4. Cinta; seperti penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, kasmaran, kasih, dan romantis.
5. Terkejut; seperti terkesiap, takjub, dan terpana.
6. Jengkel; hina, jijik, muak, benci, tidak suka.
7. Malu; seperti rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati yang hancur (Goleman, 2001 : 412).
Ketujuh hal di atas menjadi bagian dalam kehidupan setiap manusia, menjadi penyambung hidup bagi kesadaran dan kelangsungan diri yang menghubungkan manusia dengan dirinya sendiri, alam, dan dengan kosmos ( Segal, 2001 : 19). Siapa pun dan dari suku mana pun seseorang yang mengalami jenis emosi ini akan menampilkan ekspresi muka yang sama. Sehingga orang yang menguasai emosinya akan membimbing jalan hidupnya ke arah yang positif, membangun hubungan kasih yang romantis dan mencapai kesuksesan hidup. Sebalikya, orang yang tidak mampu menguasai emosinya akan terjebak dalam budak nafsu emosi sendiri
Ketidakmampuan mengontrol emosi akan mengantarkan kita dalam kehancuran. Ali Syariati seperti dikutip Ary Ginanjar, bahwa manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah, mereka seperti berbaris di depan rumah perampok menunggu giliran untuk dirampok. Mereka mereka ini termasuk orang yang buta hati atau buta nurani atau memiliki kecerdasan emosional yang rendah (Ary Ginanjar, 2001 : xli).
Adapun kecerdasan emosional, Nasaruddun Umar (2002 : 5) mendefenisikan nya sebagai kemampuan untuk menjinakkan emosi dan mengarahkannya pada hal-hal yang lebih positif. Dengan kata lain bagaimana mengendalikan potensi-potensi emosi bisa disalurkan kepada yang baik dan tidak mengantarkan kepada kegagalan dan kehancuran sehingga mampu meraih kesuksesan dan kebahagiaan.
Kecerdasan emosional adalah kecerdasan hati nurani yang menentukan keputusan pikiran dan tindakan. Di dalam al Quran sendiiri Allah telah memberikan penggambaran adanya kecerdasan emosional dengan lafadz “qalbu, nafsun, fuad” seperti dalam firmanNya “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibumu tidak mengetahui sesuatu, lalu Allah menciptakan kepadamu pendengaran, penglihatan dan menciptakan hati (sebagai media kecerdasan emosional)”.
2. Otak Emosional.
Otak manusia adalah satu satunya organ yang sangat berkembang sehingga ia dapat mempelajari dirinya sendiri. Pada dasarnya otak mempunyai tiga bagian dasar; otak reptil atau talamus, sistem limbik atau amigdala dan neokorteks. Ketiganya memiliki struktur saraf tertentu sehingga ia dapat berkembang pada waktu yang berbeda dalam sejarah evolusi manusia.
Yang pertama dalam perkembangan dan evolusi adalah otak reptil. Otak ini berperan sebagai motor sensor-pengetahuan tentang realitas fisik yang berasal dari panca indra. Di sekeliling otak reptil terdapat otak mamalia atau sistem limbik. Ia terletak di bagian tengah otak yang fungsinya bersifat emosional dan koknitif ; yaitu menyimpan perasaan, pengalaman, memori, kemampuan belajar, mengendalikan bioritme seperti pola tidur, haus, lapar, detak jantung, gairah biologis, metabolisme dan lain-lain. Adapun otak neokorteks terbungkus di sekitar bagian atas dan sisi-sisi sistem limbik. Bagian otak ini terletak kecerdasan. Sehingga otak inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan, pendengaran, dan sensasi tubuh. Neokorteks merupakan otak proses penalaran, berfikir secara intelektual, bahasa, motorik sadar dan lain-lain. (Bobbi DePorter, 2001 : 28). Akar otak reptil atau menurut istilah Goleman otak primitif. berperan mengatur fungsi-fungsi dasar kehidupan seperti bernafas dan metabolisme organ lain. Dari akar otak yang paling primitif ini terbentuk pusat emosi dan dari wilayah emosi berkembang otak berfikir atau neokorteks (Goleman, 2001 : 13).
Apa yang diungkapkan Bobbi dan Goleman sangat jelas bahwa ketiga otak ini memiliki tugas masing-masing dan bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya. Ia memiliki jaringan sirkuit yang kuat antara satu dengan lainnya. Ketiga otak ini pulalah yang akan membentuk kepribadian manusia. Dapat dipahami pula bahwa otak pikir manusia ternyata mendapat dukungan dari emosi. Refleksi yang dilakukan neokorteks secara otomatis mendapat sinyal persetujuan dari amigdala.
Pada dasarnya Emosi memiliki dua tahapan; tahap dalam kesadaran dan tahap di luar kesadaran. Emosi yang masuk dalam kesadaran merupakan tanda terekamnya pesan ke dalam neokorteks sedangkan yang di luar kesadaran mempunyai pengaruh besar terhadap cerapan dan reaksi yang terjadi meskipun tidak mengetahui bagaimana emosi itu bereaksi (Goleman, 2001 : 75)
Dalam artian informasi yang diterima dari indra disamping diproses talamus menuju neokorteks, ada pesan-pesan dari indra manusia yang tercatat dalam struktur otak yang paling terlibat dalam memori emosi (amigdala), Sebelum pesan-pesan itu masuk ke dalam neokorteks (Segal, 2001 : 26). Ia bekerja di luar kesadaran. Temuan ini akhirnya membungkam image dan pemahaman selama ini bahwa jalur-jalur yang ditempuh oleh emosi atau amigdala melalui kebergantungan seluruhnya pada sinyal-sinyal dari neokorteks untuk merumuskan reaksi emosionalnya.
Amigdala sebagai otak emosi dapat memicu respon tindakan sebelum neokorteks memikirkannya. Pesan-pesan yang dikirim panca indra yang bersifat dharurat langsung memicu respon emosional sebelum pesan itu diolah dalam neokorteks. Meskipun informasi neokorteks lebih lengkap, tetapi proses pengolahannya lebih lamban (Goleman, 2001 : 24), sehingga amigdala sebagai otak yang menangani masalah-masalah emosi dapat bertindak sendiri terlepas dari neokorteks. Seperti bagan di bawah ini;
Talamus
Indra Neokorteks
Amigdala
Seorang gadis dengan spontanitas menangis tersedu sedu dengan linangan air mata ketika mendapat kabar kekasihnya telah beralih ke orang lain. Supporter tim Sinegal langsung berpelukan saat timnya menang. Kejadian-kejadian yang dialami baik gadis, dan supporter tersebut merupakan bentuk respon emosional dari amigdalanya sebelum informasi tersebut masuk dalam neokorteksnya.
Oleh sebab itulah, ketika otak emosional manusia mengalami kerusakan maka ia tidak akan mampu untuk mengambil keputusan dalam hidupnya. Meskipun otak rasionalnya masih normal dan sehat, mampu berbicara, berfikir, dan berprestasi dalam akademik, tapi tidak bisa mengambil keputusan yang tepat terhadap apa yang dipikirkannya. Ini berarti bahwa kecerdasan intelektual seseorang memiliki sinergi dengan kecerdasan emosional.
3. Metode Menumbuhkan EQ Dalam Diri
Secara rinci EQ memiliki kualitas kualitas yang terdiri dari; Empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah orang antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat (L. E Shapiro, 2001 : 5). Untuk menentukan seseorang telah mengendalikan emosinya ke arah yang positif yaitu ketika mampu menguasai kualitas EQ di atas. Kualitas inilah yang harus ditumbuhkan dan dikembangkan dalam diri dengan baik.
Adapun metode menumbuhkan dan meningkatkannya, Jeanne Segal menyebutkan tiga langkah dan cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kecerdasan emosioal (2001 : 36-37);
Langkah Pertama, merasakan perasaan tubuh kita. Langkah ini merupakan upaya mengenali segala emosi dalam diri sebagai bagian dari kejadian fisik. Merasa sedih dan duka sebagai tekanan berat di dada. Kemarahan akan terasa di kepala dan dada. Cinta merupakan sentuhan yang muncul dari bilik hati, takut sebagai perasaan mual di perut dan sebagainya. Ini berarti bahwa segala gejolak emosi adalah bagian dari kejadian fisik. Gejolak ini harus diantisipasi dan dikendalikan sehingga tidak kehilangan kendali.
Sebagai upaya pengendalian awal adalah mengingat kejadian-kejadian yang dialami dengan tetap mantap dan bertahan dalam perasaan itu sampai rasa sakitnya hilang. Langkah ini dapat dilakukan dengan latihan-latihan menguatkan otot emosioal seperti layaknya otot lainnya. Latihan ini akan membuat emosi terasa sehat sehingga dapat membaca dan mengenali perasaan diri dan perasaan orang lain.
Adapun latihan untuk menguatkan otot emosional yaitu dengan menciptakan suasana yang fresh, nyaman dan menyenangkan. Tidak dibebani pikiran, jauh dari rokok dan alkohol serta membangkitkan emosi dengan alunan musik. Setelah merasa santai, kembali melakukan penegangan dan mengencangkan dan kemudian melemaskan setiap bagian tubuh dari kaki sampai kepala hingga benar-benar lemas dan santai. Kosongkan benak dari pikiran yang tidak berkaitan, ambil napas dalam dalam, lepaskan pikiran bersama setiap embusan napas. Setelah selesai, pindahkan pusat perhatian pada daerah yang terasa sakit dan arahkan napas ke pusatnya. Jika dada yang sakit karena sedih, maka arahkan perhatian ke pusat dada hingga akhirnya perasaan terkuat. Perasaan yang mencuak tersebut ditahan dan dijinakkan dengan baik setelah selesai berlatih, regangkan badan dengan hentakan kaki atau jalan-jalan.
Langkah kedua, Menerima perasaan Emosi. Menerima perasaan emosi sangat penting bagi setiap orang. Ketika seseorang tidak dapat menerima emosinya sama saja tidak menerima dirinya sendiri dan akan menghilangkan kebijaksanaan untuk membuat keputusan tepat.
Penerimaan di sini bukan berarti kepasrahaan yang pasif, menerima hidup apa adanya, dan membiarkan terombang ambing oleh perasaan orang lain. Menerima perasaan berarti dengan senang hati merangkul setiap perasaan sebagai informasi saat perasaan itu muncul dan sebagai bagian penting dalam diri serta dapat menanggung emosi. Dengan menerima emosi ini berarti bahwa apa yang dirasakan dalam diri sama dengan orang lain. Ketika merasakan sakit pada diri, maka juga dapat merasakan sakit pada orang lain, dalam artian apa yang dirasakan dalam diri, juga dirasakan kepada orang lain.
Langkah ketiga, menggunakan emosi bersama dengan daya kesadaran atau dengan kata lain mengalami sepenuhnya setiap emosi dengan aktif. Kesadaran ini bertujuan untuk menerjemahkan perasaan ke dalam tindakan. Oleh karena itu, langkah ketiga ini peran pikiran sangat diperlukan sebagai tempat penyimpanan semua asosiasi respon kejadian-emosional yang dibuat. Pikiran berperan mengolah segala informasi kejadian emosional yang kemudian melahirkan suatu tindakan. Dengan demikian, memiliki daya kesadaran akan mempengaruhi sikap dan kepribadian seseorang. Ia akan menterjemahkan dan menanggapi kebutuhan orang lain tanpa harus mematikan kebutuhan diri sendiri.
Ketiga hal di atas merupakan langkah yang ditawarkan Jeanne Segal sebagai upaya meningkatkan dan melejitkan kepekaan dan kecerdasan emosional. Apa yang ditawarkannya berbentuk pencapaian tingkat kesadaran emosi diri. Pengetahuan yang mantap tentang perasaan saat menjalani hidup dan berinteraksi dengan orang lain merupakan kunci rahasia untuk membangun kepribadian yang sempurna dan memelihara hubungan yang harmonis dengan orang lain. Segala permasalahan yang terjadi akan dihadapinya dengan pengendalian diri bukan berlepas dari tanggung jawab. Hidup saling memahami antara satu dengan yang lain.
4. Antara EQ dan IQ
Kenyataan membuktikan bahwa IQ yang tinggi ternyata tidak mampu bahkan gagal memberikan jaminan kebahagiaan. Tidak mampu mencipta orang untuk memiliki komitmen, integritas, komfidens, kreatif, adil, dan bijaksana. Orang yang memposisikan IQ di atas segalanya dan melupakan EQ merupakan karikatur kaum intelektual, terampil di dunia pemikiran tetapi canggung di dunia kepribadiannya. Pemikiran pemikirannya sangat cemerlang tetapi melupakan makna perasaan sehingga membosankan. Tidak berlebihan ketika ada pertanyaan kapan orang pintar itu bodoh? Jawabannya adalah ketika ia tidak mampu mengontrol kehidupan emosionalnya dengan baik. IQ tidak sempurna tanpa keseimbangan emosional. Bagaimanapun perasaan sangat dibutuhkan untuk menentukan keputusan rasional.
Keputusan yang diambil seseorang tentang siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya, apa yang akan dimakan hari ini, ingin jadi/kerja apa setelah selesai studi di pascasarjana, bagaimana menentukan pilihan untuk calon suaminya merupakan keputusan-keputusan kerja EQ, di mana IQ tidak mampu melakukannya. Akal hanya memikirkan, memberi pertimbangan dan perasaanlah yang kemudian mengambil keputusan apa yang telah dipikirkan akal.
Orang berIQ tinggi tetapi beEQ rendah tak lebih seperti apa dialami Hilman yang akhirnya menjadi tukang reparasi alat panggang roti. Hilman adalah orang yang berIQ tinggi dengan prestasi akademik yang mengagumkan tetapi akhirnya gagal dalam hidupnya karena mengalami kekecewaan pertama (Seagel, 2000 : 29). Kekecewaan seperti yang dialami Hilman banyak kemungkinannya, mungkin karena orang tuanya bercerai, mungkin juga karena cinta pertamanya gagal. Akhirnya kejadian itu meruntuhkan kepercayaan dirinya, menjadi tertutup, cepat marah, dan suka menyendiri..
EQ mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda beda akan tetapi dengan IQ seimbang dan sejalan sebagai jaringan sirkuit, saling membutuhkan dan saling mengisi. Emosi dan rasio adalah hati dan akal yang merupakan dua bagian dari satu keseluruhan. Kecerdasan emosional sesungguhnya membantu kecerdasan rasional. Emosional membimbing keputusan kerja dari saat ke saat. Keberhasilan seseorang sangat ditentukan keduanya. Bahkan intelektualitas tidak mampu bekerja dengan baik tanpa EQ.
Menurut Agus Nggermanto kesuksesan seseorang 20% ditentukan oleh IQnya dan 80% ditentukan EQnya. EQ dapat diterapkan secara luas untuk bekerja, belajar, mengajar, mengasuh anak, persahabatan, hubungan kasih, dan rumah tangga (Agus, 2002 : 97-98). Sedangkan IQ hanya berkisar pada kecakapan linguistik dan matematika yang sempit. Keberhasilan meraih angka pada tes IQ ternyata hanya ramalan sukses di kelas.
C. Pendidikan Bagi Kecerdasan Emosional.
1. Kenapa Emosional Harus Dididik.
Pendidikan baik yang didefenisikan dalam kaca mata Islam ataupun dimensi psikologi serta sosioginya semuanya bermuara pada satu aplikasi nilai yaitu proses perubahan tingkah laku untuk memenuhi tujuan hidup dalam masyarakat. Pendidikan dimaksudkan bagaimana peserta didik memiliki pengetahuan, pemahaman, serta keterampilan yang akan menjadi cerminan kepribadiannya.
Idealitas pendidikan di atas secara praksis dan realitas kehidupan sekarang, kalaupun tidak bisa dikatakan gagal-maka jauh dari harapan. Perubahan kondisi sosial-ekonomi yang dipacu oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang cepat serta penyebaran informasi yang begitu dahsyat telah menyeret perubahan perubahan cara berfikir, cara menilai, dan cara menghargai hidup (Kaswardi, 1993 : 1). Pendidikan hampir tidak “bermakna” lagi. Dimana mana kriminalitas terjadi, pembunuhan, pemerkosaan dan kriminalitas lain yang tidak bisa dibahasakan dengan kata-kata.
Kenyataan ini merupakan manifestasi kesalahan sistem dan pelaksanaan pendidikan. Pendidikan selama ini diorientasikan kepada penguasaan ilmu dan pengetahuan yang menurut bahasa orde barunya “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Masyarakat dididik kecerdasan akalnya tetapi melupakan kecerdasan emosionalnya. Kesalahan inilah sehingga pendidikan menghasilkan output dan outcome yang jauh dari nilai nilai kemanusiaannya dan jauh dari pesan ilahiyah.
Hampir semua siswa yang punya prestasi buruk di sekolahnya karena tidak memiliki kecerdasan emosional. Dan kesuksesan yang diraih seseorang pada tahun tahun berikutnya berkat bentukan watak emosional pada tahun tahun sebelum memasuki dunia akademis (Goleman, 2001: 273), kecerdasan emosi akan menentukan keberhasilan dalam kehidupan karena emosi berperan memberikan dorongan dan motifasi untuk berprestasi dengan perasaan yang terpuaskan.
Mendidik kecerdasan emosional sangat berperan terhadap kepribadian seseorang. Bagaimana menentukan yang terbaik dalam hidupnya, bagaimana menetapkan apa yang seharusnya sejalan dengan fitrah insaniyah dan pesan ilahiyah. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membentuk kepribadian yang memiliki integritas, komitmen dalam mengambil keputusan yang tepat. Sebaliknya pula, kegagalan mendidik dan menguasai kecerdasan emosional akan menjadi “gerbang” malapetaka kehidupannya. Maka jawaban sesunggunya ketika orang mempertanyakan kenapa anak sekolah telah jauh terlibat dalam gaya hidup narkoba dan kriminalitas maka jawabannya karena EQnya rendah, tidak ditumbuhkan dan dididik dengan baik.
2. Kapan Pendidikan Emosional Dapat Dilaksanakan
Pada hakekatnya semua kecerdasan sudah ada dalam otak sejak lahir. Bahkan kemampuan linguistik sudah muncul sejak manusia masih dalam kandungan Akan tetapi tujuh tahun pertama kehidupan, kecerdasan ini dapat disingkapkan dan dilejitkan apabila dirawat dengan baik. (Bobbi DePorter, 2001 : 30). Dengan demikian, pendidikan emosional dapat diberikan kepada siapa saja tanpa mengenal usia. Mulai dari bayi, anak anak, remaja, orang dewasa, orang tua, pria dan wanita, bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan dapat dididik kecerdasan emosionalnya. Namun dari aspek perkembangan manusia, pendidikan untuk kecerdasan emosional paling tepat dan urgen diberikan kepada anak di usia tujuh tahun pertama atau pra-sekolah, karena pada usia inilah anak memiliki tonggak-tonggak utama perkembangan fisik, rasio, dan emosionalnya.
Pada tujuh tahun pertama perkembangan fisik manusia akan berkembang dengan baik dan sehat apabila dirawat dan disuplai dengan makanan yang bergisi serta memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Pada tahun-tahun pertama ini pula fungsi motor sensorik mulai bekerja dan berkembang cukup signifikan dengan bersentuhan langsung dengan lingkungan sekitarnya. Intelektualitasnya akan terlihat dengan aktifitas yang dilakukannya, bermain, meniru, dan membaca cerita.
Dari aspek emosi, anak cepat menangkap kejadian-kejadian di sekelilingnya terutama kejadian yang dialami bapak dan ibunya. Anak bisa tahu bila ibunya dalam keadaan stres atau tenang. Jika ibu stres maka anak bayi pun akan ikut rewel, dan bila ibu tenang anak juga akan ikut tenang. Hal ini dipahami karena antara ibu-bapak dengan anak mempunyai ikatan emosional yang kuat. Hubungan anak dengan orangtuanya mulai terjalin saat ayah ibunya memberinya minum, menggendong, mendekap, memeluk dan menentramkannya. Kualitas hubungan di masa ini akan mempengaruhi proses perkembangan keterampilan sosialnya nanti (Palembang Pos, 21 Juli 2002).
Pada usia 3 bulan, anak mulai berminat berinteraksi sosial lewat tatap muka ia akan belajar banyak hal lewat pengamatan dan peniruan bagaimana membaca dan mengungkap emosi. Pada usia 6-8 bulan, anak mulai menemukan cara baru untuk mengungkapkan perasaan hatinya, seperti sedih, gembira, marah, takut kepada sekelililngnya. Pada usia 9-12 tahun, anak mulai memahami bahwa manusia dapat membagi gagasan dan emosi mereka satu sama lain (Palembang pos, 21 Juli 2002).
Merawat potensi emosional anak pada usia ini sangat mempengaruhi kecerdasan emosionalnya dan Interaksinya secara emosional. Ketika anak pada usia ini lebih banyak dikungkungi dengan rasa sedih atau takut karena ulah bapaknya yang galak, otoriter dan tidak pengertian akan menjadi faktor penyebab runtuhnya sifat kepercayaan dirinya dan sikap optimisnya. Ia akan minder dan takut salah. Oleh karena itu, para pakar mengakui bahwa sikap orangtua pada usia tujuh tahun pertama ini akan mempengaruhi kecerdasan emosional anak di usia selanjutnya.
3. Langkah-langkah Pengajaran Emosional Kepada Anak.
Memastikan kesuksesan masa depan anak (didik) memang mustahil dilakukan, akan tetapi menuntun untuk mencapai hal itu bukan sesuatu yang mustahil. Oleh karena Maurice J. Elias memberikan lima langkah mendidik kecerdasan emosinal anak dan enam langkah menurut Agus Nggarmanto.
1. Sadari perasaan sendiri dan perasaan orang lain
2. Tunjukkan empati dan pahami cara pandang orang lain.
3. Atur dan atasi dengan positif gejolak emosinal dan prilaku
4. Gunakan kecakapan sosial positif dalam membina hubungan
5. berorientasi pada tujuan dan rencana positif ( J. Elias, 2001 :39-46).
6. Menjadi teladan (Agus, 2002 :193).
Meskipun keenam cara ini dikhususkan dalam mengasuh anak, namun dapat diimplementasikan juga dalam pengajaran di semua jenjang di lembaga formal. Seorang pendidik dapat memiliki kelima cara atau dijadikan pendekatan dalam mengajar untuk menumbuhkan kecerdasan emosional peserta didik sehingga peserta didik akan terbentuk keterampilan emosionalnya.
Meningkatkan kecerdasan emosional anak sangat sulit dilakukan tanpa ada aturan yang tepat untuk membuat anak menjadi disiplin. Disiplin yang efektif akan membuat anak tumbuh dalam keteraturan. Untuk menciptakan disiplin ini, ada beberapa kiat-kiat yang dapat ditempuh seorang guru sehingga ia bisa mengembangkan kecerdasan emosional siswanya atau orangtua terhadap anaknya, yaitu;
1. Membuat aturan dan batas yang jelas dan memberlakukannya dengan tegas.
2. Memberikan petunjuk dan peringatan apabila anak melakukan kesalahan
3. Membentuk prilaku positif dengan mendukung prilaku yang baik melalui pujian atau perhatian.
4. Mendidik anak sesuai dengan harapan
5. Mencegah masalah sebelum terjadi.
6. Memberikan sangsi dan hukuman kepada pelanggaran yang dibuat baik segaja maupun tidak sengaja.
7. Memberikan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dibuatnya.
8. Mencari teknik atau cara-cara tertentu untuk meciptakan disiplin yang tegas (L. E. Shapiro, 2001 : 33).
Kedelapan hal di atas merupakan kiat dan langkah yang dapat ditempuh untuk menciptakan disiplin bagi siswa/anak. Dengan mewujudkan kedisiplinan yang baik dan tegas ini, siswa akan mengalami keteraturan hidup. Potensi potensi emosionalnya pun akan tumbuh dan berkembang ke arah yang positif. Ia mampu mengontrol dan mengendalikan emosionalnya itu dalam lingkaran kedisiplinan yang telah dibuat. Apabila gejolak amarahnya muncul maka rasa malunya akan memberikan pertimbangan begitu juga sebaliknya, dengan demikian potensi-potensi emosional tersebut tumbuh dalam keseimbangan.
4. Peran Sekolah dalam Kecerdasan Emosional
Satu satunya tempat pelarian dan pengaduan anak ketika lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat tidak lagi menjadi landasan kuat dalam kehidupannya adalah sekolah. Sekolah adalah lingkungan akademik yang punya peran untuk merubah dan membangun keperibadian. Sehingga sekolah dituntut untuk membangun budaya “komunitas yang peduli”, tempat murid merasa dihargai, diperhatikan, dan memiliki ikatan dengan temannya, guru, dan sekolah sendiri (Goleman, 2001 : 399).
Sekolah diharapkan tidak hanya menjadi lembaga akademik tempat untuk mencapai kecerdasan intelektual yang tinggi tetapi bagaimana sekolah berperan mengembangkan dan menjadi kepedulian kecerdasan emosional. Guru punya peluang membantu anak menangangi krisis emosional yang dialaminya sehingga. sekolah baginya bukan tempat pelarian dari kesemrautan hidup, tetapi tempat menumpahkan segala problematikanya dan menemukan solusi solusinya. Murid akan merasa tenang di sekolah dan senang mengikuti pelajaran. Karena bagaimanapun prestasi kreatif bergantung pada totalitas hati dan pikiran.
5. Mendidik EQ dengan Model Flow
Flow adalah keadaan batin yang menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Sesorang yang diberi tugas terlampau sederhana maka ia akan merasa bosan, dan apabila terlau berat maka akan cemas dan prihatin sehingga tidak flow. Model flow ini orientasinya adalah mencapai penguasaan keterampilan dan ilmu pengetahuan secaraa alami.
Pada prinsipnya mengajar dengan cara flow merupakan cara untuk menjadikan anak cinta pada pelajaran sehingga menghadapi pelajaran penuh dengan antusias, senang hati, dan bahagia. Tidak membosankan atau menakutkan. Anak belajar tekun, mengerjakan PR, berdiskusi karena merasa senang dan menyukainya, serta tertantang untuk mengetahuinya bukan karena ada ancaman (tidak naik kelas) atau iming-iming (hadiah pujian atau materi).
D. Simpulan
Setiap manusia memiliki potensi emosional dan kecerdasan emosional. Potensi ini akan tumbuh dan berkembang bisa ke arah positif, dan ke arah negatif. Ketika tidak dididik dengan baik maka emosional akan tumbuh dengan liar dan menjebak manusia dalam budak nafsu emosi. Sebaliknya emosi yang terkontrol dan dapat dikuasai akan mengantar manusia mencapai kesuksesan dan kebahagiaan.
Kecerdasan Emosional lebih penting bagi keberhasilan membentuk karakter dibandingkan dengan kecerdasan kognitif yang diukur dengan IQ karena kenyataan menunjukkan bahwa orang yang berIQ tinggi namun berEQ rendah gagal dalam membentuk kepribadian yang mantap. Oleh karena itu sudah saatnya pendidikan dititik beratkan pada pendidikan emosional.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar, 2001, ESQ Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Islam, Jakarta : Arga.
Azra, Azyumardi, 2001, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Kalimah
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki, 2001, Quantum Learning; Membiasakan Belajar Nyaman dan Meyenangkan, Alih bahasa Alwiyah Abdurrahman, Jakarta : Kaifa
Djainuri, Achmad, 2001, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, Surabaya : al Ikhlas.
Elias, Maurice J.dkk., 2001, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak Dengan EQ, Alih Bahasa M. Jauharul Fuad, Bandung : Kaifa.
Goleman, Daniel, 2001, Emotional Intelligence; Kecerdasan Emosional, Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ, Alih Bahasa T. Hermaya, Jakarta : Gramedia.
Kaswardi, EM. K., 1993, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta : Grasindo
Nggermanto, Agus, 2002, Quantum Quotient, Jakarta : Nuansa.
Segal, Jeanne, 2001, Melejitkan Kepekaan Emosional, Alih Bahasa Ary Nilandari, Bandung : Kaifa.
Shapiro, lawrence E., 2001, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak, Alih bahasa Alex Tri Kantjono, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sikap Ayah Pengaruhi Perkembangan EQ Bayi, 2002, dalam Palembang Pos, 21 Juli 2002 : Palembang
Umar, Nasaruddin, Sinergi IQ, EQ, dan SQ, Upaya Pemberdayaan SDM Melalui Kaidah Spiritual, Makalah FKE UKAZ 18 Januari 2002
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar