Sabtu, 07 November 2009

Tuhan Itu Hanya Satu


Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan Allah swt kepada ummat manusia. Kedudukannya sebagai agama terakhir, Islam hadir menyempurnakan ajaran agama-agama samawi yang telah dibawah oleh rasul-rasul Allah sebelumnya. Kesempurnaan ajaran Islam terletak pada aspek pelaksanaan syariatnya yang bersifat universal, komprehensif dan integral. Shalihun fi kulli zaman wa makan (berlaku di setiap waktu dan tempat) hingga akhir zaman. Adapun ushul (prinsip) utama ajaran Islam adalah sama dengan seluruh agama samawi sebelumnya. Prinsip itu adalah keyakinan (aqidah) tauhid. ia bersifat tsabat, qat’i, dan berkembang sejak Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad saw.
Syariat Islam bersandar kepada al-Quran dan al-Sunnah. Keduanya merupakan referensi utama yang absholut. Al-Quran yang memuat firman Allah adalah satu-satunya kitab yang menyatakan dirinya sebagai kitab yang sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya. Kitab penuntun menuju kesalamatan dunia dan akhirat. Sedangkan al-Sunnah merupakan sabda lisan dan perbuatan Nabi saw. Al-Sunnah berposisi sebagai penafsir, penjelas, penta’kid, dan penguat al-Quran. Oleh karena itu keduanya memiliki interelasi kuat dan permanen yang sama sekali tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Termasuk ketika berbicara tentang Tuhan.

Tuhan Dalam Al-Quran
Ketika berbicara tentang Tuhan, Al-Quran menyebutkan dengan tiga kata inti; rabb, ilah, dan Allah.
Kata rabb kata benda tunggal (isim mufrad) yang mempunyai isim jama’ (plural); arbab. Perhatikan Q.S>. Ali Imran : 80
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya : Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".
Demikian juga kata ilah adalah kata benda tunggal dan jama’nya a>liha. Perhatikan Q.S. Al-An’am : 74
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آَزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آَلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya : Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar[489], "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa kata ilah dan rabb dalam al-Quran memiliki makna ganda yang bukan hanya berarti Allah. Penggunaan kata rabb dan ilah dengan makna selain Allah menunjukkan bahwa ada tuhan lain selain Allah.. Seperti mempertuhankan patung, api, jin, batu dan lain-lain.
Al-Quran memberitakan hal tersebut merupakan pengungkapan tabiat dasar manusia yang selalu mencari tuhan dan menuhankan sesuatu. Manusia memiliki garizah al-tadayyun (naluri kebertuhanan), sebabnya setiap manusia pasti mengagungkan sesuatu yang Yaitu tuhan-tuhan yang sengaja dijadikan manusia sebagai sembahannya kemudian ia agungkan dan ia puja dianggapnya memiliki kekuatan penentu terhadap eksitensi hidup dirinya, lalu ia memuja dan menyembahnya.
Jika al-Quran memberitakan bahwa ada tuhan selain Allah, namun bukan berarti memberikan pengakuan, dan legitimasi positif terhadap tuhan-tuhan tersebut. Sebaliknya manusia diperingatkan dengan keras untuk tidak menyembah tuhan selain Tuhan Yang Maha atas segala sesuatu. Karena jika ada tuhan lain yang memiliki kemahakuasaan dan maha berkehendak, maka pastilah sistem kehidupan ini tidak akan berjalan normal dan mengalami kehancuran. Sebab itu secara logika aksiomatik, Tuhan itu wajib hanya satu. Sebagaimana dalam Q.S. al-Anbiya : 22
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya : Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.

Kata ilah secara secara leksikografis dapat dirumuskan sebagai berikut ;
1. Ilah yang artinya merasa tenang dan damai dengannya (alihtu ila fulan)
2. Pertolongan
3. Datang kepadanya karena sangat rindu
4. Mencintai
5. Abada (menyembah)
6. terlindung dari pandangan.
Dari enam makna ilah di atas apabila diformulasikan kepada kalimat la ilaha illa Allah, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang diseruh memberi ketenangan, tidak ada pemberi pertolongan, tidak ada yang dicintai, tidak ada disembah (ma’bud) selain Allah. Sesungguhnya Allah dengan ilahNya berkorelasi dengan hakekat ketenangan jiwa, hakekat pertolongan, cinta yang mulia, serta ibadah yang dilaksanakan.
1. Pemberi ketenangan. Q.S. Al-Ra’d : 28
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
2. Pemberi pertolongan. Q.S>. al-Jin : 18
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
3. Yang dicintai. Q.S. al-Baqarah : 165
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
4. Yang disembah. Q.S>. al-Zumar : 64
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
berasal dari kata uluhiyah maknanya ibadah dan penyembahan. Artinya Tuhan adalah ilah yang disembah. Kedua, dari kata alaha, mengherankan dan menakjubkan. Artinya makhluk akan takjub terhadap ciptaan Tuhan. Ketiga, dari kata aliha yang bermakna tenang. Artinya orang yang dekat dengan Tuhan akan merasakan ketenangan.

Tidak Ada Tuhan Selain Allah
La ilaha illah Allah (tiada Tuhan selain Allah) adalah kalimat tauhid yang dibawa seluruh Nabi dan Rasul. Kalimat yang merupakan inti dan kunci segala sesuatu. keseluruhan ajaran Islam berawal dan berakhir dari kalimat ini. Kalimat yang menjadi rukun Islam pertama, dan yang menandai keislaman seseorang. Kalimat pertama yang harus diperdengarkan kepada bayi yang baru lahir, dan yang akan meninggal dunia.
La ilaha illah Allah (tiada Tuhan selain Allah) merupakan kalimat pembuktian kekokohan iman dan keyakinan akan Tuhan yang satu. Hanya kepada-Nya hamba menyembah, hanya kepada-Nya hamba memohon pertolongan. Kalimat la ilaha illa Allah, tidak sebatas ungkapan bibir, dan ucapan lisan, tetapi keyakinan kokoh yang terbangun di atas tiga dimensi sinergitas antara pembenaran hati, ucapan lisan dan perbuatan fisik.
La ilaha illah Allah (tiada Tuhan selain Allah), adalah kalimat sempurna dan termulia. Tidak ada satu pun celah untuk menafikan keesaan Allah, dan tidak ada satu peluang untuk meragukan keMaha Tunggalan-Nya. Allah swt tidak pernah memberi toleransi kepada hamba-Nya, yang membesitkan kata ragu dalam hatinya, apalagi membangun keraguan itu dalam kata dan perbuatannya. Perhatikan Q.S. Al-Nisa : 48
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Implementasi Ketauhidan Dalam Kehidupan
1. Ketauhidan Tuhan dalam Ibadah. Q.S. Thaha : 14
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
2. Ketauhidan Tuhan dalam isti’anah (memohon pertolongan). Q.S. Al-Fatihah : 4
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
3. Ketauhidan Tuhan dalam zikir dan do’a\. Q.S. Ghafir : 60
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya : Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina".
4. Ketauhidan Tuhan dalam penyerahan diri (Qan’ah dan tawakkal). Q.S. Al-An’am : 163
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Maka bersaksilah bahwa Tuhan itu (wajib) hanya satu. Bersaksilah dengan melihat, menyadari, bersaksi dan bersumpah bahwa Tuhan itu hanya satu, Tuhan hanya Allah swt Yang Maha Satu

Rabu, 04 November 2009

PEMIKIRAN ISLAM TENTANG JIWA DALAM FILSAFAT ISLAM; Sebuah Kajian Kritis

Manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan kekurangan . Puncak kelebihannya bisa lebih mulia dari malaikat, dan titik terendah kekurangannya lebih hina dari binatang . Tetapi dibalik kelebihan dan kekurangannya itu, manusia adalah makhluk yang penuh misteri. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul begitu banyak kajian, penelitian ataupun pemikiran tentang manusia dalam segala aspeknya. Salah satunya adalah tentang jiwa.
Pemahaman tentang jiwa pada manusia merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat. Plato banyak menghabiskan waktunya melakukan penelitian tentang jiwa. Bahkan Sokrates mencurahkan seluruh pemikirannya untuk mengetahui kemisterian jiwa, sebagaimana dalam ungkapannya “kenalilah dirimu”. Dua kata inilah, ia memulai filsafatnya dan dengan dua kata ini pulalah ia mengakhiri hidupnya.
Ungkapan “man ‘arafa nafsah ‘arafah rabbah”, yang populer di kalangan ahli tasawwuf memberi bukti lain bahwasanya manusia terus menyelami kemisterian jiwa untuk menyingkap hakekat sesungguhnya. Karena dengan ketersingkapan itu, akan menjadi pintu masuk mengenali Tuhan.
Dalam al-Qur’an, akan dijumpai ayat-ayat yang memberi isyarat untuk mengetahui jiwa. Di antaranya Q.S. Al-Zariyat : 20-21;
وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ () وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (20-21)...
Artinya : Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?
Jika saja para filosof dengan rasionalitasnya, dan para sufi dengan ma’rifahnya (pengetahuan rasa) berusaha menyingkap hakekat jiwa, bahkan menghabiskan banyak waktunya, serta adanya dukungan teks-teks al-Quran, ini berarti, Jiwa menjadi sumber pengetahuan tidak terbatas, sumber pikiran yang jelas akan tetapi hakikatnya belum mampu diketahui dan disingkap oleh manusia, ia masih diliputi oleh kerahasiaan dan tetap saja dalam kemisteriannya. Perdebatan dan perbedaan pendapat para ulama dengan sudut pandang yang berbeda-beda, semakin memperluas pemahaman makna jiwa.
Kenyataan yang tidak dapat dinyalahi bahwa persoalan jiwa adalah salah satu rahasia Tuhan yang ada pada diri hamba-Nya, ia hadir menjadi teka-teki yang belum terpecahkan secara sempurna, tetapi menimbulkan banyak pendapat. Oleh karena itu, kajian tentang jiwa merupakan suatu hal yang urgen untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam makalah ini adalah, Kajian kritis terhadap pemikiran Islam tentang jiwa dalam filsafat Islam. selanjutnya akan diurai dalam beberapa sub-pokok bahasan. Di antaranya ;
1. Apa yang dimaksud dengan jiwa dan hubungann dengan roh
2. Bagaimana konsepsi al-Quran terhadap jiwa
3. Bagaimana pendapat filosof Muslim tentang jiwa

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Jiwa
Secara leksikografis, jiwa merupakan kata benda yang berarti roh manusia, nyawa; seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama yang menjadi semangat; maksud sebenarnya, isi yang sebenarnya, arti yang tersirat, buah hati, kekasih, orang (dalam perhitungan penduduk)
Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah , atau hati (qalb) dan sanubari (d}amir), padanya ada rahasia yang tersembunyi . Juga berarti ruh, saudara, ‘indahu (kepemilikan) . Dalam al-mu’jam al-falsafy, kata al-nafs diartikan dengan merujuk kepada tiga versi pendapat; Aristoteles, dengan permulaan kehidupan (vegetative), Kelompok Spiritual (al-ru>h{iyyun) mengartikannya sebagai jauhar (substansi) ru>h, dan yang lainnya mengartikan sebagai jauhar (substansi) berfikir .
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwasanya jiwa kadangkala diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir.
Jauhar tersebut merupakan substansi yang berbeda dengan badan ini, ia bukan badan tetapi merupakan makna antara substansi dan makna, demikian menurut Al-Hariri yang diriwayatkan dari Ja’far bin Mubasyir . Jauhar tersebut menurut Aristoteles adalah jauharun basi>t{ (sederhana, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar) menyebar ke setiap yang memiliki ruh pada alam ini, agar supaya makhluk dapat bekerja dan mengatur urusan-urusannya. Tidak boleh sifat banyak atau sedikit yang menguasainya, meskipun berada di setiap hewan di alam ini, ia tetap dalam makna yang satu .
Apa yang dikemukakan Aristoteles merupakan pemahaman umum para filosof Yunani di zamannya. Salah satunya golongan filosof Yunani, Masya’in, mereka mengatakan bahwa jiwa itu bukan fisik dan bukan kefanaan, tidak berada di suatu tempat, tidak memiliki ukuran panjang, lebar, kedalaman, warna, bagian, tidak pula berada di alam ini atau di luarnya, tidak bisa diserupakan dan dibedakan
Para filosof Yunani termasuk Aristoteles tampaknya memahami jiwa sebagai sesuatu yang sulit digambarkan secara materiil, sebagai sesuatu yang membutuhkan ruang dan tempat. Ia bersifat gradual dan tercecer ke mana-mana yang tidak punya ukuran sama sekali. Tetapi ia ada pada setiap makhluk yang punya roh, dan memiliki fungsi dalam gerak makhluk. Sesuatu yang tidak memiliki fisik tetapi punya fungsi maka bagi penulis ini adalah sesuatu yang majhu>l. Karena semua makhluk pasti memiliki fisik dan menempati ruang dan waktu, walaupun berbeda-beda ketampakannya.
Apakah substansi yang dimaksudkan sebagai sesuatu yang tidak punya fisik itu adalah ruh itu sendiri, sehingga apa yang dinamakan dengan keduanya adalah satu?, ataukah sesuatu yang lain yang berubah-ubah, tetapi ia ada pada setiap adanya ruh, ataukah keduanya sesuatu yang sama sekali berbeda. Dan apakah ruh adalah ‘aradh yang berada di dalam fisik, ataukah sesuatu yang berbeda dengan fisik dan ‘aradh ini?
Pembicaraan tentang jiwa dan ruh ternyata perdebatan panjang di kalangan, teolog maupun filosof Islam. Oleh karena itu, sebelum membicarakan pandangan-pandangan mereka tentang jiwa dan hubungan jiwa dan ruh, akan diuraikan terlebih dahulu apa itu ruh.
Dalam ensiklopedi Arab, kata ruh (ra-wa-ya) memiliki keluasan makna dan keumuman hukum. Dengan kasrah, al-ri>h artinya hembusan angin. Dengan fath{ah, al-ra>ha berarti tenang/istirahat, al-raih artinya hembusan udara ketika bernafas. Ruh juga berarti awal kehidupan yang padanyalah kehidupan jiwa .
Menurut al-Qusyairi>, roh, jiwa, dan badan adalah satu komponen (jumlah) yang membentuk manusia, yang sebagiannya tunduk kepada sebagian yang lain. Di kalangan ulama ahlu sunnah, terkadang mereka sepakat tentang jiwa dan ruh dalam satu aspek, tetapi ia berbeda pada aspek yang lain. al-Qusyaery mencontohkan, Ibnu Abbas dan Ibnu Habib keduanya sepakat bahwa ruh adalah kehidupan atau sumber kehidupan. Keduanya juga sepakat bahwa jiwalah yang diwafatkan saat manusia sedang tidur. Tetapi menurut Ibnu Habib jiwa adalah syahwatiah (kesyahwatan) yang merasakan kelezatan dan merasakan sakit, Sedangkan Ibnu Abbas menganggapnya sebagai akal yang mengetahui, membedakan dan memerintah. Pendapat keduanya tentang jiwa yang diwafatkan saat manusia tidur ditentang oleh sebagai muh}aqqiq ahlu sunnah yang berpendapat bahwa rohlah yang berpisah dan terangkat saat manusia sedang tidur dan bukan jiwa.
Dari penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa jiwa adalah sesuatu yang mauju>d (ada), tetapi bagaimana wujudnya? Inilah yang berbeda di kalangan para filosof, theolog dan ahlu sunnah dan tasawwuf. Jika sebagian golongan ahlu hadits dan tasawwuf meyakini jiwa berbeda dengan ruh, maka sebagian yang lain dari para filosof Muslim justru menganggap jiwa dan ruh itu adalah sinonim. Letak perbedaan tersebut bisa dipahami karena adanya perbedaan pada disiplin ilmu. sehingga berbeda pula sudut pandangnnya. Lantas bagaimana al-Qur’an berbicara tentang jiwa dan roh? Mungkinkah perbedaan tersebut dipertemukan dengan kembali kepada al-Quran?

B. Jiwa dan Ruh Dalam Al-Quran
Kata jiwa di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian (perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا, al-Ism (kata benda), baik isim al-nakirah نفس, Isim al-ma’rifah المتنافسون , mufrad نفسا ataupun jamak الأنفس, serta yang bergandengan dengan d{amir seperti نفسي, أنفسكم .
Dengan jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa lafaz| al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam. Jika ditelusuri dalam kamus al-Qur’an, kata al-nafs setidaknya mempunyai 10 arti ;
1. Al-Qalb (Hati) seperti dalam Q.S. Qaf : 16
• وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16)...
2. Minkum (dari kalian) seperti dalam Q.S. Al-Taubah : 128
• لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم...
3. Al-insa>n (manusia), seperti dalam Q.S. al-Maidah : 32
• مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا...
4. Ba’d{ukum (sebagian di antara kalian), seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2:54
• فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ...
5. Al-ru>h (roh), seperti dalam Q.S. al-Zumar : 42
• اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا...
6. Ahli al-di>n (ahli agama), seperti dalam Q.S. Al-Nisa :29
• وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)...
7. Diri manusia, seperti dalam Q.S. al-Nisa : 66
• وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ...
8. ‘uqu>bat (balasan/hukuman), seperti dalam Q.S. Ali Imran/3 :28
• وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (28)...
9. Al-umm (ibu), seperti dalam Q.S. Al-Nur : 12
• لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12)...
10. Al-gaib (gaib), seperti dalam Q.S. al-Maidah/4: 116
• تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (116)...
Kata Al-ru>h dengan keseluruhan perubahan kata dari kata asalnya disebutkan sebanyak 53 kali. Sedangkan kata Al-ru>h sendiri disebutkan 20 kali yakni : روح روحي, من روحه,روحنا,روحا, بروح, الروح روح
Kata Al-ru>h dalam al-Qur’an memiliki beberapa makna antara lain ;
1. Rahasia Tuhan yang diletakkan pada diri manusia, seperti Q.S. al-Sajadah :7
• ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
2. Ruhul amin atau malaikat Jibril, seperti Q.S. Al-Maidah :110
• اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ
3. Sebagian Malaikat, seperti Q.S. al-Ma’arij :4
• تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ
4. Kekuatan dari Allah, seperti Q.S. Al-Nisa : 171
• إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ
5. Wahyu atau al-Qur’an, seperti Q.S. Al-Nahl : 2
• يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه
Memperhatikan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang al-nafs jumlahnya jauh lebih banyak dari pada Al-ru>h. Dalam beberapa ayat, ketika Tuhan menyebut kata al-nafs, yang dimaksudkan di dalamnya adalah Al-ru>h. Sebab itu menurut kesimpulan penulis, hakekat al-nafs (jiwa) berasal dari Al-ru>h. Ruh adalah inti dan jiwa adalah bagian dari Al-ru>h. Hal tersebut di dasari dengan beberapa alasan;
1. Kata Al-ru>h (roh) di dalam al-Quran selalu disebutkan dengan bentuk mufrad (tunggal), Al-ru>h, tidak ada yang berbentuk jamak (plural) al-arwah. Berbeda dengan kata al-nafs disebutkan dalam bentuk tunggal maupun plural.
2. Tidak ada kata Al-ru>h di dalam al-Quran yang mengandung arti roh itu sendiri, ataupun jiwa. Ketika Allah menyebut Al-ru>h, yang dimaksudkan justru malaikat Jibril, kekuatan dari-Nya, atau Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa kata Al-ru>h digunakan pada sesuatu yang lebih utama dari sekedar dipahami secara sederhana sebagai hembusan nafas, atau substansi yang mewujudkan proses hidup tubuh manusia. Dapat dipahami bahwa Al-ru>h (dalam makna ruh Tuhan, al-Quran atau malaikat Jibril) adalah hakekat yang menjadi sumber kehidupan manusia yang sempurna. Asal segala kehidupan, yang memancarkan sinaran petunjuk kepada jiwa yang berkelana dalam kehidupan fisik manusia.
3. Semua kata Al-ru>h merupakan ungkapan transeden Tuhan, bahkan beberapa ayat, ketika Allah swt menyebut kata Al-ru>h, Ia mengaitkannya dengan diri-Nya (ruhi>), ini menunjukkan bahwa ruh memiliki unsur ketuhanan di dalamnya. Berbeda dengan kata al-nafs, Allah swt menyebutkannya dengan sangat plural, hingga mengklasifikasikan berdasarkan kualitasnya, kehidupan baik maupun kehidupan buruk. Sebab itu jiwa memiliki unsur ketuhanan sekaligus memiliki unsur syait{aniyah. Dua ranah kehidupan dalam diri manusia yang selalu bertarung sepanjang hidupnya. Siapa pemenang, dialah yang akan menentukan pilihan dan mengendalikan tindakan.
Beberapa ayat menyebutkan kata al-nafs dengan arti roh, yang berkaitan langsung dengan jasad manusia sebagai komponen fisik manusia. pada aspek ini kata al-ru>h dengan al-nafs memiliki kedekatan makna, al-nafs berarti bernafas dan al-ru>h yang jika di jamakkan al-arwah adalah penentu hidup atau matinya manusia. Dalam bahasa keseharian jika ia tidak bernafas lagi maka rohnya sudah tiada. Sebab itu pertanyaan apakah, roh dan jiwa adalah sama atau berbeda? Penulis lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan ruh dan jiwa adalah perbedaan sifat bukan zat. Jiwa juga punya gerak, sebab itu manusia jika ia tidur jiwanya bisa keluar dari jasad dan melayang-layang, tetapi ruhnya tetap ada dan mengatur pola tanaffusnya (keluar masuknya nafas), tetapi ia tidak sadar karena jiwanya sedang di luar jasad, dan akan dengan kembali ke dalam jasad dengan kecepatan yang tak terbahasakan jika Allah menghendakinya kembali (Q.S. al-Zumar : 42)

C. Jiwa menurut para filosof Muslim
Berbicara tentang jiwa dalam pandangan filosof Muslim adalah pembahasan yang panjang, sebab itu dalam bahasan ini penulis hanya akan membatasi pada pandangan filosof Muslim tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan jiwa.
1. Ma>hiyat al-nafs (Makna dan esensi jiwa)
Beberapa filosof Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Al-Kindi, Ibnu Bajjah berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. Hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Pendapat mereka menurut Sirajuddin Zar lebih dekat kepada Plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs, jauhar al-Qa>im bi z|a>tih)
Ibnu Sina juga menerima pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi dan bentuk, dan jiwa memiliki hubungan erat dengan badan. Hanya saja Ibnu Sina sejalan dengan filosof Muslim lainnya yang menolak pendapat Aristoteles, bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang esensial, karena ini akan berimplikasi pada kefanaan jiwa. Jika jasad hancur maka jiwa juga akan hancur. Sebab itu para filosof Muslim kemudian lebih memilih pendapat Plato. yang mengatakan bahwa hubungan tersebut adalah accident, yang memposisikan jiwa kekal dan tidak binasa walaupun jasad tempat di mana jiwa berada telah hancur.
Adanya kemiripan pendapat mereka, merupakan hal yang dapat dimaklumi karena mereka memang berasal dari aliran filsafat yang sama sebagai aliran masya’in. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah filsafat jiwa mereka sebagai filosof Muslim merupakan rembesan murni dari filsafat Plato, ataukah keberpihakan terhadap Plato karena lebih dekat dengan bahasa Tuhan dalam al-Quran? Dengan kata lain, apakah al-Quran sebagai dasar utama dalam memahami jiwa kemudian mengkomparasikan dengan filsafat Yunani, ataukah berdasar pada filsafat Yunani kemudian mencari pembenarannya di dalam teks-teks al-Quran?
Menurut Sirajuddin Zar, filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka menyelaraskannya dengan ajaran Islam. Hal itu karena adanya ayat al-Quran yang menjadi tembok penghalang dalam menyingkap tabir hakekat ruh, di mana hanya Allah swt semata yang mengetahui urusan ruh . Jika ini benar, maka bagi penulis di balik kesuksesan besar yang telah dicapai para filosof Muslim dalam dunia filsafat, ada kegagalan besar yang telah dilakukan dalam memahami Islam sebagai ajaran yang universal, komprehensif dan integral, dan gagal membangun batu bata ilmu dengan pondasi utamanya al-Quran dan sunnah Nabi. Implikasinya, ketika Barat mengadopsi filsafat para filosof Muslim, mereka menerima filsafat tapi terlepas dari nilai Islam yang seharusnya ada, akibatnya mereka kehilangan nilai spiritual. Kenyataan inilah yang disadari oleh al-Gazali sehingga meluncurkan buku tahafat al-falasifah sebagai upaya pelurusan filsafat.

2. Keabadian Jiwa.
Semua filosof Muslim yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi ruhani yang berdiri sendiri, juga meyakini bahwa jiwa memiliki kekekalan dan tidak hancur. Ibnu Tufael mengatakan bahwa, setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama beradala dalam jasad akan hidup dan kekal .
Keabadian jiwa bukanlah keabadian yang haqiqi sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir . Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Lebih rinci Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa jiwa memiliki temporalitas, tanda temporalitasnya adalah ketidak tentuannya dan ketidak pastiannya kecuali dengan perantaraan tubuh. Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh
Dalam membuktikan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil ;
1. Burha>n al-infis}al (bukti perpisahan). Perpaduan jiwa dan jasad bersifat aksiden, keduanya memiliki substansi tersendiri, dan jika jasad mati atau hancur, jiwa tetap dan kekal. Sementara jasad bergantung kepada jiwa untuk bisa hidup
2. Burha>n al-basa>t}at (bukti keluasan). Jiwa adalah substansi ruhani yang luas. Dengan keluasannya ia selalu hidup dan tidak mati.
3. Burha>n al-musyabbaha>t (bukti persamaan). Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia bersumber dari akal fa’al (akal kesepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal Sepuluh adalah merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)nya juga akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)nya
Mencermati pemikiran di atas, tampaknya kekekalan jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina dan yang sepaham dengannya terinspirasi dengan konsep jaza> (balasan perbuatan) dalam yang disebutkan dalam al-Qur’an. Bahwa manusia akan mendapatkan balasan dari perbuatannya di dunia, jika ia beriman dan beramal shaleh balasannya syurga dan akan kekal di dalamnya , jika ia kafir, fasiq dan munafiq balasannya neraka dan ia akan kekal di dalamnya .
Hanya saja terjadi kontadiksi antara teks-teks al-Quran dengan pendapat para filosof yang memahami bahwa tubuh akan hancur dan binasa, dan menolak kebangkitan jasad di akhirat kelak, karena yang akan merasakan bahagia dan penderitaan hanyalah jiwa. Sebab itu harus dicari titik temunya.
Bahasa kekekalan dalam al-Quran bukanlah kekekalan jiwa semata, tetapi kekekalan diri manusia dengan postur tubuh yang sempurna. Punya fisik, tulang, daging dan kulit, serta jiwa dan kemampuan untuk berbicara. Hal tersebut diperkuat dengan ayat-ayat al-Quran dan hadits yang menyebutkan terjadinya komunikasi di akhirat. Demikian pula ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang yang mengingkari ayat Allah akan dibakar di Neraka, setiap kali kulitnya matang akan diganti dengan kulit yang baru supaya ia bisa merasakan pedihnya siksaan Neraka membuktikan bahwa bukan hanya jiwa yang mendapatkan kekekalan balasan tetapi diri manusia secara utuh.
Bagi penulis, kekekalan jiwa yang dikemukakan filosof Muslim dapat diambil titik temunya dengan kebenaran al-Quran tentang kebangkitan jasad dengan cara; pertama, bahwa apa yang dikemukakan filosof bahwa jiwa manusia merupakan peringkat paling tinggi, jiwa adalah inti manusia yang kekal, sedangkan jasad akan mengalami kehancuran di dunia adalah benar. Kedua penolakan filosof terhadap kebangkitan kembali jasad adalah egoisme filsafat yang harus diruntuhkan.
Jiwa manusia merupakan hakekat manusia yang sesungguhnya. Jasad tidak lebih dari wadah yang bergerak karena adanya jiwa, jasad bersifat sementara, dan akan mengalami kehancurannya pada batas masa yang telah ditentukan di dunia. Hanya saja kehancuran jasad di dunia bukan berarti ketiadaan sama sekali, tetapi ia hancur kembali ke asalnya yaitu tanah. Sedangkan jiwa sebagai substansi ruhani adalah inti manusia yang akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama ia berada di dalam jasad di dunia. Supaya jiwa bisa merasakan balasan perbuatannya dengan sempurna, Allah membangkitkan kembali jasad dan menyatukan jiwa dengannya. Karena jiwa tidak bisa merasakan kenikmatan dan kesengsaraan kecuali ketika ia berada di dalam jasad, sebab itu, jasad dibutuhkan untuk menyempurnakan balasan bagi jiwa.
Jasad memiliki kekekalan sebagaimana jiwa memiliki kekekalan. Adapun kekekalan keduanya adalah di akhirat, negeri yang tiada berakhir (kha>lidina fi>ha>). Demikian pula jiwa memiliki sifat hudus| (temporal) dimana ia ada setelah ada di dalam jasad, sebagaimana juga jasad memiliki sifat hudus| karena ia akan hancur di dunia. Tetapi hudus| (kehancuran)nya jasad bukan hilang dalam ketiadaan, ia hanya kembali ke inti asalnya yaitu tanah . Kelak akan dibangkitkan kembali di akhirat, di mana ia akan mengalami keabadian bersama jiwa, yang tidak pernah mati sejak adanya dalam alam wujud.
Perbandingannya, kekekalan jiwa sejak adanya di alam wujud ia tidak lagi rusak dan hancur, berbeda dengan jasad yang mengalami “stagnasi” yaitu kehancuran dan kembali ke inti asalnya. Tetapi Allah sebagai Yang Maha Kekal, pemilik kekekalan dan kebaruan membangkitkan kembali (berarti tidak hilang dalam ketiadaan) dan mempertemukan keduanya dalam satu kesatuan dan bersama dalam kekekalan akhirat, berpadu mendapatkan balasan
Pertemuan dua substansi yang berbeda, jiwa sebagai substansi ruhani dan jasad adalah substansi “materi” bertemu dan menyatu dalam kesatuan kekal, melahirkan substansi inti . Bagi penulis inilah konsep jiwa dalam filsafat al-Qur’an.




3. Quwat al-Nafs (Daya jiwa)
Menurut Ibnu Sina, Jiwa dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan atau fakultas. yaitu; Al-Al-nabatiyah (jiwa vegetatif), ha>yawaniyah (jiwa binatang), dan insa>niyah (jiwa kemanusiaan) . Perlu diketahui bahwa klasifikasi ini bukanlah ide murni Ibnu Sina atau filosof Muslim lainnya, tetapi rembesan pemikiran Aristoteles yang telah ada sebelumnya .
1. Jiwa vegetatif mempunyai tiga daya; makan, tumbuh dan berkembang biak
2. Jiwa binatang yang mempunyai dua daya; daya gerak (al-mutah}arrikat), dan daya tangkap (al-mudrikat), baik daya tangkap dari luar dengan panca indra maupun daya tangkap dari dalam dengan indra-indra batin
3. Jiwa manusia atau al-nafs al-na>tiqat yang mempunyai dua daya; praktis (al-‘a>milat) dan teoritis (al-‘a>limat).
Menurut Ikhwan Al-Shafa, daya jiwa vegetatif dimiliki semua makhluk hidup, baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena semua makhluk memiliki keinginan untuk makan, tumbuh dan berkembang biak. Sedangkan daya jiwa binatang hanya dimiliki manusia dan hewan. Adapun daya jiwa yang ketiga hanya dimiliki oleh manusia yang menyebabkan mereka bisa berfikir dan berbicara . Al-Farabi mengklasifikasikan daya jiwa dengan lebih simpel; daya al-Muh}arrikat (gerak) untuk jenis jiwa pertama, daya al-Mudrikat, yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi, daya ini termasuk jenis jiwa yang kedua, dan daya al-na>tiqat (berfikir). Daya ini mendorong untuk berfikir secara teoritis dan praktis , ini untuk tingkatan jiwa yang ketiga. Tampaknya Ibnu Sina, Ikhwan Al-Shafa, dan Al-Farabi memiliki pandangan yang sama tentang daya jiwa.
Berbeda dari ketiga filosof Muslim di atas, Al-Kindi mengklasifikasi daya jiwa ke dalam tiga bagian. Pertama daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyat) yang terletak di perut. Kedua daya marah (al-quwwat al-gad}abiyat) yang terletak di dada. Ketiga daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyat) yang terletak di kepala
Pendapat para filosof Muslim di atas, tampaknya klasifikasi Al-Kindi lebih mudah dipahami dan lebih dekat dengan apa yang dibahasakan Tuhan dalam al-Quran. Allah swt menfirmankan bahwa sesungguhnya manusia berasal dari jiwa yang satu, tetapi terjadi pertarungan dan komprontasi antara kekuata-kekuatan jiwa; yakni kekuatan syahwat, kekuatan kemarahan dan kekuatan aqal. Jika pertarungan itu dikuasai kekuatan syahwat maka ia akan menggiring manusia pada al-nafs al-amma>rah. Jika kekuatan kemarahan yang unggul, maka ia akan mengendalikan jiwa manusia dalam al-nafs al-lawwa>mah, dan jika kekuatan akal mampu mengalahkan dua kekuatan lainnya maka, manusia akan dibawah menuju al-nafs al-mut}mainnah.

C. KESIMPULAN
Jiwa adalah sesuatu yang maujud (ada). Jiwa bisa dipahami sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi) yang berdiri sendiri.
Kata jiwa (al-nafs) disebutkan dalam al-Quran dengan jumlah lebih dari dua ratus lima puluh kali jauh lebih banyak dari pada kata al-ru>h. Kata al-nafs kadang diartikan dengan ruh, dan tidak dengan sebaliknya, ini menunjukkan bahwa hakekat al-nafs (jiwa) berasal dari ruh. Ruh adalah inti dan jiwa adalah bagian dari ruh.
Filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Muslim merupakan rembesan filsafat Yunani yang kemudian mereka kembangkan dengan mendekatkan kepada ajaran Islam. Menurut filosofos Muslim jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, di mana keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa tetap hidup kekal dan akan merasakan siksaan atau penderitaan.
Daya yang dimiliki jiwa ada tiga daya al-Muh}arrikat (gerak) untuk jenis jiwa vegetatif, daya al-Mudrikat, yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi, untuk jenis jiwa binatang, dan daya al-na>tiqat (berfikir) untuk jenis jiwa manusia.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyem, Al-Ru>h li Ibn al-Qayyim, diterjemahkan dengan Roh oleh Kathur Suhardi, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1999.
Al-Mis}ri>, Muhammad bin Makram bin Manz}ur, Lisa>n Al-‘Arab buku elektronik al-maktabah al-syamilah
Al-Hur, Muhammad Kamil, Ibnu Sina; Haya>tuh, As|aruh wa Falsafatuh, Libnan : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt
Al-Mu’jam al-Islami>, Kairo : Dar al-Syuruq, 2002
Al-Mu’jam al-Falsafi>, Kairo : Al-Haehat al-Ammah, li al-syu’un al-Mathabi’ al-Amiriyah, 1983
Faris bin Zakariyah, Abu al-Husain Ahmad, Mu’jam al-Maqa>yis al-Lughat, tk : Dar al-Fikr, tt
Yahya, ‘Isa Abduh Ahmad Ismail, Haqiqat al-Insa>n, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1988
Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam; Metode dan Penerapannya, Jakarta : RajaGrafindo, 1996
Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, Surabaya : Reality Publisher, 2008
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : RajaGrafindo, 2004
Zuraiq, Walid Abdullah, Khawa>t}ir al-Insa>n Bain Manz}arai> ‘Ilmu al-Nafs wa Al-Qur’an, Dimasyq: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1996
Al-Maktabah al-Syamilah (buku Elektronik)

Senin, 02 November 2009

Akhlaq Dalam Islam


Salah satu komponen penting yang harus dibangun pada diri seorang muslim adalah akhlaq. Allah swt mengutus Rasulullah saw salah satu tujuan utamanya adalah menyempurnakan akhlaq manusia menjadi akhlaq yang mulia.
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلمانما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq HR. Al-Baihaqy

Kesempurnaan pelaksanaan Islam seorang Muslim apabila aspek akidah atau iman, ibadah dan akhlaq tertanam kuat dalam dirinya dan tercipta dalam kata dan perbuatannya. Urgensitas akhlaq dapat dipahami dari salah satu tujuan risalah da’wah Muhammad, yaitu membagun akhlaq mulia bagi umat manusia.
Akhlaq berasal dari bahasa arab khuluq.kata khuluq sering diartikan dengan moral, budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan Khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.
Kata khuluq ditemui dalam al-Quran pada surat al-Qalam ayat 4 : وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ Sesungguhnya engkau (muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.
Imam Al-Gazali mengartikan akhlaq sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang mudah dilakukan, tanpa terlalu banyak pertimbangan dan pemikiran yang lama.
Mengaitkan arti kebahasaan dengan apa yang didefenisikan imam al-Gazali, akan memberikan makna substantif yang saling melengkapi, yang di dalamnya kita akan menemukan setidaknya lima ciri perbuatan akhlaq, yaitu :
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
Kedua, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara
Keempat, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Kelima, akhlaq memiliki sandaran yang jelas yaitu al-Quran dan sunnah. Sehingga ukuran baik tidaknya sebuah akhlaq berdasarkan ketersesuiannya dengan al-quran dan sunnah.
Meskipun akhlaq memiliki kedekatan makna dengan moral, budi pekerti, tetapi pada dasarnya memiliki perbedaan dan ketidaksamaan. Antara lain ;
1. Akhlaq dalam Islam senantiasa berdasarkan nilai-nilai al-Quran dan sunnah. Sebab itu, ia bersifat universal. Misalnya akhlaq orang Islam Amerika sama dengan akhlaqnya orang Islam di Arab, Afrika, maupun di Indonesia. Berbeda dengan moral, etika atau budi pekerti adalah kebaikan yang lahir dari kesepakatan budaya sekelompok manusia tertentu. Sebab itu, kadangkala ada perbuatan menurut orang Amerika adalah baik dan beretika, tetapi tidak bagi orang Asia.
2. Akhlaq dilaksanakan dengan keikhlasan diri yang tujuannya semata mengharapkan ridha Allah swt. Sedangkan budi pekerti, etika tidak selamanya demikian.
3. Yang baik menurut akhlaq adalah segala sesuatu yang berguna sesuai dengan nilai dan norma agama Islam dan memberikan kebaikan bagi diri dan orang lain. sedangkan yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan menurut etika dan moral adalah adat istiadat dan kebiasaan sekelompok orang tertentu di waktu tertentu
4. Akhlaq bersifat mutlak dan berlaku selamanya, sedangkan etika, moral dan budi pekerti bersifat nisbi atau relatif

Akhlaq Terpuji
Secara garis besar akhlaq digolongkan oleh ulama ke dalam dua golongan ; yaitu akhlaq mahmudah (terpuji) dan akhlaq mazmumah (tercela). Akhlaq terpuji ialah segala macam sikap dan tingkah laku baik yang dilahirkan oleh sifat-sifat mahmudah yang terpendam dalam jiwa manusia. Di antara sifat-sifat mahmudah adalah; amanat (setia, dan dapat dipercaya), jujur, adil, pemaaf dll. (Yatimin Abdullah, 2007 : 25)
Sesuatu yang terpuji makna baik. Baik untuk diri yang melakukan dan juga memberikan kebaikan kepada orang lain.
Sesuatu dapat dikatakan baik jika memberikan kesenangan, kepuasan, kenikmatan, sesuai yang diharapkan, dinilai positif oleh orang (Yatimin Abdullah, 2007 : 39). Jauh dari hal-hal yang dapat menimbulkan mudharat. Namun kepuasan dan kenikmatan yang dimaksud tidak berlebihan yang menyebabkan melampau batas kewajaran.
Ada beberapa bentuk akhlaq mahmudah (terpuji) adalah; seperti sabar, jujur, amanat, adil, bersifat kasih sayang, hemat, kuat memelihara ksucian diri (‘afifah) dan menepati janji. Berikut ini akan diuraikan beberapa di antaranya.
1. Bersifat sabar. Mengendalikan diri dari musibah. Termasuk kategori sabar adalah mengendalikan diri dalam perang (berani), mengendalikan diri dari kecemasan (tenang), mengendalikan diri dari banyak berceloteh. Dalam al-Quran Allah swt berfirman “bersabarlah kalian, dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap-siaga, dan bertaqwalah kepada Allah mudah-mudahan kamu beruntung. Q.S. Ali Imaran :200. Artinya kendalikanlah dirimu untuk beribadah kepada Allah dan berjihadlah melawan hawa nafsu (Muhammad bin ‘Ilan, tt : 137)
Kesabaran ada dua macam ; Pertama, kesabaran yang berkatan dengan fisik, seperti ketabahan dan ketegaran memikul dengan beban. Kedua, sedangkan kesabaran yang sempurna adalah kesabaran yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabi’at dan tuntutan hawa nafsu (Said Hawwa, 2001 : 371)
2. Jujur. Adalah kesamaan dan keseimbangan antara yang rahasia dengan yang nyata, antara yang dzahir dan yang batin, dimana keadaan seorang hamba tidak mendustakan perbuatannya dan perbuatannya tidak mendustakan keadaannya (Muhammad bin ‘Ilan, tt : 202)
3. Amanah. Amanat dalam arti sempit , memelihara titipan dan mengembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam arti luas ialah menyembunyikan rahasia, ikhlas dalam mberi nasehat kepada orang yang memintanya, dan menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya (Asfa, 2004 :353)
4. Bersifat hemat. Hemat artinya menggunakansegala sesuatu yang tersedia dari harta bendanya, waktunya, maupun tenaganya menurut ukuran keperluan tanpa berlebih-lebihan. Serta mengambil jalan tengah dimana ia tidak kurang dan tidak berlebihan (Yatimin Abdullah, 2007 : 45)
5. Memelihara kesucian diri (afifah). Artinya menjaga diri dari segala keburukan dan memelihara kehormatan di setiap waktunya (Yatimin Abdullah, 2007 : 46)

Ruang Lingkup Akhlaq
1. Akhlaq kepada Allah

Manusia hadir di atas bumi ini bukanlah sebagai penghias kemegahan ciptaan Allah yang tiada terkira, bukan juga sebagai pelengkap dari keindahan ciptaan-Nya yang tak pernah membosankan untuk dinikmati. Manusia ada dan diadakan oleh Allah tiada lain untuk beribadah kepada-Nya. Maka apa pun dari gerak dan aktivitas kehidupan yang dilakoninya harus membawa dirinya dalam lingkup peribadatan kepada Rabbinya.
Ketika manusia dituntut untuk beribadah kepada Allah dan senantiasa membangun komunikasi dengan Sang Khaliq yang Maha Berkehendak, maka ia wajib memiliki akhlaq di hadapan Allah Yang Maha Quddus. Di antara akhlaq tersebut adalah :
a. Al-Hubb (cinta). Yaitu mencintai Allah swt di atas cinta segala-galanya dengan menjadikan al-Quran sebagai pedoman cintanya, dan bahkan pedoman hidup dan kehidupannya secara keseluruhan. Sebagai bentuk kecintaannya itu diwujudkan dalam pengamalan perintah Allah dan upaya diri menjauhi segala larangannya. Tazhir cintanya digambarkan dalam kesediaan berkorban demi yang dicintainya meskipun pengorbanan itu adalah pengorbanan jiwa.
Ia menundukkan perasaan imaniayah untuk menjadikan Allah semata sebagai yang berhak dicintainya. Cinta kepada Allah adalah cinta yang dihasilkan dari buah pengetahuan
b. Raja’ (harapan). Adalah kesenangan hati untuk menantikan apa yang disenanginya terhadap sesuatu yang memang mungkin baginya, dengan terus berusaha mengikuti petunjuknya dan melewati jalannya. Seperti harapan mendapat rahmat dan maghfirah Allah
c. Syukur. Adalah ungkapan terima kasih kepada Allah atas segala karunia yang telah diberikan, baik dalam ungkapan lisan maupun dalam ungkapan perbuatan.
d. Qana’ah. Menerima apa adanya dengan hati ikhlas dan ridha segala ketetapan Allah kepada dirinya, setelah menunaikan segala usaha yang maksimal.
e. Taubat. Meninggalkan perbuatan buruk masa lalunya, diiringi penyesalan dan tekad yang kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya lagi. Selanjutnya ia isi dengan kebaikan dan keshalehan.
f. Tawakkal. Menyerahkan segala urusan dirinya dan menyandarkan segala keadaannya hanya kepada Allah setelah ia melakukan ikhtiar yang maksimal.

2. Akhlaq kepada manusia
Berakhlaq kepada manusia berarti kepada keseluruhan manusia yang terlibat dalam interaksi kehidupan kita baik langsung maupun tidak langsung. Di antara akhlaq kepada manusia adalah.
a. Akhlaq kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw adalah manusia pertama dan yang paling utama kita harus bangun akhlaq terpuji kepadanya. Adapun akhlaq kepada Rasulullah adalah
o Mencintainya di atas segala cinta kita setelah cinta kepada Allah
o Menjadikan diriya sebagai suri tauladan, panutan terbaik dan pemimpin termulia dalam menjalani hidup dan kehidupan
o Mengikuti sunnahnya, yaitu dengan melaksanakan apa yang telah dicontohkannya
b. Akhlaq kepada kedua orangtua.
o Mencintai dan menyayanginya dengan tulus ikhlas di atas cinta kepada orang lain
o Merendahkan suara dan tidak membentaknya
o Senantiasa mengucapkan ucapan yang baik dan terpuji
o Merendahkan diri kepada keduanya dan diiringi dengan kasih sayang
o Mendoakan keduanya agar senantiasa dalam naungan rahmat dan maghfirah Allah baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal
c. Akhlaq kepada tetangga
o Menunaikan hak-hak dirinya sebagai tetangga
o Menghormati dirinya sebagai saudara tetangga
o Memberikan kenyamanan, keamanan, dan kedamaian hidup serta tidak mengganggu ketentramannya dengan ulah dan perbuatan kita
o Berbagi rezki kepadanya
d. Akhlaq kepada guru
o Mencintainya dengan tulus ikhlas sebagai pengganti orangtua
o Mendengarkan wejangan ilmu dan nasehatnya dengan ikhlas
o Berlaku sopan (kata dan tingkah laku) baik di hadapannya maupun ketika tidak bersama dengannya
o Tidak merendahkan martabatnya
e. Akhlaq kepada sesama muslim
o Menghormati perasaannya dengan cara yang baik sesuai tuntunan agama
o Menjawab salam apabila memberi salam
o Memaafkan kesalahannya, minta maaf ataupun tidak
o Memberinya nasehat jika ia minta nasehat
o Tidak menggunjingnya dan menggibahnya (gosip),
o Tidak berburuk sangka dan selalu berpikiran positif kepadanya
o Senantiasa melihat kebaikannya dan tidak mencari-cari kesalahannya
o Mentasymit (mengucapkan yarhamukallah) jika ia bersin dan menngucapkan hamdalah
f. Akhlaq kepada diri sendiri
o Menjaga kesucian diri (lahiriah dan bathiniyah)
o Menutup aurat dari bagian tubuh yang tidak boleh nampak dihadapan orang lain yang bukan muhrim sesuai syariat
o Senantiasa menjaga kesehatan diri
o Mengkonsumsi makanan halal lagi baik dan menjauhi yang haram
o Jujur pada diri sendiri
o Menyesuaikan perbuatan dengan perkataan
o Malu melakukan perbuatan dosa, baik dosa kecil apalagi dosa besar
o Menjauhi perbuatan yang sia-sia dan tidak memberi manfaat
o Banyak menangis dan mengurani ketawa
o Tidak membawa dirinya dalam kehancuran dan kebinasaan...berlanjut kemateri selanjutnya

Minggu, 01 November 2009

EMOTIONAL LEARNING



Membentuk Kepribadian Insan Kamil


Pendidikan adalah aktifitas yang memiliki peranan dominan dan urgen dalam proses perubahan prilaku manusia. “Pendidikan merupakan kekuatan inovatif yang dapat digunakan untuk proses perubahan lebih lanjut dalam masyarakat” (Djainuri, 2001 : 3) secara eksternal, dan sebagai penggerak transformasi nilai dalam membantu perkembangan kepribadian manusia untuk mewujudkan kesadaran diri secara internal. Pendidikan bukanlah dalam bingkai pengajaran yang hanya sekedar proses nukilan ilmu belaka, akan tetapi, pendidikan adalah suatu “proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efesien”. Konsepsi ini memberikan pemahaman yang jelas bahwa pendidikan adalah suatu proses pembentukan kepribadian yang sempurna dalam menjalani kehidupan ini, sesuai pesan ilahiyah dan fitrah insaniyah (insan kamil) (Azyumardi Azra (1999 : 3)
Dewasa ini, Apa yang menjadi prinsip dasar dan idealitas pendidikan jauh dari harapan. Perkembangan teknologi yang begitu canggih sebagai wujud kemajuan ilmu dan pengetahuan justru tidak memberikan solusi terhadap perubahan kondisi masyarakat yang semakin jauh menyimpang. Pendidikan hanya sebatas proses transfer ilmu pengetahuan untuk mendapatkan nilai pendidikan dan melupakan pendidikan nilai. Hal inilah yang menyeret manusia hanya mengutamakan kecerdasan intelektualnya sementara kecerdasan emosional dan spiritualnya dilupakan.
Pendidikan yang hanya dibangun dengan kecerdasan intelektual dan melupakan kecerdasan lainnya telah membawa konsekuensi dalam kehidupan masyarakat. Manusia tumbuh dan berkembang laksana robot, berjalan dan bekerja tanpa perasaan. Bahkan ketika manusia semakin maju dalam dunia rasio dan intelektual, pada saat itu pulahlah manusia semakin jauh dari nilai-nilai dan hakekat kemanusiaan. Lantas di mana letak peran pendidikan yang tujuan utamanya melakukan perubahan tingkah laku ke arah yang baik dan positif??.
Krisis emosional telah melanda masyarakat, bagaikan wabah yang berjangkit secara sporadis di mana lembaga pendidikan sebagai satu satunya benteng pertahanan terakhir tidak dapat diandalkan lagi. Krisis emosional seperti kriminalitas, dekadensi akhlak bukan saja dialami orang dewasa, bahkan telah merambah dan meracuni kehidupan remaja hingga anak anak. Tidak mengagetkan ketika mendengar berita seorang murid sekolah dasar menembak kawannya di suatu sekolah dasar di Amerika. Berita tentang anak belasan tahun yang berbuat cabul melakukan tindakan kriminal, anak sekolah yang melakukan pesta narkoba telah menjadi berita harian di semua media pemberitaan.
Kenyataan ini menunjukkan adanya keterlupaan dan kekhilafan dalam setting pendidikan selama ini. Pendidikan di arahkan kepada aspek kognitif dan melupakan afektif dan psikomotoriknya. Sehingga output dan outcome pendidikan hanya mempunyai kecerdasan sepihak. Yaitu kecerdasan intelektual, sementara kepribadiannya sangat rapuh. Kecerdasan emosionalnya tidak berkembang ke arah positif. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan jauh dari harapan yang mana diwujudkan sebagai washilah (jalan penghubung) yang menghantarkan manusia untuk memiliki kepribadian yang sempurna.
Kecerdasan emosional memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Manusia menentukan keputusan dan tindakan atas persetujuan emosionalnya. Bahkan perasaan adalah sumber kekuatan ampuh yang dimiliki setiap manusia. Setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Banyak orang berhasil dan sukses dalam kehidupannya bukan karena faktor kecerdasan akal atau karena beIQ tinggi, akan tetapi mampu membangun kecerdasan emosionalnya dengan baik.
Banyak yang berIQ tinggi tapi ternyata gagal dalam mencapai puncak prestasinya. Berapa banyak kaum terpelajar akhirnya masuk dalam perangkap kriminalitas. BerIQ tinggi tapi melakukan sesuatu yang tidak rasional. Ia terperosok dalam nafsu tak terkendali dan tidak mampu membangun dan membentuk kepribadiannya dengan mantap. Meskipun tidak dinafikan bahwa kehidupan tanpa nafsu bagaikan padang pasir netralitas yang datar dan membosankan, terkucil dari kebermaknaan hidup, akan tetapi kegagalan dalam pengendalian fungsi nafsu akan berakibat malapetaka bagi kepribadian itu sendiri.
Maka dalam tulisan ini, akan dibahas tentang hakakekat emosional dan kecerdasan emosional sebagai alternatif solution untuk memperbaiki paradigma pendidikan yang dianggap gagal dalam membentuk masyarakat yang benar-benar terdidik dan sempurna. Dan bahwa EQ sangat penting untuk dididik dan dikembangkan kepada setiap orang dalam mencapai kemantapan dan kesempurnaan hidup.

B. Kecerdasan Emosional dan Otak Emosional.
1. Makna Emosi dan Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Goleman, emosi adalah kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, keadaan mental yang meluap luap. Emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan sosiologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2001 : 411). Dari penjelasan ini emosi dapat diidentifikasi dengan beberapa sifat yang dimiliki antara lain;
1. Amarah.; seperti beringas, benci, jengkel, kesal, tersinggung, bermusuhan, kekerasan, dan kebencian.
2. Kesedihan; seperti pedih, sedih, muram, melangkolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.
3. Rasa takut; seperti cemas, gugup, khawatir, waswas, waspada, dan ngeri.
4. Cinta; seperti penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, kasmaran, kasih, dan romantis.
5. Terkejut; seperti terkesiap, takjub, dan terpana.
6. Jengkel; hina, jijik, muak, benci, tidak suka.
7. Malu; seperti rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati yang hancur (Goleman, 2001 : 412).
Ketujuh hal di atas menjadi bagian dalam kehidupan setiap manusia, menjadi penyambung hidup bagi kesadaran dan kelangsungan diri yang menghubungkan manusia dengan dirinya sendiri, alam, dan dengan kosmos ( Segal, 2001 : 19). Siapa pun dan dari suku mana pun seseorang yang mengalami jenis emosi ini akan menampilkan ekspresi muka yang sama. Sehingga orang yang menguasai emosinya akan membimbing jalan hidupnya ke arah yang positif, membangun hubungan kasih yang romantis dan mencapai kesuksesan hidup. Sebalikya, orang yang tidak mampu menguasai emosinya akan terjebak dalam budak nafsu emosi sendiri
Ketidakmampuan mengontrol emosi akan mengantarkan kita dalam kehancuran. Ali Syariati seperti dikutip Ary Ginanjar, bahwa manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah, mereka seperti berbaris di depan rumah perampok menunggu giliran untuk dirampok. Mereka mereka ini termasuk orang yang buta hati atau buta nurani atau memiliki kecerdasan emosional yang rendah (Ary Ginanjar, 2001 : xli).
Adapun kecerdasan emosional, Nasaruddun Umar (2002 : 5) mendefenisikan nya sebagai kemampuan untuk menjinakkan emosi dan mengarahkannya pada hal-hal yang lebih positif. Dengan kata lain bagaimana mengendalikan potensi-potensi emosi bisa disalurkan kepada yang baik dan tidak mengantarkan kepada kegagalan dan kehancuran sehingga mampu meraih kesuksesan dan kebahagiaan.
Kecerdasan emosional adalah kecerdasan hati nurani yang menentukan keputusan pikiran dan tindakan. Di dalam al Quran sendiiri Allah telah memberikan penggambaran adanya kecerdasan emosional dengan lafadz “qalbu, nafsun, fuad” seperti dalam firmanNya “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibumu tidak mengetahui sesuatu, lalu Allah menciptakan kepadamu pendengaran, penglihatan dan menciptakan hati (sebagai media kecerdasan emosional)”.


2. Otak Emosional.
Otak manusia adalah satu satunya organ yang sangat berkembang sehingga ia dapat mempelajari dirinya sendiri. Pada dasarnya otak mempunyai tiga bagian dasar; otak reptil atau talamus, sistem limbik atau amigdala dan neokorteks. Ketiganya memiliki struktur saraf tertentu sehingga ia dapat berkembang pada waktu yang berbeda dalam sejarah evolusi manusia.
Yang pertama dalam perkembangan dan evolusi adalah otak reptil. Otak ini berperan sebagai motor sensor-pengetahuan tentang realitas fisik yang berasal dari panca indra. Di sekeliling otak reptil terdapat otak mamalia atau sistem limbik. Ia terletak di bagian tengah otak yang fungsinya bersifat emosional dan koknitif ; yaitu menyimpan perasaan, pengalaman, memori, kemampuan belajar, mengendalikan bioritme seperti pola tidur, haus, lapar, detak jantung, gairah biologis, metabolisme dan lain-lain. Adapun otak neokorteks terbungkus di sekitar bagian atas dan sisi-sisi sistem limbik. Bagian otak ini terletak kecerdasan. Sehingga otak inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan, pendengaran, dan sensasi tubuh. Neokorteks merupakan otak proses penalaran, berfikir secara intelektual, bahasa, motorik sadar dan lain-lain. (Bobbi DePorter, 2001 : 28). Akar otak reptil atau menurut istilah Goleman otak primitif. berperan mengatur fungsi-fungsi dasar kehidupan seperti bernafas dan metabolisme organ lain. Dari akar otak yang paling primitif ini terbentuk pusat emosi dan dari wilayah emosi berkembang otak berfikir atau neokorteks (Goleman, 2001 : 13).
Apa yang diungkapkan Bobbi dan Goleman sangat jelas bahwa ketiga otak ini memiliki tugas masing-masing dan bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya. Ia memiliki jaringan sirkuit yang kuat antara satu dengan lainnya. Ketiga otak ini pulalah yang akan membentuk kepribadian manusia. Dapat dipahami pula bahwa otak pikir manusia ternyata mendapat dukungan dari emosi. Refleksi yang dilakukan neokorteks secara otomatis mendapat sinyal persetujuan dari amigdala.
Pada dasarnya Emosi memiliki dua tahapan; tahap dalam kesadaran dan tahap di luar kesadaran. Emosi yang masuk dalam kesadaran merupakan tanda terekamnya pesan ke dalam neokorteks sedangkan yang di luar kesadaran mempunyai pengaruh besar terhadap cerapan dan reaksi yang terjadi meskipun tidak mengetahui bagaimana emosi itu bereaksi (Goleman, 2001 : 75)
Dalam artian informasi yang diterima dari indra disamping diproses talamus menuju neokorteks, ada pesan-pesan dari indra manusia yang tercatat dalam struktur otak yang paling terlibat dalam memori emosi (amigdala), Sebelum pesan-pesan itu masuk ke dalam neokorteks (Segal, 2001 : 26). Ia bekerja di luar kesadaran. Temuan ini akhirnya membungkam image dan pemahaman selama ini bahwa jalur-jalur yang ditempuh oleh emosi atau amigdala melalui kebergantungan seluruhnya pada sinyal-sinyal dari neokorteks untuk merumuskan reaksi emosionalnya.
Amigdala sebagai otak emosi dapat memicu respon tindakan sebelum neokorteks memikirkannya. Pesan-pesan yang dikirim panca indra yang bersifat dharurat langsung memicu respon emosional sebelum pesan itu diolah dalam neokorteks. Meskipun informasi neokorteks lebih lengkap, tetapi proses pengolahannya lebih lamban (Goleman, 2001 : 24), sehingga amigdala sebagai otak yang menangani masalah-masalah emosi dapat bertindak sendiri terlepas dari neokorteks. Seperti bagan di bawah ini;
Talamus

Indra Neokorteks
Amigdala
Seorang gadis dengan spontanitas menangis tersedu sedu dengan linangan air mata ketika mendapat kabar kekasihnya telah beralih ke orang lain. Supporter tim Sinegal langsung berpelukan saat timnya menang. Kejadian-kejadian yang dialami baik gadis, dan supporter tersebut merupakan bentuk respon emosional dari amigdalanya sebelum informasi tersebut masuk dalam neokorteksnya.
Oleh sebab itulah, ketika otak emosional manusia mengalami kerusakan maka ia tidak akan mampu untuk mengambil keputusan dalam hidupnya. Meskipun otak rasionalnya masih normal dan sehat, mampu berbicara, berfikir, dan berprestasi dalam akademik, tapi tidak bisa mengambil keputusan yang tepat terhadap apa yang dipikirkannya. Ini berarti bahwa kecerdasan intelektual seseorang memiliki sinergi dengan kecerdasan emosional.

3. Metode Menumbuhkan EQ Dalam Diri
Secara rinci EQ memiliki kualitas kualitas yang terdiri dari; Empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah orang antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat (L. E Shapiro, 2001 : 5). Untuk menentukan seseorang telah mengendalikan emosinya ke arah yang positif yaitu ketika mampu menguasai kualitas EQ di atas. Kualitas inilah yang harus ditumbuhkan dan dikembangkan dalam diri dengan baik.
Adapun metode menumbuhkan dan meningkatkannya, Jeanne Segal menyebutkan tiga langkah dan cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kecerdasan emosioal (2001 : 36-37);
Langkah Pertama, merasakan perasaan tubuh kita. Langkah ini merupakan upaya mengenali segala emosi dalam diri sebagai bagian dari kejadian fisik. Merasa sedih dan duka sebagai tekanan berat di dada. Kemarahan akan terasa di kepala dan dada. Cinta merupakan sentuhan yang muncul dari bilik hati, takut sebagai perasaan mual di perut dan sebagainya. Ini berarti bahwa segala gejolak emosi adalah bagian dari kejadian fisik. Gejolak ini harus diantisipasi dan dikendalikan sehingga tidak kehilangan kendali.
Sebagai upaya pengendalian awal adalah mengingat kejadian-kejadian yang dialami dengan tetap mantap dan bertahan dalam perasaan itu sampai rasa sakitnya hilang. Langkah ini dapat dilakukan dengan latihan-latihan menguatkan otot emosioal seperti layaknya otot lainnya. Latihan ini akan membuat emosi terasa sehat sehingga dapat membaca dan mengenali perasaan diri dan perasaan orang lain.
Adapun latihan untuk menguatkan otot emosional yaitu dengan menciptakan suasana yang fresh, nyaman dan menyenangkan. Tidak dibebani pikiran, jauh dari rokok dan alkohol serta membangkitkan emosi dengan alunan musik. Setelah merasa santai, kembali melakukan penegangan dan mengencangkan dan kemudian melemaskan setiap bagian tubuh dari kaki sampai kepala hingga benar-benar lemas dan santai. Kosongkan benak dari pikiran yang tidak berkaitan, ambil napas dalam dalam, lepaskan pikiran bersama setiap embusan napas. Setelah selesai, pindahkan pusat perhatian pada daerah yang terasa sakit dan arahkan napas ke pusatnya. Jika dada yang sakit karena sedih, maka arahkan perhatian ke pusat dada hingga akhirnya perasaan terkuat. Perasaan yang mencuak tersebut ditahan dan dijinakkan dengan baik setelah selesai berlatih, regangkan badan dengan hentakan kaki atau jalan-jalan.
Langkah kedua, Menerima perasaan Emosi. Menerima perasaan emosi sangat penting bagi setiap orang. Ketika seseorang tidak dapat menerima emosinya sama saja tidak menerima dirinya sendiri dan akan menghilangkan kebijaksanaan untuk membuat keputusan tepat.
Penerimaan di sini bukan berarti kepasrahaan yang pasif, menerima hidup apa adanya, dan membiarkan terombang ambing oleh perasaan orang lain. Menerima perasaan berarti dengan senang hati merangkul setiap perasaan sebagai informasi saat perasaan itu muncul dan sebagai bagian penting dalam diri serta dapat menanggung emosi. Dengan menerima emosi ini berarti bahwa apa yang dirasakan dalam diri sama dengan orang lain. Ketika merasakan sakit pada diri, maka juga dapat merasakan sakit pada orang lain, dalam artian apa yang dirasakan dalam diri, juga dirasakan kepada orang lain.
Langkah ketiga, menggunakan emosi bersama dengan daya kesadaran atau dengan kata lain mengalami sepenuhnya setiap emosi dengan aktif. Kesadaran ini bertujuan untuk menerjemahkan perasaan ke dalam tindakan. Oleh karena itu, langkah ketiga ini peran pikiran sangat diperlukan sebagai tempat penyimpanan semua asosiasi respon kejadian-emosional yang dibuat. Pikiran berperan mengolah segala informasi kejadian emosional yang kemudian melahirkan suatu tindakan. Dengan demikian, memiliki daya kesadaran akan mempengaruhi sikap dan kepribadian seseorang. Ia akan menterjemahkan dan menanggapi kebutuhan orang lain tanpa harus mematikan kebutuhan diri sendiri.
Ketiga hal di atas merupakan langkah yang ditawarkan Jeanne Segal sebagai upaya meningkatkan dan melejitkan kepekaan dan kecerdasan emosional. Apa yang ditawarkannya berbentuk pencapaian tingkat kesadaran emosi diri. Pengetahuan yang mantap tentang perasaan saat menjalani hidup dan berinteraksi dengan orang lain merupakan kunci rahasia untuk membangun kepribadian yang sempurna dan memelihara hubungan yang harmonis dengan orang lain. Segala permasalahan yang terjadi akan dihadapinya dengan pengendalian diri bukan berlepas dari tanggung jawab. Hidup saling memahami antara satu dengan yang lain.

4. Antara EQ dan IQ
Kenyataan membuktikan bahwa IQ yang tinggi ternyata tidak mampu bahkan gagal memberikan jaminan kebahagiaan. Tidak mampu mencipta orang untuk memiliki komitmen, integritas, komfidens, kreatif, adil, dan bijaksana. Orang yang memposisikan IQ di atas segalanya dan melupakan EQ merupakan karikatur kaum intelektual, terampil di dunia pemikiran tetapi canggung di dunia kepribadiannya. Pemikiran pemikirannya sangat cemerlang tetapi melupakan makna perasaan sehingga membosankan. Tidak berlebihan ketika ada pertanyaan kapan orang pintar itu bodoh? Jawabannya adalah ketika ia tidak mampu mengontrol kehidupan emosionalnya dengan baik. IQ tidak sempurna tanpa keseimbangan emosional. Bagaimanapun perasaan sangat dibutuhkan untuk menentukan keputusan rasional.
Keputusan yang diambil seseorang tentang siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya, apa yang akan dimakan hari ini, ingin jadi/kerja apa setelah selesai studi di pascasarjana, bagaimana menentukan pilihan untuk calon suaminya merupakan keputusan-keputusan kerja EQ, di mana IQ tidak mampu melakukannya. Akal hanya memikirkan, memberi pertimbangan dan perasaanlah yang kemudian mengambil keputusan apa yang telah dipikirkan akal.
Orang berIQ tinggi tetapi beEQ rendah tak lebih seperti apa dialami Hilman yang akhirnya menjadi tukang reparasi alat panggang roti. Hilman adalah orang yang berIQ tinggi dengan prestasi akademik yang mengagumkan tetapi akhirnya gagal dalam hidupnya karena mengalami kekecewaan pertama (Seagel, 2000 : 29). Kekecewaan seperti yang dialami Hilman banyak kemungkinannya, mungkin karena orang tuanya bercerai, mungkin juga karena cinta pertamanya gagal. Akhirnya kejadian itu meruntuhkan kepercayaan dirinya, menjadi tertutup, cepat marah, dan suka menyendiri..
EQ mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda beda akan tetapi dengan IQ seimbang dan sejalan sebagai jaringan sirkuit, saling membutuhkan dan saling mengisi. Emosi dan rasio adalah hati dan akal yang merupakan dua bagian dari satu keseluruhan. Kecerdasan emosional sesungguhnya membantu kecerdasan rasional. Emosional membimbing keputusan kerja dari saat ke saat. Keberhasilan seseorang sangat ditentukan keduanya. Bahkan intelektualitas tidak mampu bekerja dengan baik tanpa EQ.
Menurut Agus Nggermanto kesuksesan seseorang 20% ditentukan oleh IQnya dan 80% ditentukan EQnya. EQ dapat diterapkan secara luas untuk bekerja, belajar, mengajar, mengasuh anak, persahabatan, hubungan kasih, dan rumah tangga (Agus, 2002 : 97-98). Sedangkan IQ hanya berkisar pada kecakapan linguistik dan matematika yang sempit. Keberhasilan meraih angka pada tes IQ ternyata hanya ramalan sukses di kelas.

C. Pendidikan Bagi Kecerdasan Emosional.
1. Kenapa Emosional Harus Dididik.
Pendidikan baik yang didefenisikan dalam kaca mata Islam ataupun dimensi psikologi serta sosioginya semuanya bermuara pada satu aplikasi nilai yaitu proses perubahan tingkah laku untuk memenuhi tujuan hidup dalam masyarakat. Pendidikan dimaksudkan bagaimana peserta didik memiliki pengetahuan, pemahaman, serta keterampilan yang akan menjadi cerminan kepribadiannya.
Idealitas pendidikan di atas secara praksis dan realitas kehidupan sekarang, kalaupun tidak bisa dikatakan gagal-maka jauh dari harapan. Perubahan kondisi sosial-ekonomi yang dipacu oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang cepat serta penyebaran informasi yang begitu dahsyat telah menyeret perubahan perubahan cara berfikir, cara menilai, dan cara menghargai hidup (Kaswardi, 1993 : 1). Pendidikan hampir tidak “bermakna” lagi. Dimana mana kriminalitas terjadi, pembunuhan, pemerkosaan dan kriminalitas lain yang tidak bisa dibahasakan dengan kata-kata.
Kenyataan ini merupakan manifestasi kesalahan sistem dan pelaksanaan pendidikan. Pendidikan selama ini diorientasikan kepada penguasaan ilmu dan pengetahuan yang menurut bahasa orde barunya “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Masyarakat dididik kecerdasan akalnya tetapi melupakan kecerdasan emosionalnya. Kesalahan inilah sehingga pendidikan menghasilkan output dan outcome yang jauh dari nilai nilai kemanusiaannya dan jauh dari pesan ilahiyah.
Hampir semua siswa yang punya prestasi buruk di sekolahnya karena tidak memiliki kecerdasan emosional. Dan kesuksesan yang diraih seseorang pada tahun tahun berikutnya berkat bentukan watak emosional pada tahun tahun sebelum memasuki dunia akademis (Goleman, 2001: 273), kecerdasan emosi akan menentukan keberhasilan dalam kehidupan karena emosi berperan memberikan dorongan dan motifasi untuk berprestasi dengan perasaan yang terpuaskan.
Mendidik kecerdasan emosional sangat berperan terhadap kepribadian seseorang. Bagaimana menentukan yang terbaik dalam hidupnya, bagaimana menetapkan apa yang seharusnya sejalan dengan fitrah insaniyah dan pesan ilahiyah. Kecerdasan emosional yang tinggi akan membentuk kepribadian yang memiliki integritas, komitmen dalam mengambil keputusan yang tepat. Sebaliknya pula, kegagalan mendidik dan menguasai kecerdasan emosional akan menjadi “gerbang” malapetaka kehidupannya. Maka jawaban sesunggunya ketika orang mempertanyakan kenapa anak sekolah telah jauh terlibat dalam gaya hidup narkoba dan kriminalitas maka jawabannya karena EQnya rendah, tidak ditumbuhkan dan dididik dengan baik.

2. Kapan Pendidikan Emosional Dapat Dilaksanakan
Pada hakekatnya semua kecerdasan sudah ada dalam otak sejak lahir. Bahkan kemampuan linguistik sudah muncul sejak manusia masih dalam kandungan Akan tetapi tujuh tahun pertama kehidupan, kecerdasan ini dapat disingkapkan dan dilejitkan apabila dirawat dengan baik. (Bobbi DePorter, 2001 : 30). Dengan demikian, pendidikan emosional dapat diberikan kepada siapa saja tanpa mengenal usia. Mulai dari bayi, anak anak, remaja, orang dewasa, orang tua, pria dan wanita, bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan dapat dididik kecerdasan emosionalnya. Namun dari aspek perkembangan manusia, pendidikan untuk kecerdasan emosional paling tepat dan urgen diberikan kepada anak di usia tujuh tahun pertama atau pra-sekolah, karena pada usia inilah anak memiliki tonggak-tonggak utama perkembangan fisik, rasio, dan emosionalnya.
Pada tujuh tahun pertama perkembangan fisik manusia akan berkembang dengan baik dan sehat apabila dirawat dan disuplai dengan makanan yang bergisi serta memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Pada tahun-tahun pertama ini pula fungsi motor sensorik mulai bekerja dan berkembang cukup signifikan dengan bersentuhan langsung dengan lingkungan sekitarnya. Intelektualitasnya akan terlihat dengan aktifitas yang dilakukannya, bermain, meniru, dan membaca cerita.
Dari aspek emosi, anak cepat menangkap kejadian-kejadian di sekelilingnya terutama kejadian yang dialami bapak dan ibunya. Anak bisa tahu bila ibunya dalam keadaan stres atau tenang. Jika ibu stres maka anak bayi pun akan ikut rewel, dan bila ibu tenang anak juga akan ikut tenang. Hal ini dipahami karena antara ibu-bapak dengan anak mempunyai ikatan emosional yang kuat. Hubungan anak dengan orangtuanya mulai terjalin saat ayah ibunya memberinya minum, menggendong, mendekap, memeluk dan menentramkannya. Kualitas hubungan di masa ini akan mempengaruhi proses perkembangan keterampilan sosialnya nanti (Palembang Pos, 21 Juli 2002).
Pada usia 3 bulan, anak mulai berminat berinteraksi sosial lewat tatap muka ia akan belajar banyak hal lewat pengamatan dan peniruan bagaimana membaca dan mengungkap emosi. Pada usia 6-8 bulan, anak mulai menemukan cara baru untuk mengungkapkan perasaan hatinya, seperti sedih, gembira, marah, takut kepada sekelililngnya. Pada usia 9-12 tahun, anak mulai memahami bahwa manusia dapat membagi gagasan dan emosi mereka satu sama lain (Palembang pos, 21 Juli 2002).
Merawat potensi emosional anak pada usia ini sangat mempengaruhi kecerdasan emosionalnya dan Interaksinya secara emosional. Ketika anak pada usia ini lebih banyak dikungkungi dengan rasa sedih atau takut karena ulah bapaknya yang galak, otoriter dan tidak pengertian akan menjadi faktor penyebab runtuhnya sifat kepercayaan dirinya dan sikap optimisnya. Ia akan minder dan takut salah. Oleh karena itu, para pakar mengakui bahwa sikap orangtua pada usia tujuh tahun pertama ini akan mempengaruhi kecerdasan emosional anak di usia selanjutnya.

3. Langkah-langkah Pengajaran Emosional Kepada Anak.
Memastikan kesuksesan masa depan anak (didik) memang mustahil dilakukan, akan tetapi menuntun untuk mencapai hal itu bukan sesuatu yang mustahil. Oleh karena Maurice J. Elias memberikan lima langkah mendidik kecerdasan emosinal anak dan enam langkah menurut Agus Nggarmanto.
1. Sadari perasaan sendiri dan perasaan orang lain
2. Tunjukkan empati dan pahami cara pandang orang lain.
3. Atur dan atasi dengan positif gejolak emosinal dan prilaku
4. Gunakan kecakapan sosial positif dalam membina hubungan
5. berorientasi pada tujuan dan rencana positif ( J. Elias, 2001 :39-46).
6. Menjadi teladan (Agus, 2002 :193).
Meskipun keenam cara ini dikhususkan dalam mengasuh anak, namun dapat diimplementasikan juga dalam pengajaran di semua jenjang di lembaga formal. Seorang pendidik dapat memiliki kelima cara atau dijadikan pendekatan dalam mengajar untuk menumbuhkan kecerdasan emosional peserta didik sehingga peserta didik akan terbentuk keterampilan emosionalnya.
Meningkatkan kecerdasan emosional anak sangat sulit dilakukan tanpa ada aturan yang tepat untuk membuat anak menjadi disiplin. Disiplin yang efektif akan membuat anak tumbuh dalam keteraturan. Untuk menciptakan disiplin ini, ada beberapa kiat-kiat yang dapat ditempuh seorang guru sehingga ia bisa mengembangkan kecerdasan emosional siswanya atau orangtua terhadap anaknya, yaitu;
1. Membuat aturan dan batas yang jelas dan memberlakukannya dengan tegas.
2. Memberikan petunjuk dan peringatan apabila anak melakukan kesalahan
3. Membentuk prilaku positif dengan mendukung prilaku yang baik melalui pujian atau perhatian.
4. Mendidik anak sesuai dengan harapan
5. Mencegah masalah sebelum terjadi.
6. Memberikan sangsi dan hukuman kepada pelanggaran yang dibuat baik segaja maupun tidak sengaja.
7. Memberikan hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dibuatnya.
8. Mencari teknik atau cara-cara tertentu untuk meciptakan disiplin yang tegas (L. E. Shapiro, 2001 : 33).
Kedelapan hal di atas merupakan kiat dan langkah yang dapat ditempuh untuk menciptakan disiplin bagi siswa/anak. Dengan mewujudkan kedisiplinan yang baik dan tegas ini, siswa akan mengalami keteraturan hidup. Potensi potensi emosionalnya pun akan tumbuh dan berkembang ke arah yang positif. Ia mampu mengontrol dan mengendalikan emosionalnya itu dalam lingkaran kedisiplinan yang telah dibuat. Apabila gejolak amarahnya muncul maka rasa malunya akan memberikan pertimbangan begitu juga sebaliknya, dengan demikian potensi-potensi emosional tersebut tumbuh dalam keseimbangan.

4. Peran Sekolah dalam Kecerdasan Emosional
Satu satunya tempat pelarian dan pengaduan anak ketika lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat tidak lagi menjadi landasan kuat dalam kehidupannya adalah sekolah. Sekolah adalah lingkungan akademik yang punya peran untuk merubah dan membangun keperibadian. Sehingga sekolah dituntut untuk membangun budaya “komunitas yang peduli”, tempat murid merasa dihargai, diperhatikan, dan memiliki ikatan dengan temannya, guru, dan sekolah sendiri (Goleman, 2001 : 399).
Sekolah diharapkan tidak hanya menjadi lembaga akademik tempat untuk mencapai kecerdasan intelektual yang tinggi tetapi bagaimana sekolah berperan mengembangkan dan menjadi kepedulian kecerdasan emosional. Guru punya peluang membantu anak menangangi krisis emosional yang dialaminya sehingga. sekolah baginya bukan tempat pelarian dari kesemrautan hidup, tetapi tempat menumpahkan segala problematikanya dan menemukan solusi solusinya. Murid akan merasa tenang di sekolah dan senang mengikuti pelajaran. Karena bagaimanapun prestasi kreatif bergantung pada totalitas hati dan pikiran.

5. Mendidik EQ dengan Model Flow
Flow adalah keadaan batin yang menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Sesorang yang diberi tugas terlampau sederhana maka ia akan merasa bosan, dan apabila terlau berat maka akan cemas dan prihatin sehingga tidak flow. Model flow ini orientasinya adalah mencapai penguasaan keterampilan dan ilmu pengetahuan secaraa alami.
Pada prinsipnya mengajar dengan cara flow merupakan cara untuk menjadikan anak cinta pada pelajaran sehingga menghadapi pelajaran penuh dengan antusias, senang hati, dan bahagia. Tidak membosankan atau menakutkan. Anak belajar tekun, mengerjakan PR, berdiskusi karena merasa senang dan menyukainya, serta tertantang untuk mengetahuinya bukan karena ada ancaman (tidak naik kelas) atau iming-iming (hadiah pujian atau materi).
D. Simpulan
Setiap manusia memiliki potensi emosional dan kecerdasan emosional. Potensi ini akan tumbuh dan berkembang bisa ke arah positif, dan ke arah negatif. Ketika tidak dididik dengan baik maka emosional akan tumbuh dengan liar dan menjebak manusia dalam budak nafsu emosi. Sebaliknya emosi yang terkontrol dan dapat dikuasai akan mengantar manusia mencapai kesuksesan dan kebahagiaan.
Kecerdasan Emosional lebih penting bagi keberhasilan membentuk karakter dibandingkan dengan kecerdasan kognitif yang diukur dengan IQ karena kenyataan menunjukkan bahwa orang yang berIQ tinggi namun berEQ rendah gagal dalam membentuk kepribadian yang mantap. Oleh karena itu sudah saatnya pendidikan dititik beratkan pada pendidikan emosional.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar, 2001, ESQ Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Islam, Jakarta : Arga.

Azra, Azyumardi, 2001, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Kalimah

DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki, 2001, Quantum Learning; Membiasakan Belajar Nyaman dan Meyenangkan, Alih bahasa Alwiyah Abdurrahman, Jakarta : Kaifa

Djainuri, Achmad, 2001, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, Surabaya : al Ikhlas.

Elias, Maurice J.dkk., 2001, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak Dengan EQ, Alih Bahasa M. Jauharul Fuad, Bandung : Kaifa.

Goleman, Daniel, 2001, Emotional Intelligence; Kecerdasan Emosional, Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ, Alih Bahasa T. Hermaya, Jakarta : Gramedia.

Kaswardi, EM. K., 1993, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta : Grasindo

Nggermanto, Agus, 2002, Quantum Quotient, Jakarta : Nuansa.

Segal, Jeanne, 2001, Melejitkan Kepekaan Emosional, Alih Bahasa Ary Nilandari, Bandung : Kaifa.

Shapiro, lawrence E., 2001, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak, Alih bahasa Alex Tri Kantjono, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Sikap Ayah Pengaruhi Perkembangan EQ Bayi, 2002, dalam Palembang Pos, 21 Juli 2002 : Palembang

Umar, Nasaruddin, Sinergi IQ, EQ, dan SQ, Upaya Pemberdayaan SDM Melalui Kaidah Spiritual, Makalah FKE UKAZ 18 Januari 2002